spot_img
Friday, May 17, 2024
spot_img

Penantian

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Cerpen Oleh Sri Rahayu

Terik matahari seakan memercikan sinar apinya ke sudut kamarku, ku tersadar dari tidur panjangku semalam yang menyisakan mimpi sejuta impian. Aku bergegas mengambil handuk yang tergantung di sudut kamarku, dengan mata yang sedikit masih tertutup, ku buka pintu kamar mandi dan ku nyalakan keran air, suara air yang keluar dari keran seakan mengingatkanku pada kisah kelamku yang tenggelam di laut biru benua patra kalimantan timur, seketika aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara terikan khas malaikat setengah baya yang selama ini merawatku.

“Hana, buruan mandinya nanti telat berangkat ke kampus,” ku jawab dengan nada indah sedikit mengalun lembut.

“Iya Mama sayang,” tak tersadar waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 kelas pertama akan dimulai pukul 07.00 dibuka oleh mata kuliah bahasa Inggris dengan dosen superkiller bak monster dalam film monster mc.

Aku terburu-buru ke luar kamar mandi, memakai baju dan mempersiapkan buku yang aku perlukan. Dengan kecepatan yang super cepat aku berlari ke luar dari gerbang tanpa memperhatikan tali sepatuku yang belum terikat. Aku tak sadar jika sejak tadi orang orang melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin mereka menganggapku gelandangan yang tersasar di dalam kampus ini. Aku berlari dengan kecepatan maksimum. Ketika sampai di lantai dua kampusku, aku berencana masuk ke dalam lift, tetapi sialnya ruangan kotak berjalan itu telah dipenuhi orang. Hah sial. Aku terpaksa naik tangga sampai ke lantai empat.

Hah mungkin saat ini keadaanku sangat buruk, aku menarik napasku ketika berada di depan kelas. “Selamatkan aku ya Tuhaaan, berikan hidayahmu pada monster mc itu,” aku mengetuk pintu kelas dengan tangan sedikit gemetar, ketika aku berhasil membuka pintu kelas semua mata tertuju padaku. Dan ya mataku bertatapan dengan monster mc itu, rasanya seperti cabut saja nyawaku ini. Miss Clarista dosen bahasa inggris yang super duper galak. Yah itu dia si monster mc. Ketukan ujung sepatu lancip menggaum seisi ruangan ini. Ini hari kematianku, desisku.

“Hanaaa berikan tanganmu,” aku pun pasrah mengulurkan tangan mulusku ini, aku sudah ikhlas jika dia ingin melukai tangan cantik ini. Dia menggapai tanganku.

“Wahhh apakah jam tanganmu ini kurang besar? Atau kau tak mengerti angka angka ini? Apa yang membuatmu datang terlambat haaa?!” hah perempuan tua ini bagaimana aku bisa menjawab pertanyaannya, dia memborong semua pertanyaan dalam satu kalimat. Tega.

Di sinilah aku, sebuah tempat yang memiliki banyak lemari yang berjejer rapi, meja-meja yang disusun sedemikian rupa, keheningan yang menyerupai pemakaman, bahkan jarum terjatuh pun akan terdengar di sini. Yah apalagi jika bukan tempat yang sering disebut tempat orang orang pintar berkumpul. Ini adalah tempat yang paling aku benci, orang-orang sering menyebutnya “Perpustakaan,” monster mc itu menghukumku untuk menerjemahkan buku setebal 600 halaman dalam dua hari. Gila.. Lebih baik aku disuruh membersihkan selokan dan kamar mandi yang ada di kampus ini daripada harus berurusan dengan bahasa yang tak pernah aku mengerti.

Aku menelusuri rak-rak buku yang menurutku ini terlalu tinggi, sebenarnya siapa yang membuat ini? Apa maksudnya? Membuat orang yang kekurangan tinggi sepertiku harus bersusah payah, pikirku. Aku mulai gila sekarang. Ketika buku itu sudah sampai ujung jariku dengan senangnya aku melompat kecil tanpa memikirkan ada ribuan bongkah buku yang sudah siap meremukkan badan mungil dan ideal ini. Sialnya bukan buku itu yang menimpaku tetapi kaki mungil ini yang hampir saja menambah koleksi tato di kulit putih mulusku. Aku pun tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba ada sesuatu yang menahanku dari belakang, deru napasnya sampai di atas kepalaku.

