MALANG – Metode pengajian dan pembelajaran agama di Pondok Pesantren (Ponpes) Hasbunallah, Lawang, Kabupaten Malang, bakal diboyong ke Seoul, Korea Selatan. Sebab, pendidikan karakter non formal itu mampu menyelamatkan para pecandu narkoba.
Rencana ini diungkapkan KH Sjaichul Ghulam, Pengasuh Ponpes Hasbunallah saat menerima kehadiran Na Lois (55) mahasiswi asal Seoul, yang tengah menyelesaikan progam S3 di Universitas Negeri Malang (UM), Kamis malam.
“Alhamdulillah, pondok yang letaknya di lereng gunung seperti ini, bisa memberi manfaat untuk umat di lain negara,” ungkap Abi Lawang, sapaan Sjaichul Ghulam usai istigosah akbar di Ponpes Hasbunallah, Kamis malam.
Disebutkan Abi, dirinya tidak menyangka pondok yang lokasinya berada di lereng kaki Gunung Arjuno ini, mendapat perhatian masyarakat Seoul. Padahal, metode pembelajaran akhlaq dan agama kepada para santrinya diberikan dengan bahasa cukup sederhana. Tidak ada yang istimewa dan khusus.
‘’Mungkin karena kesederhanaan itulah, menjadi daya tarik Na untuk mengungkapnya secara ilmiah. Secara akademik dalam bahasan jurnal yang sedang disusunnya sekarang ini,’’ rinci Abi yang telah mengelola Ponpes Hasbunallah Lawang kurang lebih 25 tahun ini.
Sementara itu ditemui Malang Posco Media (MPM) usai mengikuti istighosah, Na menyebutkan, semula dirinya tidak tahu tentang Ponpes Hasbunallah. Lalu suatu ketika dirinya membaca thesis mahasiswa S2 UM tentang pendidikan karakter via pendidikan non formal.
Setelah dibaca mendalam, lanjut ibu dua orang anak ini, dirinya sangat tertarik. Apalagi, ketertarikannya itu didukung lokasi rumahnya yang tidak jauh dari Ponpes Hasbunallah. ‘’Suami saya bekerja di Balai Besar Pelatihan Pertanian di Lawang. Jadi dekat dengan pondok ini,’’ kata Na, yang cukup fasih berbahasa Indonesia ini.
Diceritakan Na, sosok Abi sebagai pengasuh Ponpes Hasbunallah, Lawang, dinilai cukup sentral. Dengan kearifan dan kesabarannya, Abi cukup mumpuni menyelamatkan para pecandu narkoba.
‘’Tidak hanya bertobat. Mereka, pecandu narkoba yang sudah diselamatkan malah banyak yang jadi pemuka umum (ustadz). Nah, yang begini ini tidak ada di Korea,’’ ucap Na yang mengaku hatinya cukup tenang ketika mengikuti istigosah kubro kali pertama di Ponpes Hasbunallah, Kamis malam.
Na meyakini, jurnal yang akan disusun untuk gelar S3 di UM ini, bakal menarik. Karena, progam pendidikan karakter non formal ala Ponpes Hasbunallah, di Korea tidak ada. Sedang pola-pola seperti ini sangat diperlukan untuk dijadikan contoh di Korea. Utamanya di Seoul.
‘’Yang ada hanya pendidikan formal. Sekolah dan akademi juga kursus. Jadi kalau mau anaknya berkarakter, harus sekolahin di tempat bagus dan akademi sebanyak2nya,’’ papar Na, dengan berharap jika jurnalnya sudah di publish lembaga non formal seperti Ponpes Hasbunallah bisa di adaptasikan di Korea.
Ditambahkan Na, suasana istigosah kubro yang diikuti selama satu jam cukup membuatnya terus bertanya-tanya dalam hati. Meski pun hanya menendangkan lagu-lagu (sholawatan), tetapi memiliki kekuatan yang penuh (power full).
‘’Agama yang lain juga sama (menendangkan lagu-lagu). Tapi kok bisa power full jamaah mengikutinya. Suasanya terasa begitu magis,’’ pungkasnya. (has)