.
Saturday, December 14, 2024

Pembohong Yang Aku Sayangi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Cerpen Oleh Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi

Seperti perahu, seorang ayah rela diombang-ambing ombak kehidupan, dihantam banyak sekali karang dan bebatuan, hanya untuk satu tujuan, menghantarkan buah hatinya melewati pelbagai warna-warni kehidupan demi menuju kebahagiaan yang diimpikan.

Namaku Bara, konon aku dilahirkan saat tengah terjadi perang bara api di kampungku, perang yang sudah menjadi tradisi masyarakat Bali yang bertujuan untuk menghilangkan sifat bhuta kala atau sifat jahat dalam masyarakat, namanya tradisi Teteran.

Tapi sampai usiaku cukup matang saat ini, aku tak pernah sekalipun mengikuti tradisi tersebut, karena sejak usiaku lima tahun ayahku terpaksa membaawaku berkelana ke Ibu kota demi mencukupi perekonomian yang mulai berantakan saat itu.

Dan tanpa sosok seorang ibu. Ya, ibu pergi entah kemana, meninggalkan aku dan ayah. Kejadian yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, aku harus kehilangan dekapan seorang ibu disaat aku tengah sibuk-sibuknya ingin mengenal dunia sekitarku.

Tahun ini, aku mulai melanjutkan pendidikanku yang sempat terhenti karena masalah ekonomi. Benar adanya bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. Dua tahun lamanya aku bekerja menjadi seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, ayahku sudah renta, tapi semangatnya bekerja tak pernah sirna, selalu tertata.

Hasilnya, tabunganku dan ayah sudah cukup untuk membiayai hari-hari dan pendidikanku di salah satu universitas terkemuka di Jakarta. Alhamdulillah, aku terdaftar sebagai mahasiswa bidikmisi Universitas Negeri Jakarta.

Kegiatan kuliah yang benar-benar padat membuat aku terpaksa berhenti bekerja. Kini, ayah seorang diri banting tulang mencari rejeki untuk menghidupi anaknya yang sedang mengejar cita-cita menjadi seorang arsitek. Ya, sejak kecil aku memang bermimpi menjadi seseorang yang bisa menghasilkan buah karya indah sebuah bangunan yang bermanfaat bagi manusia, seorang arsitek.

Ayah bekerja sebagai pekerja bangunan, sudah banyak dari gedung-gedung pencakar langit di Jakarta yang berdiri dari cucuran keringat ayah. ketika pekerjaan benar-benar padat, ayah sering menghabiskan waktunya diantara tumpukan semen dan bata-bata, tidur dan makan disana, bahkan pernah satu minggu penuh ayah tidak pulang ke rumah, bukan tidak peduli padaku atau tidak rindu, tapi tempat ayah memikul batu-batu selalu berada di tengah kota, sedangkan rumah kami terparkir di antara kesempitan ruang pelosok Jakarta. Jadi, ayah lebih memilih disana agar tidak bolak-balik karena ongkos perjalanan yang cukup pelik.

“Nak, gak kuliah kau?” Sapa ayah menyadarkan lamunanku, “Eh, Yah. Hari ini seluruh mahasiswa libur, di kampus sedang ada kegiatan perlombaan.”

“oh, ya sudah istirahat sana! Jangan malah melamun. Ini hadiah dari Tuhan, jangan sia-siakan. Kau setiap hari sibuk dengan perkuliahan.” Balas ayah memerintah.

“siap komandan! Tapi, Yah?” tandasku berkeinginan, “Apa lagi? Sudah, ayah mau berangkat.”

“aku ikut, Yah?” jawabku, “barangkali aku bisa membantu mengangkatkan batu, mengaduk semen, atau..”

“tempat kau bukan di lapangan, Nak. Istirahat sana!” ucap ayah memotong usulanku.

Aku hanya bisa terdiam, dalam hati bergumam, “ayah selalu begitu, gak tahu apa anaknya ini kuat kaya Samson, otot kawat tulang besi.”

“ayah pamit, kemungkinan malam hari ayah baru bisa pulang. Jaga rumah baik-baik. Awas ada setan berkeliaran.” Pungkas ayah mengakhiri percakapan.

Lagi-lagi aku terkesan dengan setan, ayah selalu mengakhiri pembicaraannnya dengan kalimat “awas ada setan.”, terkesan lucu tapi benar-benar bermakna sangat dalam, ayah selalu mengakhiri dengan nasihat agar aku selalu waspada terhadap godaan-godaan setan yang selalu memerintah melanggar aturan Tuhan.

Pagi ini indah, Tuhan. Aku kembali pada berbagai lamunan, namun rasa penasaran sedikit mengganggu pikiran, aku ingin tahu apa saja yang ayah kerjakan, karenanya terpaksa aku harus membantah perintah ayah hari ini. Maafkan anakmu ini, Yah.

Aku bergegas mengambil jaket di dalam, tas kecil berisi buku dan pena aku selempangkan, tak lupa rumah aku kunci rapat-rapat, lantas pergi membuntuti langkah kaki ayah. Jarak aku dan ayah tak cukup jauh, ayah berjalan sekitar dua ratus meter di depanku.