Aku belum tahu itu apa, tapi ku yakin di sejenis makhluk hidup. Aroma tubuhnya sangat khas dengan parfum bulgari yang sangat menyengat hidung mungilku ini, ku balikkan badanku menghadap dia, sorotan matanya yang tajam membuat jantungku serasa berhenti seketika. Seorang malaikat berbadan tinggi tegap berkulit putih dengan kacamata berada tepat di depanku, mataku serasa enggan berkedip menatapnya, “Hei kamu gak apa-apa?” ujar si pria tampan nan mempesona itu, entah kenapa aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun di hadapannya seolah-olah semua kataku habis hanya dengan satu tatapannya.. ‘I think I was fallin’ love at first sight, “I don’t even understand what love was but now I know it. He who was made it,” aku hanya bisa menggelengkan kepalaku seraya menjawab pertanyaannya.

Tiba-tiba pengurus perpustakaan pun datang.

“Ada apa ini ribut-ribut?” dan si tampan pun dengan terkejut melepaskan pegangannya.

“Ehmm gak apa-apa kok Bu, maaf,”

“Ya sudah jangan ribut lagi!!” ujar sang penjaga pepustakaan itu.

“I .. iyaa Bu,” jawabku dengan terbata-bata.

Si penjaga perpustakaan pun pergi meninggalkan kami dan malaikat tampan pun pergi entah ke mana, sedikit sesal menghampiriku karena kami belum sempat berkenalan apalagi mengucapkan kata terima kasih kepadanya. Dering teleponku berbunyi para sahabat setiaku memintaku untuk berkumpul di kantin kampus, aku pun bergegas menuju ke kantin tanpa membawa buku yang ku cari, ya sudahlah aku sudah mengabaikan buku itu. Sesampainya di kantin ku ceritakan semua peristiwa yang menimpaku hari ini kepada kelima sahabatku itu.

“Mungkin inilah yang disebut habis gelap terbitlah terang,” ujarku dengan muka memerah bak mawar yang merekah, semua sahabatku menatapku heran.

“Kamu kenapa si Han? Belum minum obat?” tanya salah seorang sahabatku. Aku menjawab dengan nada lembut.

“Aku tadi dihukum monster mc gara-gara terlambat masuk kelas tapi waktu aku dihukum aku ketemu dengan pangeran yang selama ini ada di dalam mimpiku,” ujarku dengan riang.

Seminggu kemudian aku sengaja datang ke perpustakaan kampus dengan dandanan ala miss univers, dengan harapan bisa bertemu dengan pangeran impianku itu, ku tengok kiri kanan ku langkahkan kaki mungilku dan ku susuri semua ruangan perpustakaan itu, namun sosok tampan nan rupawan itu tak tampak berada di ruangan itu, raut kekecewaan jelas tergambar di wajahku, aku ke luar dari ruangan perpustakaan dengan langkah berat nan lesu wajah kekecewaan itu masih ku bawa sampai jam pulang kampus.

Ku kendarai motor vario kesayanganku itu ku pasang helm berwarna biru muda ke kepala dan aku pun siap untuk menyusuri jalanan yang penuh dengan debu dan genangan air menuju ke rumahku, ku kendarai motorku dengan kecepatan 90km/jam serasa melayang aku di atas udara dibawa oleh si jagoan balapku itu, dengan sigap ku rem motorku sekuat tenaga karena lampu merah.

“Siall pake merah segala lagi, udah panas-panas gini,” gumamku dengan wajah lesu. Tiba-tiba sebuah mobil sport berwarna merah mengklakson keras bak menyobek gendang telingaku, ku tahan-tahan amarahku yang hampir meluap ini, dan ketiga kalinya mobil itu mengklaksonku lagi, aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Ku matikan motorku dan bergegas aku menuju pemilik mobil bmw itu.

