.
Saturday, December 14, 2024

Pemimpin Tak Korup, Guru Jadi Role Model

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pandemi Covid-19 dua tahun lalu memaksa pendidikan di tanah air harus beradaptasi secepat mungkin. Pemerintah melalui Kemendikbudristek telah mengeluarkan kebijakan baru dengan meluncurkan kurikulum merdeka. Tentu bukan hanya soal pandemi saja yang menjadi latar belakang kurikulum tersebut ada. Era digital yang semakin canggih juga menjadi salah satu alasan.

Jika dilihat dari kacamata historis pendidikan di Indonesia, hampir setiap pergantian Menteri Pendidikan selalu diiringi dengan pergantian kurikulum. Mulai dari KTSP, Kurikulum K13 hingga Kurikulum Merdeka. Semuanya punya visi dan misi tersendiri dalam mewujudkan cita-cita pendidikan nasional.

Artinya, secara garis besar ide besar pendidikan kita belum sepenuhnya utuh. Masih berkutat dan disibukkan pada hal-hal yang bersifat administratif. Belum menyentuh pada tataran praksis-substantif.

Apabila dilihat secara kasat mata, kurikulum merdeka alias merdeka belajar, lebih memberikan keleluasaan kepada tenaga pendidik untuk melakukan inovasi pada saat proses kegiatan belajar mengajar (KBM).

Selain itu, merdeka belajar juga memberikan ruang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengeksplorasi pengetahuan secara mandiri melalui berbagai platform digital seperti Youtube, Google, maupun sumber-sumber terbuka lainnya yang ada di internet.

Jika berbicara soal pengetahuan (knowledge), hari ini sudah sangat mudah untuk mencari sumber pengetahuan apa pun. Tersedia berbagai macam konten pembelajaran maupun konten-konten tutorial yang sangat bermanfaat untuk pembelajaran.

Semisal seorang peserta didik ingin belajar merakit komputer atau servis laptop, kini tidak perlu harus datang ke sekolah. Cukup dengan searching di Google maupun Youtube akan tersedia secara lengkap. Keterbukaan sumber pengetahuan ini tentunya sangat menguntungkan bagi sekolah-sekolah kejuruan yang sebagian besar kurikulumnya lebih menekankan praktik ketimbang materi.

Hal itu tentu tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan pendidikan di negeri ini. Apabila merujuk pada hakekat sebuah pendidikan, tentu tidak sesimpel itu.  Keterbukaan informasi di era digital ini juga memiliki dampak negatif. Transformasi pengetahuan (transfer of knowledge) bisa saja didesain melalui teknlogi, namun trasformasi nilai (transfer of value) tidak bisa semata-mata melalui media daring. Tetap membutuhkan peran seorang pendidik untuk membentuk karakter siswa.

Tantangan Era Disrupsi

Apabila mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003, hakekat pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Melaui UU Sisdiknas di atas, setidaknya ada 6 poin fundamental yang menjadi tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pengembangan potensi diri, kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia. Puncak terakhir muara pendidikan adalah seorang peserta didik memiliki akhlak mulia.

Persoalan akhlak selalu tak pernah lepas dari pendidikan itu sendiri. Tidak sedikit seorang peserta didik yang mahir secara pengetahuan namun nihil dari segi akhlak. Jika sudah demikian, maka pendidikan dapat dikatakan gagal untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.

Format Ideal Sistem Pendidikan Nasional

Adanya pergantian kurikulum, secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Pertanyaannya, sistem seperti apa yang ideal untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional?.

Setiap lembaga pendidikan tentu memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan sistem full day school serta ada pula yang menggunakan sistem boarding school. Keduanya tentu memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.

Sistem full day school memang memberikan ruang bagi siswa untuk lebih mengenal lingkungan sekolah. Namun di lain sisi, hal ini justru membuat siswa jenuh lantaran terlalu lama berada di sekolah. Sehingga peserta didik memiliki waktu yang singkat untuk berinteraksi dengan orang tua.

Sementara sistem boarding school memiliki keunggulan dari sisi kontrol terhadap murid. Peserta didik sepenuhnya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan tersebut. Kendati pun demikian, sistem ini juga masih memiliki sejumlah kekurangan.

Kasus di pondok pesantren Darussalam Gontor beberapa waktu lalu menjadi pelajaran penting bahwa boarding school juga tidak sepenuhnya ideal. Salah seorang santri harus terenggut nyawanya akibat mengalami penganiayaan oleh salah seorang temannya.

Dari kasus ini, yang salah bukanlah sistem pendidikannya. Melainkan pengawasan terhadap peserta didik yang kurang begitu maksimal. Alias SDM yang ada di dalamnya.

Artinya sistem pendidikan apa pun masih tetap rawan dari bullying, tindakan kekerasan, pelecehan seksual serta persoalan-persoalan lainnya. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya keseimbangan antara jumlah tenaga pendidik dengan jumlah peserta didik.

Penguatan Pendidikan Karakter

Terlepas dari kurikulum dan sistem apa pun yang digunakan dalam pengelolaan pendidikan, hal yang tidak kalah penting dalam pendidikan adalah penguatan pondasi pendidikan karakter.

Sayangnya, pendidikan karakter di sekolah maupun di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, hanya berupa slogan dan simpul-simpul narasi belaka. Padahal sejatinya bentuk kongkrit pendidikan karakter adalah melalui tindakan dan contoh nyata.  Perlu adanya role model atau orang yang dapat dijadikan panutan oleh peserta didik.

Jika berbicara pada lingkup nasional, pertama yang harus menjadi role model adalah para pemimpin-pemimpin negeri ini. Para pemimpin kita harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam praktik kehidupan nyata.

Paling tidak ada dua hal yang menjadi catatan kritis untuk mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia. Pertama, pemimpin-pemimpin di negeri ini harus jauh dari tindakan korupsi, harus mampu mengayomi, serta bersikap adil sebagai wujud manifestasi pendidikan karakter bangsa.

Kedua, guru di sekolah harus menjadi role model untuk dijadikan panutan bagi peserta didik. Segala sikap dan tindak-tanduknya tentu akan berimbas pada output pendidikan yang dihasilkan di kemudian hari.

Tugas guru tidak cukup hanya berhenti pada tataran transformasi ilmu (transfer of knowledge), melainkan juga harus mampu melakukan transformasi nilai (transfer of value). Sehingga output pendidikan dapat melahirkan siswa-siswa yang berilmu dan beradab.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img