Kejujuran, demokrasi mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin liar dan tak terkendalikan. Atas nama demokrasi berkeliaran ke segala arah dan merasuk sendi-sendi sosial masyarakat, sehingga membuat tidak berdaya para elite/ aktor politik/ Partai Politik (Parpol). Termasuk penyelenggara Pemilu yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta jajarannya.
Kejujuran dan demokrasi bisa mati, karena manuver elite/ tokoh Politik kepentingan kelompok atau Parpol, sehingga mati pelan-pelan. Para elite tidak sadar ketika terjadi goncangan demokrasi selangkah demi selangkah dengan terpilihnya pemimpin yang diduga “otoriter” mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan.
Panggung politik lokal, nasional hampir setiap hari kita disuguhkan informasi seputar kejujuran dalam berdemokrasi oleh media massa, maupun online. Kita berharap agar demokrasi tidak cepat layu kemudian mati, tetapi demokrasi harus tumbuh subur dan berkembang serta berakar di tengah-tengah politik tidak jujur, patuh, dan taat kepada moral serta etika berpolitik. Apakah demokrasi kita dalam keadaan bahaya.
Fenomena politik yang diterapkan dalam Pemilu ketidak jujuran sudah tampak di mata kita sehari-hari. Hal ini, sangat meresahkan masyarakat yang tetap menginginkan politik dan demokrasi sebagai jalan mulus atau “karpet merah” bagi seluruh anak manusia di negeri ini.
Adapun bentuk politik yang tidak jujur seperti black campaign (kampanye hitam), hate speech (ujaran kebencian), political dignity (politik kebencian). Politisasi Sara (suku, agama, ras, antar golongan), dan berbagai bentuk tindakan ketidakjujuran. Akan berdampak pada polarisasi di tengah masyarakat semakin lebar dan tajam tidak dapat dihindari. Perilaku politik tidak jujur akan menumbuhkan polarisasi di tengah masyarakat semakin membuka lebar perpecahan dan prefrensi seorang pemilih dininabobokan.
Demokrasi berjalan sangat lambat, akibat institusi tidak berwibawa/ bermartabat/ harkat dari tingkat kejujuran para pelaku politik yang tidak mengedepankan kejujuran. Langkah-langkah ini, sedang terjadi dewasa ini, membuat kekacauan dalam berpolitik. Pertanyaannya, bagaimana kita mesti menghentikan agar tidak semakin parah?
Kejujuran dan demokrasi mati, mengajak kita untuk memahami rezim yang sedang berkuasa, sehingga tidak terjadi atau membahayakan pemimpin yang otoriter ketika menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat. Kita dapat melindungi kejujuran dan demokrasi dengan belajar pada sejarah sebelum terlambat mengambil keputusan dan tindakan kepentingan masyarakat.
Menumbangkan Demokrasi
Inti sari dalam buku yang berjudul “Bagaimana Demokrasi Mati” (How Democracies Die, 2023) oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menggambarkan bagaimana pemimpin yang otoriter terpilih merusak lembaga-lembaga demokrasi seharusnya mampu untuk mencegah/ membatasi. Kita melihat, lebih sering serangan terhadap demokrasi dimulai secara pelan-pelan, sehingga rakyat yang awalnya tidak menyadari. Bagaimanapun Pemilu terus diselenggarakan sesuai tahapan demi tahapan, walaupun berbagai komentar dari “oposisi” yang duduk di parlemen maupun di luar parlamen/ pengamat/ pemerhati.
Menurut Steven dan Daniel demokrasi saat ini, tidak lagi mati di tangan para jenderal, tetapi melalui tangan pemimpin terpilih yang siap menggusurkan proses konstitusi yang menghantarkan mereka meraih kekuasaan. Melihat bagaimana demokrasi bisa mati melalui cara-cara sangat destruktif, sangat berbahaya dan mematikan.