Sampai sekitar seratus langkah sudah aku berjalan, sepertinya ayah tidak menyadari anaknya tengah membuntuti. Ayah terlihat disana, sambil menenteng tas di bahunya, ayah menaiki bus kota, setelah ayah sempurna naik, bus itu cepat kembali beroperasi karena khawatir mengganggu lalu lintas Ibu kota yang memang rentan kemacetan.

Aku berlari cepat menuju jalanan, aku sudah tahu kemana arah tujuan ayah dari nama punggung bus itu yang sempat mataku rekam sebelum bus itu terlampau jauh meninggalkan kemacetan. Tak banyak pikir, aku langsung menaiki bus kota dengan jurusan yang sama yang -ngetem di depan mata.

Jalanan Ibu kota benar-benar sesuai dugaan, baru sekitar satu kilometer lancar tanpa hambatan, puluhan mobil berjajar memenuhi jalan seperti sedang menunggu antrean gajihan awal bulan, inilah yang dinamakan kemacetan. Inilah Jakarta, kemacetan sudah menjadi bagian dari warisan budaya. Ikon kota ini seharusnya bukan lagi monas, tapi patung polisi jalanan, karena sepertinya setiap hari mereka benar-benar disibukkan untuk mengurai kemacetan. Terimakasih, Pak.

Pandanganku jauh kedepan, memindai bahu jalanan, barangkali mataku menemukan ayah disana, karena bus yang ayah tumpangi sepertinya sudah tak terjebak kemacetan, bus itu sudah duluan. Sepertinya aku kehilangan jejak. Aku terpaksa kembali diselimuti lamunan, sambil menerka-nerka, kira-kira ayah turun dari bus di tempat mana.

Brmmmm, suara starter bus tua ini membuyarkan lamunanku. Syukurlah, ini pertanda bahwa jalanan sudah bisa dilewati kembali. Mataku kembali memulai pengawasannya, gedung pencakar bermekaran, proyek-proyek besar berjejeran, tapi tak satupun aku melihat ada tanda-tanda langkah ayah disana.

Sekitar satu kilometer sudah bus yang aku naiki kembali berjalan, sudahlah, aku memutuskan untuk turun detik ini juga. Tiga kali suara cincin akik kenek bus ini yang diadukan dengan besi tempat tangan disampaikan terdengar nyaring, sebuah tanda bagi si supir bahwa ada penumpang yang hendak turun.

Tak menunggu lama, setelah menginjak bahu jalan aku langsung berjalan. Aku kembali mencari ayah, mendatangi sampai tiga proyek besar di pinggir jalan, dan satu diantara pemukiman. Lagi-lagi tak kutemukan ayah, bahkan namanya pun tak satupun ada yang mengenal.

Aku pikir ini sebuah kejanggalan. Secara, ayah pernah cerita bahwa ia sering bekeja sebagai pekerja proyek bangunan besar, tapi anehnya tak satupun pekerja yang kutanyai mengenal nama ayah. Aku semakin diselimuti rasa penasaran yang semakin tak karuan.

Dalam hidup ini manusia seringkali mendapat kejutan-kejutan, terkadang ada yang tiba-tiba datang, atau seketika pergi, ini menunjukan bahwa kejutan tak selalu kebahagiaan. Aku melihat ayah disana, entah ini kejutan yang membahagiakan atau mungkin menyedihkan.

Aku mendapati ayah berada diantara tumpukan sampah dan dua orang yang sedang melakukan hal yang sama. Karung berukuran besar digantungkan di bahu kirinya, tangan kanannya memegang besi yang ujungnya melengkung, sesekali menyimpannya dan digantikan dengan tangannya menggali gundukan sampah disana. Ayah sedang memunguti botol-botol bekas, kardus-kardus, paku-paku, dan barang-barang buangan yang lainnya.

Aku menghela nafas, setelah sekitar beberapa saat terdiam tanpa kata. Kini aku mulai berkata, meski hanya dalam dada. Sebuah rasa yang entah ini apa, menyaksikan sebuah kenyataan yang diluar terkaan, seperti sebuah rekaan yang sengaja Tuhan ciptakan. Tapi ini nyata, nyaris tidak ada rekayasa. Seorang ayah yang katanya kerjanya mengaduk resep bangunan, memecahkan bebatuan, seharian bahkan berhari-hari larut dalam sebuah proyek bangunan, ternyata itu adalah sebuah kebohongan, tak lebih dari cerita fiksi yang sengaja ditulis untuk membahagiakan, menutupi kesengsaraan. Seorang ayah yang aku kenal selalu menasihatiku agar hati-hati dari makhluk bernama setan, ternyata ia sendiri yang kemasukan setan. Membohongi orang yang ia sendiri besarkan, memanipulasi keadaan.

Ayah, aku belum sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya kau lakukan. Kau benar-benar menutupi kesusahan yang kau derita, kau membohongi bata-bata untuk sampah-sampah yang tidak tertata, kau sembunyikan keringatmu diantara keping sampah yang kau kumpulkan, kau letakkan kebahagiaanmu di atas pundakku, sedangkan kepahitan malah kau seruput keenakan.

Ayah, kau pembohong yang sayang. Suatu saat nanti, aku yang akan menjadi orang diatas proyek-proyek besar itu, proyek yang sejak awal kau jadikan bahan lemparan kesakitan.

Ayah, kau pembohong yang aku sayang. (*/cerpenku/bua)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img