Sharing Session Malang Mbien (2/habis)
Dalam rangka HUT ke 110 Kota Malang, Malang Posco Media menurunkan rubrik Malang Mbien. Rubrik ini mengulas berbagai kebiasaan dan tempat yang pernah populer namanya namun mulai redup atau bahkan terlupakan seiring perkembangan zaman. Untuk memperkaya wawasan tentang Malang Mbien, Malang Posco Media menggelar Sharing Session, Jumat (1/3). Kali ini bersama pemerhati sejarah Agung Harjaya Bhuana.
=========
MALANG POSCO MEDIA- Sejumlah nama daerah yang ‘tak tertulis’ familiar pada zaman dulu. Bahkan hingga kini. Namun ada yang sudah tak terucap lagi atau memudar, namun sebagian masih disebut hingga sekarang.
Contohnya, jika menyebut nama Glintung pasti akan mengarah pada kawasan Jalan S Parman. Atau kawasan Ngaglik yang merujuk pada pemukiman zaman dulu di Kelurahan Kasin. Nama-nama lawas itu sudah ada sejak zaman dahulu, dan masih dilestarikan sampai sekarang.
Pemerhati sejarah Agung H Bhuana menjelaskan ada beberapa faktor penamaan daerah atau disebut Toponimi di Kota Malang yang memang menarik dibahas. Salah satunya penamaan dibuat dengan cara sederhana.
“Kebanyakan karena apa yang ada di kawasan itu. Contohnya misal Kampung Genitri, itu kan Pisangcandi, karena memang konon di sana dulu banyak sekali Pohon Genitri,” ungkap Agung.
Hal ini juga dibuktikan dari Toponimi kawasan atau daerah pada umumnya di Kota Malang. Yang jika diperhatikan memiliki karakter yang sama yakni bernuansa tanaman atau tumbuhan. Dijelaskan dia seperti penggunaan untuk penamaan sesuai unsur tanaman tanpak nama “Sukun” dan “Blimbing” lalu “Janti”, “Tunggulwulung” dan lainnya.
Kemudian tidak itu saja kawasan seperti “Sawojajar”, “Mbawang” (daerah Kampus UMM) hingga “Mbringin” untuk kawasan Tegalgondo.
“Contoh lain penamaan nama daerah di Kota Malang yang didasarkan pada apa yang khas di kawasan itu ada juga di kawasan Dinoyo. Yang dulu sebutannya Mbioro,” ungkap mantan Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang ini.
Penamaan Mbioro di kawasan Dinoyo (kawasan belakang Kampung Keramik Dinoyo) didasarkan pada khas kawasan tersebut yang dulunya konon menjadi pusat pembelajaran keagamaan.
Agung mengetahui sebelumnya dalam hasil penelitian seorang arkeolog di kawasan Dinoyo khususnya di wilayah sekitarnya (kawasan Kelurahan Ketawanggede, Jatimulyo, Karangbesuki) memiliki sembilan gugusan percandian.
Sehingga saat itu kawasan itu menjadi daya tarik bagi warga yang ingin menimba ilmu keagamaan. Konon di sana banyak menjadi jujukan tempat bagi warga yang ingin mendalami agama.
“Kalau sekarang seperti kawasan pesantren mereka kumpul di sana belajar agama. Jadinya kawasan itu dulu dinamakan Mbioro atau seperti biara,” papar Agung.
Selain didasarkan pada apa yang khas di kawasan itu. Ada pula penamaan daerah atau kawasan di Kota Malang yang dipengaruhi penamaan era zaman Kolonial Belanda. Yakni mengambil nama-nama raja, ratu, pangkat jabatan atau pejabat pada saat itu.
Ini muncul pada nama-nama daerah di Kota Malang seperti Temenggungan, Kepatihan, Kiduldalem. Ada juga Toponimi yang didasarkan pada penamaan pembahasaan Belanda pada saat itu.
“Yang kelondo-londoan juga ada. Contohnya seperti Klaseman dan Panderman. Lalu juga dulu nama-nama yang dekat Balai Kota Malang dinamakan seperti Wilhemina Straat, Daendelsbpulevard, Sophiastraat, Emmastraat, dan banyak lagi lainnya,” tegas Agung.
Ia juga menyebut nama Pandean. Yang saat ini diketahui adalah kawasan Sulfat, khususnya di kawasan Kampung Sanan. Penamaan pandean saat itu konon disebabkan karena disana banyak bermukim penduduk yang memiliki keahlian pandai besi.
Meski begitu, lanjut dia, belakangan ditemukan pula nama Pandean dahulu juga merujuk pada wilayah lain. Yakni di kawasan Sukun.
“Ya jadi memang rata-rata penamaan daerah merujuk pada apa yang ada di tempat itu. Saat ini memang masih banyak yang menyebut tapi ada juga yang penamaan zaman dahulunya sudah banyak tidak tahu,” tegas Agung.
Seperti salah satunya penamaan kawasan di sekitar Kayutangan saat ini. Menurut Agung, dahulunya kawasan Kayutangan memiliki penamaan daerah yang berbeda jauh dari saat ini. Dan cenderung banyak yang tidak mengetahui.
Yakni sebutan kawasan Ledokkajoetangan dan Ledok Wetan. Saat ini dua kawasan itu dikenal dengan nama Kayutangan Gang 2 dan Gang 6.
“Itu bisa dilihat di peta Malang zaman dulu, dibuat sekitar Tahun 1923,” papar Agung sambil memperlihatkan peta Kawasan Kota Malang pada saat era Kolonial Belanda.
Ia berharap penamaan “Malang Mbien” tidak luntur. Karena ada sejarah dan peninggalan histori menarik yang masih bisa digali oleh warga saat ini. (ica/van/habis)