BENAR tahun 2023 merupakan tahun politik menjelang Pemlihan Umum (Pemilu) 2024. Tampak manuver aktor/ elite politik bermain di wilayah publik maupun di grey area (daerah abu-abu) dengan tujuan mempengaruh semua lembaga yang bersentuhan dengan Pemilu.
Kamis (2/3/2023) merupakan awal hiruk pikuknya dunia persilatan politik dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan hasilnya menunda Pemilu.
Gugatan ini, pada tanggal 8 Desember 2022 Nomor Register 757/Pdt.G/2022/Jkt.Pst., dengan putusan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih kurang 2 (dua) tahun, 4 (empat) bulan dan 7 (tujuh) hari setelah putusan dibacakan. Putusan ini, dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim T. Oyong beranggota Bakri dan Dominggus Silaban.
Serta merta tanggapan dari elite/ pimpinan Partai Politik (Parpol), akademisi, praktisi, pemerhati Pemilu pada kesimpulannya bahwa PN Jakpus tidak mempunyai kewenangan/ kompetensi menjatuhkan putusan yang masuk dalam rezim Pemilu.
Timbul pertanyaan siapakah/ lembaga yang berwenang menyelesaikan pelanggaran administrasi, sengketa proses Pemilu. Apakah PN, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Mahkamah Agung (MA) atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga setiap peserta Pemilu ataupun calon peserta Pemilu harus tunduk dan taat kepada UU No 7/2017 dan Perbawaslu mengatur tentang teknisnya, jika melakukan tahapan-tahapan dalam proses sengketa Pemilu.
Manuver Politik
Elite politik/ aktor Parpol bermain di segala sendi kehidupan demokrasi untuk meraih kekuasaan dengan berbagai alasan antara lain mensejahterakan rakyat. Pemilu elite/ aktor politik telah mempengaruhi elite birokrasi, elite pengusaha, elite agama, dan elite Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) bermain dalam politik. Tidak menutup kemungkinan lembaga Kepolisian, Pengadilan, ikut terseret dalam pusaran politik.
Terkadang elite/ aktor politik, memanuver politik dengan jalan pintas dan permainannya tidak elok, bahkan tidak beretika, bermoral. Tetapi, itulah politik di tanah air yang selama ini berkembang bagaimana untuk meraih kekuasaan, menggunakan seluruh kekuatan yang ada pada Parpol, bahkan menggunakan kekuatan yang berada di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Bermain di legislatif, itu adalah pekerjaan mereka, tetapi masuk dan mempengaruhi lembaga eksekutif itu juga sudah biasa, sedangkan bermain dalam lembaga yudikatif itu namanya luar biasa. Karena setiap putusan dari lembaga yudikatif, sering tidak dapat diterjemahkan dengan menggunakan nalar, dan akhlak berpikir secara teori dan hukum.
Lembaga yang Berwenang
Kompetensi/ kewenangan suatu badan peradilan untuk mengadili suatu perkara, apakah ruang lingkupnya atau kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang lain, seperti UU Pemilu. UU No 7/2017 Pasal 460 tentang pelanggaran administrasi “pelanggaran administrasi Pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelengaraan Pemilu.”
UU ini, mengatur kewenangan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan pelanggaran administrasi. Jika, termohon dan pemohon tidak terima putusan dari Bawaslu, maka dilakukan upaya hukum ke MA, dan putusan MA bersifat final dan mengikat.
Sedangkan Pasal 466 tentang Sengketa Proses Pemilu. “Sengketa proses Pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/ Kota.”
Apabila Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU akibat dalam melakukan Verifikasi Administrasi (Vermin) Parpol yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Adminstrasi Parpol Calon Peserta Pemilu 2024 Tidak Memenuhi Syarat (TMS) menyebabkan tidak bisa mengikuti Verifikasi Faktual (Verfak). Sebenarnya Partai Prima menyelesaikan sengketa proses Pemilu di Bawaslu.
Putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan 1) verifikasi Parpol peserta Pemilu, 2) penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota, dan 3) penetapan Pasangan Calon (Paslon).
Penyelesaian sengketa proses Pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan Tata Usaha Negara (TUN). Putusan Pengadilan TUN bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Hal ini, bisa elite/ aktor politik manuver/ bermain dalam lembaga yudikatif.
Sedangkan seluruh proses pengambilan keputusan Bawaslu wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa proses Pemilu, diatur dalam Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
PN Jakpus, tentunya menerima semua gugatan yang masuk dan tidak dapat ditolak. Walupun dalam proses persidangan ditemukan adanya kebenaran materi, tetapi karena PN Jakpus tidak mempunyai kewenangan mengadili, maka harus ditolak dan menyatakan PN Jakpus tidak mempunyai kompetensi/ kewenangan mengadili.
Dalam putusan tersebut, menyarankan kepada pemohon untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu. Atau PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima, isi putusan KPU harus dihukum melakukan Vermin ulang, tanpa mengganggu tahapan yang sedang berjalan,
Dengan putusan PN Jakpus menunda Pemilu, dinilai bahwa sebagai pintu masuk manuver elite/ aktor politik untuk memperpanjang masa periode Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD, dan DPRD Kabupaten Kota. Karena putusan ini, sejak putusan dibaca oleh Majelis Hakim. Berarti semua tahapan yang tersisa dihentikan.
Apabila tahapan ini, terhenti atau adanya penundaan Pemilu 2 tahun lebih, maka Persiden dengan kewenangan yang ada padanya akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam ikhwal kegentingan yang memaksa.
Sementara Pemilu lanjutan dan Pemilu Susulan, Pasal 431 ayat (1) dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan, ayat (2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan dimulai dari tahap Penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.
Sedangkan Pasal 432 ayat (1) dalam hal sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Repbublik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau ganggan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan, ayat (2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu. Apakah putusan PN Jakpus termasuk Pemilu Lanjutan. Kita melihat manuver politik apalagi di hari-hari mendatang dalam tahun politik.(*)