“Woy ke luar!” ujarku dengan muka sangar, dibukalah jendela mobil bmw tersebut dan seketika nadiku berhenti berdetak. Senyum kecil terukir di bibir merahku.

“Hei kita belum kenalan,” ujar pemilik mobil itu, dengan tersipu malu aku mengulurkan tangan lembutku itu ke arahnya dia pun menggenggam tangan halusku itu. Dalam hati ku berkata, “Tuhan apakah dia manusia? Atau malaikat yang kau kirim untukku?” tangannya yang lembut, tutur sapanya yang halus dan pancaran matanya yang tajam membuatku serasa dihujani seribu bunga mawar yang jatuh dari langit.

Di sepanjang perjalanan pulang wajah lesu dan letih yang sedari tadi menghiasi wajahku kini berubah menjadi senyum riang layaknya anak kecil yang mendapat es krim dari sang mama. Sesampainya di rumah ku buka kamar yang serba biru berhias wallpaper doraemon itu dengan lembut, ku baringkan tubuh mungilku ke kasur dan ku bayangkan wajah pangeran tampan yang tadi berkenalan denganku itu, namanya Hendri mahasiswa fakultas hukum semester 4 yang berhasil membuat kupu-kupu dalam perutku seakan ke luar dan menari-nari di sekelililng tempat tidurku.

“Tapi apa mungkin Hendri yang notabenya anak orang kaya, ganteng, putih, dan baik hati itu suka sama seorang upik abu yang dekil dan ceroboh sepertiku,” pertanyaan itu yang selalu membuatku frustasi untuk mendapatkan cintanya. Ku palingkan pandanganku ke atas meja belajar dan ku lihat kotak kecil berwarna pink dengan sedikit hiasan debu-debu yang menempel di atas tutup kotak itu, ku bersihkan dan ku keluarkan isi kotak itu, ku angkat buku harianku bergambar doraemon dengan pita kecil yang menghiasnya, perlahan ku buka semua memoriku yang ku simpan di dalamnya, ku baca satu persatu kreasi tanganku yang mirip dengan ceker ayam itu, aku sama sekali tidak malu dengan tulisan tanganku yang abstrak itu karena kebanyakan orang yang tulisannya acak-acakan itu berarti dia tipe orang yang berpikir cepat like me.

Tulisan pertama tertanggal 2 feb 2010. “Semua sahabatku sudah memiliki pacar, di usiaku yang sekarang ini harusnya aku juga sudah punya pasangan, apa aku terlalu buruk rupa untuk bersanding bersama pangeran?” Tulisan kedua tertanggal 10 maret 2010. “Hari ini sejarah baru dalam hidupku dimulai, sama putih abu-abu mulai menjelma menjadi taman indah yang penuh dengan lampu dan bunga-bunga di sekelilingnya, apalagi kakak senior yang rata-rata berwajah rupawan membuatku betah berada di dalamnya, andai saja ada satu untukku…”

Tulisan ketiga tertanggal 28 agustus 2011. “Tuhan ku rasa aku mulai jenuh dengan kehidupan monoton yang mengekangku selama ini, apakah ada satu tempat yang mampu merubah ulat menjijikkan menjadi kupu-kupu yang menakjubkan?” Tulisan ketiga tertanggal 10 januari 2011. “Ulang tahunku kali ini sangat amat berkesan, dengan keluarga lengkap dan seorang pujaan hati yang membawa pucket bunga melati kesukaanku, I love you so much my boy,”

Saat membaca tulisan itu aku langsung teringat oleh kejadian masa silam yang membuat aku memutuskan untuk jomblo sampai saat ini, aku yang sudah begitu baik, begitu perhatian dan begitu sayang sama dia dicampakkan begitu saja tanpa ada sepatah kata yang ke luar dari mulutnya. “Berengsek,” ujarku sambil merobek tulisan itu. Ku temukan pula sepucuk surat yang sudah lusuh berwarna merah jambu dengan coretan tinta biru di dalamnya, ya surat itu surat terakhir dari Rangga orang yang selama ini membuatku tersiksa dengan penantian yang teramat panjang, mulai ku baca pelan-pelan surat itu.

