spot_img
Sunday, June 29, 2025
spot_img

Pendidikan Karakter dan Barak Militer

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran terhadap perilaku anak-anak dan remaja yang dianggap “nakal” semakin mencuat di tengah masyarakat. Kenakalan remaja seperti tawuran antar geng motor, perundungan, penyalahgunaan narkoba, hingga rendahnya rasa hormat terhadap guru dan orang tua menjadi persoalan yang kian kompleks.

          Di tengah berbagai pendekatan yang telah dilakukan, muncul gagasan bahwa pendekatan militer dengan disiplin ketat, aturan tegas, dan struktur hierarkis dapat menjadi solusi alternatif untuk menata kembali perilaku anak-anak tersebut. Gagasan ini dikenal sebagai bentuk militerisasi pendidikan, yang dipercaya sebagian kalangan dapat membentuk karakter anak menjadi lebih disiplin, tangguh, dan patuh terhadap norma.

          Namun, sejauh mana efektivitas pendekatan ini layak dipertimbangkan? Apakah solusi ini justru menyelesaikan akar masalah atau malah berpotensi melahirkan dampak baru yang merugikan? Benarkah pendekatan keras dan kaku ini merupakan jawaban tepat? Atau justru berisiko menciptakan masalah baru dalam dunia pendidikan yang semestinya menumbuhkan nalar kritis dan empati?

          Pemerintah Provinsi Jawa Barat melaksanakan program pendidikan karakter berbasis militer angkatan awal bagi para siswa tingkat SMA, SMK, dan sederajat selama 14 hari. Program ini merupakan inisiatif dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dan melibatkan langsung pelatihan di Depo Pendidikan (Dodik) Resimen Induk Kodam (Rindam) III/Siliwangi di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai solusi cepat untuk memulihkan krisis moral generasi muda yang dianggap makin mengkhawatirkan.

          Di sisi lain, data nasional memang menunjukkan situasi yang tidak menggembirakan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat peningkatan signifikan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, dari 285 kasus pada 2023 menjadi 573 kasus pada 2024, menunjukkan lonjakan lebih dari 100 persen. Ada 573 kasus kekerasan di sekolah sepanjang tahun 2024 (Kompas.com/Desember 2024).

          Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan dari Januari hingga Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak, dengan 861 kasus terjadi di satuan pendidikan. (Kompas.com/Oktober 2023). Data tersebut seakan menguatkan alasan lahirnya kebijakan disiplin berbasis pelatihan militer.

          Benarkah problem moral generasi muda semata-mata lahir dari kelonggaran disiplin? Ataukah sesungguhnya berpangkal pada sistem pendidikan yang abai terhadap fitrah kemanusiaan, mengabaikan dialog batin, dan minim ruang untuk tumbuhnya nilai-nilai kasih sayang, kebijaksanaan, serta penghargaan terhadap martabat anak sebagai amanah Allah?

          Program pelatihan disiplin bernuansa militer boleh jadi menyajikan hasil instan yang teratur di permukaan. Namun, sejarah dan nilai-nilai profetik mengajarkan bahwa pembentukan karakter sejati bertumpu pada keteladanan yang konsisten, pendidikan hati yang lembut, dialog yang jujur, serta lingkungan yang memungkinkan manusia berkembang secara utuh lahir dan batin.

Kesempatan Kedua Bentuk Berbeda

          Kita perlu mengingatkan kembali bahwa ‘’pendidikan karakter’’ bukan soal menghukum atau mendisiplinkan anak secara militeristik. Pendidikan karakter yang sejati adalah proses pedagogis, bukan proses komando. Dalam praktiknya, berbagai pendekatan pendidikan berbasis trauma (trauma-informed education) dan keadilan restoratif (restorative justice) telah berkembang luas di dunia sebagai cara menangani siswa bermasalah secara empatik, mendalam, dan humanistik.

          Di sinilah letak perbedaan antara transformasi karakter dan penghukuman perilaku. Kadang yang dibutuhkan anak muda bukan hukuman tapi struktur. Dedi Mulyadi mengirim puluhan siswa “nakal” ke barak militer bukan untuk dihukum tapi dibimbing. Di sana mereka akan belajar disiplin tanggungjawab dan rutinitas. Hal-hal yang mungkin tidak mereka dapatkan di rumah atau di sekolah.

          Banyak yang protes, katanya ini terlalu militeristik, tapi mari kita jujur. Sebagian anak muda kita tumbuh di lingkungan yang bising tapi kosong, penuh tuntutan tapi  tanpa arah. Barak bukan solusi untuk semua tapi bisa jadi ruang aman bagi yang kehilangan pegangan. Di sana mereka belajar bangun pagi, merapikan tempat tidur, menghormati instruksi, hal-hal sederhana yang perlahan membentuk karakter.

          Dalam psikologi sosial terutama dalam pendekatan behavioristik meyakini bahwa perilaku manusia dibentuk, dipelihara dan diubah oleh konsekuensi yang muncul dari lingkungannya. Ketika seorang remaja berada dalam sistem yang terstruktur dengan aturan yang konsisten, respon yang dapat diprediksi dan penguatan yang jelas, maka perilaku yang baru punya ruang untuk tumbuh bukan semata karena dihukum saat salah tetapi karena dibentuk saat benar.

          Lingkungan yang stabil memberi umpan balik yang ajeg dan dari situlah pembelajaran perilaku terjadi. Barak dalam konteks ini bukan simbol represi tapi ruang eksperimental. Tempat perilaku lama dipadamkan dan pola baru dipraktikkan berulang-ulang hingga melekat. Ini  bukan persolan militerisasi pendidikan. Ini adalah usaha untuk hadir ketika keluarga dan sekolah mungkin sudah menyerah.

          Tetapi ini tentang memberi kesempatan kedua dalam bentuk yang berbeda. Karena kadang yang terlihat seperti barak justru bisa menjadi rumah tempat anak belajar mengenai dirinya. Bukan lewat kata-kata tetapi lewat keteraturan. Oleh karena itu, solusi yang lebih holistik, yang menggabungkan pendekatan disiplin dengan pemahaman psikologis dan nilai-nilai kemanusiaan, jauh lebih relevan dalam menjawab kompleksitas masalah kenakalan remaja saat ini.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img