Hal ini, mengakibatkan terjadinya erosi demokrasi selangkah demi selangkah dan terkadang amat kecil langkahnya, tetapi kepastian menanti di ujung sana. Apakah pemerintah dapat menumbangkan demokrasi, memang sering terasa dan terlihat dalam sehari-hari berkesan legal. Demi masyarakat, pemerintah dapat mengambil langkah demikian. Langkah ini, juga disetujui oleh parlamen yang sudah berkoalisi dianggap konstitusional oleh Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdalih, demi satu tujuan publik yang sah, bahkan terpuji seperti melawan korupsi “membersihkan” Pemilu, memperbaiki mutu demokrasi atau meningkatkan keamanan nasional. Jangan sampai menghasilkan autokrat dalam Pemilu merusak lembaga Bawaslu dan KPU secara halus demi konsolidasi kekuasaan.
Calon pemimpin otoriter seharus menangkap wasit, sehingga mengeluarkan beberapa pemain dalam lapangan pesta Pemilu. Kenyataannya hari ini, Bawaslu dalam melakukan seleksi calon anggota Bawaslu Kabupaten/ Kota Periode 2023-2028 carut marut, kekacuan sampai beberapa kali menunda pengumuman dan pelantikannya.
Akibat tekanan atau permintaan dari Parpol, perorangan, organisasi yang membawa duduk sebagai anggota Bawaslu maupun Bawaslu Provinsi. Hal ini, sudah menjadi “rahasia umum”, kita sadari bahwa “balas budi” terjadi, dengan meninggalkan harkat, martabat, marwah, kejujuran dalam mengelola lembaga Bawaslu.
Pagar Demokrasi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, para penyelenggara Pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan asas yang memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Ternyata para anggota Bawaslu tidak memegang teguh asas dan prinsip, malahan melakukan tindakan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu.
Kita bertanya, apakah saran perlindungan konstitusional itu sendiri memadai untuk mengamankan demokrasi. Saya yakin jawabanya tidak. Karena konstitusi yang dirancang dengan baik kadang-kadang gagal. Dinilai banyak orang sudah cukup untuk mencegah penyalahgunaan oleh pemerintah termasuk lembaga Bawaslu membuat demokrasi ambruk berkeping-kepingan, akibat ulah dari mereka yang tidak bertanggung jawab atas kelangsungan Pemilu.
Pemilu Demokratis
Bawaslu melaksanakan pengawasan Pemilu agar Pemilu berlangsung demokrasi secara normatif, sehingga semua tahapan Pemilu harus dilaksanakan sesuai perundang-undangan. Setiap orang mengaku beragama dan biasanya orang beragama itu pasti “Jujur.” Tetapi pada saat Pemilu sebagia besar apakah elite/ tokoh politik/ Parpol tingkat kejujurannya semakin menipis/ merosot di bawah titik terendah.
Hal ini, dari mulai melakukan seleksi anggota Bawaslu di 514 Kabupaten/ Kota periode 2023-2028 merosot kejujuran dan kepercayaan terutama penyelenggaranya, sehingga banyak gugatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun).
Penyelenggara Pemilu bertujuan antara lain memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, serta memberikan rasa keadilan, kepastian, kemanfatan hukum.
Caranya, Bawaslu dan jajarannya mengajak masyarakat melalui berbagai sosialisasi agar tidak melakukan pelanggaran Pemilu dan memberi motivasi/ mendorong masyarakat untuk jujur berdemokrasi dan Pemilu.
Jangan sampai penyelenggara tidak jujur, keberpihakan atau menguntungkan salah satu Parpol, Caleg, dan Paslon. Kita menyadari tidak mudah mengajak atau menemukan segelintir anggota masyarakat yang peduli kejujuran dalam Pemilu. Mengajak partisipasi para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat menghindari politik uang (money politics) di semua tahapan Pemilu.
Politik yang dibangun di atas mental tidak jujur, akan melahirkan politikus/ elite/ aktor politik yang tidak patuh dan taat kepada demokrasi dan konstitusi negara.(*)