“Hanna sayang, maafkan aku ya, mulai malam ini aku tak akan datang ke rumahmu, orangtuaku mengajakku pindah ke bandung karena ayahku ditugaskan ke sana. Namun jangan khawatir aku pasti akan secepatnya kembali untuk menemuimu, jika aku kembali ke jakarta nanti aku akan menunggumu di taman tempat kita pertama bertemu dulu, tolong tetaplah setia menungguku dan jaga kesehatanmu. Salam dari orang terkasihmu Rangga Hendri Wijaya,”

Tanpa tersadar air mataku jatuh membasahi sepucuk surat yang sedari tadi ku pegang, sedih rasanya mengingat penantianku selama ini. Aku yang tak pandang panas ataupun hujan selalu menyempatkan waktu untuk duduk di bangku kecil dalam sebuah taman yang berhiaskan sejuta bunga itu, setiap hari aku menunggu sosok yang ku anggap penerang dalam kegelapan hidup monotonku, namun apa? Sosok yang ku tunggu tak kunjung datang hingga saat ini sampai aku lelah untuk menunggunya lagi. “Apa dia lupa dengan janji yang dulu ia buat untukku?” entahlah yang pasti aku sulit move on darinya.

Aku sudah sangat lelah untuk mengingat-ingat masa laluku yang penuh dengan drama itu, ku putuskan untuk menelepon kelima sahabatku dan ku ajak mereka untuk kumpul di tempat tongkrongan kita, sebenarnya itu bukan tongkrongan seperti layaknya anak-anak kuliah pada umumnya, tempat tongkrongan kami hanyalah sebuah kedai kopi kecil yang berhiaskan dinding bambu dan beratap genting kaca yang super tebal yang membuat kita serasa sauna saat berada di dalam sana.

15 menit sudah aku menunggu mereka, bak patung pancoran aku hanya terdiam melihat orang berlalu lalang memesan kopi di hadapanku, ku tengok para pengunjung yang ada di sekitarku namun tak satu pun orang yang aku kenali di sana hingga akhirnya pandanganku tertuju kepada salah seorang pengunjung di meja nomor 15 tempat duduk yang tidak begitu jauh dari tempat duduk yang ku pesan untuk teman-temanku, dengan mengenakan jaket berwarna hitam dan topi yang melekat di kepala membuatku susah untuk mengenalinya apalagi ditambah dengan kacamata hitam yang menghiasi matanya. Namun entah mengapa aku merasa laki-laki itu sedari tadi memperhatikanku, aku sedikit nethink padanya, dengan tangan yang sedikit bergetar ku telepon sahabat-sahabatku itu, namun ternyata mereka masih terjebak macet di jalan sudirman.

Ku putuskan untuk beranjak dari tempat dudukku dan ku langkahkan kakiku untuk pergi dari kedai kopi itu, ku nyanyikan lagu-lagu taylor swift kesukaanku untuk mengiringi langkahku menuju suatu tempat yang masih belum terpikirkan olehku, tanpa tersadar aku berhenti tepat di bangku berwarna hijau yang menjadi tempat curhat sekaligus saksi bisu penantianku selama ini. Sempat ku berpikir untuk memutar kakiku dan berlari kencang meninggalkan tempat itu, namun entah mengapa kakiku seakan lumpuh dan tak mau membawaku pergi dari taman itu. Ku ingat kembali masa-masa dimana aku dan Rangga menghabiskan waktu di taman ini.

30 menit sudah aku berdiam bisu di sini ku dengar langkah kaki yang semakin mendekatiku, rasa takut bercampur senang berkecamuk di benakku. “Apakah itu Rangga, apa Rangga sudah kembali, apa Rangga menepati janjinya kepadaku?” segera ku balikkan badanku dan ku tatap sosok lelaki yang mengenakan jaket, topi serta kacamata yang ku lihat di kedai kopi tadi. Langsung ku arahkan kakiku untuk mundur lima langkah menjauh darinya, dibukalah topi dan kacamata yang dikenakannya itu. Betapa terkejutnya aku melihat siapa yang sedang bertatapan denganku saat ini. Yah itu dia pangeran tampan yang ku jumpai perpustakaan tempo lalu.

