Tinggal menghitung hari, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tanggal 27 November 2024 serentak di tanah air. Masa kampanye akan berakhir 23 November dan hari tenang mulai 24-26 November. Dan pada 27 November 2024, warga akan berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) memberikan suara, pemilih yang telah masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Selama masa tenang, Paslon/ tim pemenang duduk tenang hanya memantau gerak gerik setiap warga yang mencurigakan masuk kampung ke luar kampung, masuk wilayah RT/RW yang “diduga” melakukan pendataan dan bersiap-siap serangan fajar. Atas perintah siapa, pasti tidak mengetahui. Apakah “Boto” melakukan pendataan melalui Cekernya pada hari/ tempat/ jam yang telah ditentukan. Biasa disebut “serangan fajar” bagaikan siluman.
Menarik, jika Boto bermain di arena Pilkada, sangat berbahaya atas ancaman pendidikan demokrasi/ moral demokrasi/ etika demokrasi. Penyelenggaran Pemilu, Pemerintah, Partai Politik (Parpol), mereka yang peduli dengan Pilkada, organisasi kemasyarakatan, sampai ke perangkat desa tak jenuh-jenuh mensosialisasi “mengharamkan” politik uang (Money Poiltics). Tetapi warga/ masyarakat sudah terbiasa dimanja uang dan Sembako Pemilihan Legislatif/ Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden, terbawa dalam setiap Pilkada.
Menurut informasi, di Kota Batu berkisar dari Rp 100 ribu sampai dengan Rp 250 ribu per orang, bahkan bisa di atas harga patokan. Di Kota Malang berkisar Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Sedangkan di Kabupaten Malang berkisar Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu. Setiap Paslon harus percaya diri kemenangan berusaha, tergantung “Rida Tuhan.”
Masyarakat/ pemilih sifatnya pragmatis. Kepolisian mengawas lebih ketat dan Bawaslu serta jajarannya melakukan pengawasan melekat. Kerahkan Pengawas Kecamatan (Panwaslucam)/ sekretariatnya, Pengawas Desa/ Kelurahan (PKD), Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) bersama kepolisian menyisir dari RT ke RT untuk meminimalkan serangan fajar.
Pemilih Pragmatis
Pemilih bersifat pragmatis, dimana pola pikir mengutamakan praktis saja, gunanya untuk apa, dan bermanfaat atau tidak bagi dirinya. Jadi, kesimpulan mereka cenderung berpikir sesaat, instan, dan segera mendapatkan hasil tanpa melalui proses bekerja keras yang melelahkan dan tidak terlalu lama.
Misalnya tim Paslon A menawarkan Rp 100 ribu, Paslon B menawarkan Rp 150 ribu, Paslon C menawarkan Rp 200 ribu. Mereka mengambil semua penawaran uang tunai atau setara Sembako dari semua Paslon, tetapi mereka memilih yang memberikan terbesar.
Ciri sifat orang pragmatis yaitu menggebu-gebu menggapai sesuatu tanpa mengeluarkan keringat, menghalalkan segala cara, lupa pada kapasitas diri apakah orang mampu atau tidak, haus akan pujian dihormati, merasa orang paling sibuk, dan suka membanding-bandingkan. Mereka tidak memilih siapa bakal pemimpinnya, tetapi yang terpenting menerima uang/ barang yang mahal/ lebih dari Paslon yang lain.
Hal ini sangat berbahaya, karena mereka tidak lagi melihat siapa yang akan menjadi memimpin daerahnya. Karena alasan, mereka jadi pemimpin juga menerima uang/ barang/ jasa dari vendor/ elite ekonomi yang mensponsori calon Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kita bertanya salah siapa, sehingga mereka menanti serangan fajar. Harus diakui kesalahan pada pemerintah, penyelenggaran pemilu, para akademisi/ kampus, masyarakat/ penggerak partisipasi aktif. Hal ini merupakan kegagalan pendidikan demokrasi di tanah air.
Ancaman Pidana Pilkada
Masyarakat/ para pelaku politik uang, seolah-olah tidak penduli dengan ancaman pidana. Mereka bermain kucing-kucingan dengan Bawaslu dan jajarannya. Siapa yang menerapkan strategi dan taktik, beruntung, terlaksanalah maksud dan tujuannya.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Pasal 187A menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada Warga Negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan ayat (2) mengatakan “Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Karena mengandung unsur setiap orang, bukti uang/ barang yang bukan termasuk biaya politik (cost politics), adanya unsur kesengajaan, tertangkap tangan dan pemberiannya untuk mempengaruhi penerima/ pemilih.
Pengalaman penulis menjadi Bawaslu Kabupaten Malang Divisi Koordinasi Penanganan Pelanggaran. Orang yang memberi sangat pandai sehingga sulit terdeteksi. Sering mereka munggunakan helm di atas sepeda motor dan penerima tidak mengaku siapa yang memberikan. Penerima menjadi korban.
Harapan penyelenggara pemilihan harus berintegritas, tidak memihak ke salah satu Paslon. Pemenangnya adalah legitimasi dari masyarakat, bukan membeli suara. Bawaslu dan jajarannya, serta partisipasi masyarakat aktif melihat hal tersebut, segera melaporkan kepada Bawaslu dan jajarannya agar segera ditindak. Semoga.(*)