Musim hujan di Indonesia biasanya terjadi antara bulan Oktober-Maret. Namun tahun ini, Malang Raya baru diguyur hujan pada akhir November. Meski agak terlambat, tetap wajib kita syukuri setelah berhari-hari warga Malang merasakan hawa seperti Surabaya. Sayangnya kebahagiaan ini diikuti masalah: banjir.
Di awal musim hujan lalu, hampir seluruh Malang dikepung banjir. Banjir tidak hanya menyerbu daerah langganan seperti Galunggung, Suhat, Kedawung, atau Letjen Sutoyo, tetapi juga menggenangi wilayah yang sebelumnya aman-aman saja. Terpantau, genangan air mulai semata kaki hingga pinggang orang dewasa.
Bagi orang luar kota, terutama yang mengenal Malang pada era 90-an atau kurun yang lebih lama, banjir di Malang seperti kemustahilan. Kok bisa kota di dataran tinggi dengan struktur tanah cenderung miring banjir? Namun melihat perilaku warga yang kurang bisa menjaga lingkungan, banjir menjadi sebuah keniscayaan. Kota-kota yang saat ini belum pernah disambangi banjir pun suatu saat akan mengalami hal yang sama jika warganya sembrono terhadap lingkungannya.
Banjir terjadi karena perubahan iklim, curah hujan tinggi, drainase buruk, minimnya lahan resapan, dan lain sebagainya. Namun di antara penyebab yang solusinya perlu pemikiran pakar tersebut, ada solusi dasar yang sejatinya bisa dilakukan masyarakat awam: memperlakukan sampah secara bijak.
Sejak sekolah dasar, bapak ibu guru sudah mengajarkan bahwa membuang sampah sembarangan mengakibatkan banjir. Hal klise yang kita hapal di luar kepala sampai dewasa, bahkan sampai anak-anak kita menerima pelajaran yang sama. Namun anehnya, pelajaran sepele ini begitu berat kita praktikkan. Membuang sampah sembarangan seperti “kearifan lokal” yang patut dijaga kelestariannya. Coba tanya pada diri sendiri saat berada di luar rumah dan menghasilkan sampah, apa yang kita lakukan? Mencari tempat sampahkah? Atau membuangnya ke mana kita suka? Sampah yang berserakan seusai acara karnaval, konser musik, pertandingan sepakbola, bahkan pengajian umum membuktikan betapa buruknya kebiasaan kita.
Harus kita akui bahwa mengubah tabiat buruk yang telanjur mengerak ini tak semudah mengirim stiker innalilahi di grup WA ketika ada kerabat yang meninggal dunia. Perlu kesungguhan hati dan tekad kuat untuk mengubah “budaya” bangsa ini. Lalu, hal dasar apa yang bisa kita lakukan?
Memaksakan Diri
Dalam hal apa pun seseorang harus sanggup memaksakan diri untuk menjadi lebih baik. Pada awalnya mungkin berat. Namun dengan tekad kuat, semuanya sangat mungkin dilakukan. Dalam hal sampah, kita harus memaksakan diri—hanya—membuang sampah pada tempatnya.
Kita harus memaksakan diri tolah-toleh mencari tong sampah saat sedang memegang sampah. Jika perlu, kita siapkan kantong dari rumah ketika bepergian. Toh sampah yang kita hasilkan tak mungkin sampai sekeranjang. Kita harus memaksakan diri mengubah mindset bahwa seluruh tempat bisa dibuangi sampah. Intinya, kita harus memaksakan diri sampai bisa dan biasa. Sesudah terbiasa, kita paksa pula orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Orang tua memaksa anaknya, guru memaksa muridnya, ustadz memaksa santrinya, Pak RT memaksa warganya—untuk membuang sampah pada tempat semestinya. Setelah semuanya bisa dan terbiasa, kita boleh berharap lingkungan aman dari ancaman banjir.
Tidak Meremehkan Sampah Kecil
Sering kali kita berpikir bahwa sampah kecil tak mungkin menyebabkan banjir. Pikiran sesat ini membuat kita mudah membuang plastik es teh, bungkus rokok, wadah snack, gelas air mineral, dan hal-hal renik lainnya di mana pun kita berpijak.
Padahal ketika sampah-sampah kecil ini berkumpul dengan sampah-sampah kecil dari tempat lain, kemudian ditiup angin atau diseret air menuju selokan atau sungai, dampaknya tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Bersatunya sampah-sampah kecil ini berpotensi menciptakan kejutan: menyumbat aliran air dan meluapkannya ke jalanan.
Intinya, sampah tetaplah sampah, tak peduli besar kecilnya. Jika salah menangani bisa berubah menjadi petaka.
Tidak Egois
Jika Anda melewati Jalan Raya Singosari sebelum jam 06.00 WIB, Anda akan menjumpai wujud keegoisan sebagian warga. Mereka memang membersihkan rumahnya, tetapi sampahnya dibuang seenaknya di tepi jalan, dekat tong sampah yang dipasang Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK).
Barangkali niat awalnya ingin memasukkan ke dalam tong. Namun karena tak muat, sampah-sampah ini digeletakkan di sekelilingnya. Mungkin juga mereka berpikir bahwa petugas DLHK dibayar untuk membersihkan sampah sehingga mereka merasa sah-sah saja melakukannya. Akibatnya, tumpukan sampah dalam bungkus kresek menjadi pemandangan biasa di jalanan Singosari setiap pagi.
Memang beberapa saat kemudian petugas kebersihan datang mengangkuti sampah-sampah itu. Namun saat mereka berhalangan, sampah tersebut akan tetap di tempatnya hingga hari berikutnya. Jika turun hujan, limbah yang jumlahnya cukup banyak ini jelas mendatangkan masalah.
Banjir yang beberapa kali terjadi di depan Pasar Singosari hingga mendekati perlintasan kereta api bisa menjadi bukti. Kebiasaan warga seperti ini mungkin juga terjadi di tempat-tempat lainnya.
Berbagi Rezeki
Selain sikap egois, “menitipkan” sampah di tepi jalan juga menunjukkan sikap terlalu perhitungan dalam hal keuangan. Biasanya, di setiap pemukiman selalu ada petugas kebersihan yang mengambili sampah dengan imbalan rupiah setiap bulannya. Jika kita tidak punya lahan untuk membuang sampah, kita bisa menitipkan sampah kepada mereka, hitung-hitung berbagi rezeki.
Para petugas kebersihan partikelir tersebut pasti tak pernah bercita-cita menjadi tukang sampah. Namun karena tak punya pilihan lain, dan daripada melakukan pekerjaan tercela, mereka rela melakukan pekerjaan yang menurut sebagian orang menjijikkan. Dan dengan menitipkan sampah kepada mereka, setidaknya kita bisa berbagi rezeki terhadap sesama. Toh uang jasanya tak lebih dari Rp 50 ribu setiap bulannya.
Tentu masih ada hal-hal lain yang bisa kita upayakan berkenaan dengan sampah. Tetapi jika empat hal dasar tersebut benar-benar kita lakukan, ancaman banjir bisa diminimalisir. Seandainya dengan upaya tersebut tetap saja terjadi banjir, berarti ada yang salah dalam tata kelola kota/ kabupaten.
Pemerintah sebagai pemilik kebijakan patut dimintai pertanggungjawaban. Mereka harus mampu memberi solusi demi kenyamanan dan keamanan rakyat. Sebab siapa pun pemerintahnya, dalam setiap kampanye selalu mengatasnamakan rakyat demi mendulang suara.(*)