“Hendri, kamu sedang apa di sini?” tanyaku grogi.

“Kebetulan aku tadi lewat sini dan melihatmu berdiam diri tanpa seorang teman di sini, makanya ku putuskan untuk turun dari mobil dan menghampirimu,” ujar dia dengan sangat lembut.

“Apa yang di kedai kopi tadi kamu?” ku tanya dengan nada penasaran.

Dia hanya mewakili jawabannya dengan senyum manis di bibirnya, betapa senangnya aku melihatnya tersenyum kepadaku seakan jantung ini mau rontok saja, namun setelah ku perhatikan senyuman itu seakan tidak asing bagiku. Aku pernah melihat senyum itu sebelumnya, tapi di mana? Entahlah aku tak lagi mempermasahkan hal itu, cukup lama aku mengobrol dengannya, orangnya asyik dan humoris paket lengkap untuk menjadi seorang pacar idaman. Namun lagi-lagi ada tingkah ganjal yang menurutku sering ku jumpai dulu. Mulai dari kedipan matanya, cara dia memandangiku dan ceritanya yang membuat aku penasaran siapa Hendri sebenarnya.

Dia baru saja pindah dari bandung 3 bulan yang lalu dia juga tinggal di perumahan graha indah yang merupakan tempat tinggal Rangga dulu. Aku semakin merasa banyak kesamaan antara Hendri dan Rangga aku seperti melihat sosok Rangga dalam tubuh Hendri. Entahlah mungkin itu hanya halusinasiku saja karena terlalu merindukan sosok Rangga. Aku semakin tercengang saat Hendri mengambil gelang dari dalam tasnya yang bertuliskan my little girl. Mana mungkin dia memiliki gelang yang mirip dengan gelang yang ku minta dari Rangga dulu. Aku semakin penasaran siapa Hendri sebenarnya? Apa Rangga yang menyuruhnya menemuiku? Ku putuskan untuk menanyainya langsung.

“Kamu kok bisa dapat gelang itu dari mana?” tanyaku penasaran.

“Oh gelang ini, dulu ada seorang gadis yang amat ku cinta, memintaku untuk membuat gelang yang bertuliskan my little girl,” ucap Hendri tanpa melepaskan pandangan matanya ke arahku.

Hampir pingsan rasanya mendengar jawaban Hendri tadi, mukaku seketika langsung pucat badanku dingin bak baru keluar dari wahana salju. Ku beranikan menatap matanya lagi dan ku tanya dengan sisa tenaga yang masih terkumpul dalam tubuhku, “Kamu sebenarnya siapa?” dengan terbata-bata aku menanyainya. Ia pun memegang tanganku seraya berkata, “Maafkan aku sudah terlalu lama membuatmu menunggu, maafkan aku yang tak memberi kabar kepadamu, maafkan aku yang tak sempat mengucapkan kalimat perpisahan langsung kepadamu, dan maafkan aku sudah membuatmu tidak mengenaliku lagi,”

Aku menangis dan tak bisa berkata apa-apa lagi, bahkan untuk berdiri tegak pun aku tak mampu. Dia yang pergi dariku dan menghilang selama bertahun tahun kini kembali dan sedang memegang erat kedua tanganku. Diusaplah air mataku dan dijelaskan mengapa dia selama ini menghilang. Sesampainya di bandung 5 tahun lalu dia langsung terkena musibah kecelakaan mobil yang mengharuskannya operasi wajah dan terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit selama hampir 2 tahun. Dia juga sempat tak ingat dengan anggota keluarganya bahkan aku wanita yang amat dia cintai. Setelah ingatannya pulih barulah ia datang dan kembali menemuiku. Aku semakin tak kuasa membendung air mataku setelah mendengar ceritanya itu.

Ku peluk dia dan ku berkata, “Jangan pernah meninggalkanku lagi tanpa kata perpisahan.” kami berdua pun terlarut dalam keharuan. (*/cerpenmu/bua)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img