Malang Posco Media – Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan 2024 nanti tepatnya pada 14 Februari 2024 memiliki momen yang krusial bagi bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan suksesi kepemimpinan dengan baik. Gegap gempita persiapan oleh masing-masing tokoh partai politik bisa dirasakan mulai saat ini.
Berbagai cara untuk mendulang suara dilakukan melalui berbagai cara di seluruh lini media informasi. Satu hal yang perlu kita perhatikan pada setiap pelaksanaan pemilu adalah pemilih pemula atau pemilih yang baru pertama kali mengikuti pesta demokrasi.
Pemilih pemula mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan demokrasi. Selain karena jumlahnya yang akan terus bertambah, potensi daya kritis mereka dapat pula menentukan hasil pemilu. Sebagai harapan perbaikan demokrasi di masa mendatang, pemilih pemula ini perlu mendapatkan perhatian yang serius.
Jika kita perhatikan pada data BPS yang dirilis pada bulan Februari 2022 penduduk pada rentang usia 15-19 tahun berjumlah 22 176 543 atau 10,63 persen dari jumlah keseluruhan penduduk yang berusia di atas 15 tahun berjumlah 208.544.086. Ini artinya pemilih pemula setidaknya sudah mempunyai kekuatan dan memiliki pengaruh besar terhadap partisipasi pemilu nanti.
Ada satu hal yang cukup menarik pada rentang usia ini yaitu mereka adalah pemilih yang sangat akrab dengan keberadaan media digital seperti media sosial saat ini. Media sosial menjadi senjata yang ampuh untuk menggaet pemilih pemula. Strategi sosialisasi dengan menggunakan media sosial seperti instagram, twitter, tiktok, telegram dan sejenisnya diharapkan bisa menjadi jembatan penghubung.
Akan tetapi ada satu hal yang perlu menjadi perhatian terkait pemilih pemula (khususnya pemilih yang baru menginjak usia 17 tahun atau baru menikah meski belum berusia 17 tahun) adalah kecenderungan angka golput yang tinggi oleh pemilih kategori ini.
Kondisi yang terjadi, banyak pemilih pemula yang belum mengerti akan pentingnya keikutsertaan mereka dalam pemilu dan apa sajakah hak warga negera dalam pemerintahan terlebih dalam hak politik warga negara yang mereka miliki.
Fenomena apatisme politik cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas tentu berdampak secara tidak langsung dapat melumpuhkan demokrasi. Untuk mengantisipasi dan memberi solusi atas penurunan partisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilih maka perlu ditingkatkan sinergitas dari berbagai lembaga untuk program pendidikan politik yang kredibel dan sustainable yang menekankan pada dimensi kognitif dan perilaku.
KPU, partai politik, sekolah dan media sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan politik bagi konstituen khususnya bagi pemilih pemula perlu bersinergi dengan lebih baik. Jika diperhatikan secara umum kategori pemilih muda di Indonesia memiliki tiga karakteristik, yaitu critical voter, social influencer dan swing voters.
Dalam kalkulasi politik critical voter dan social influencer masih bisa dikalkulasi dengan jelas kemana suaranya. Namun untuk kategori swing voters atau suara mengambang inilah yang masih menjadi persoalan bagi perkembangan demokrasi mendatang.
Pemilih pemula memiliki karakter: belum memiliki pengalaman memilih, cenderung kurang rasional serta memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap iklim demokrasi. Kondisi ini tentu memiliki kedudukan yang strategis dalam pelaksanaan pemilu mengingat jumlahnya cenderung bertambah serta pola yang masih sulit ditebak dan probabilitas untuk peningkatan angka golput cukup besar.
Pendidikan politik sebagai salah satu proses demokrasi yang fundamental bagi pemilih pemula agar mereka mempunyai pengetahuan politik yang memadai serta perilaku politik yang cerdas.
Setiap metode penyampaian harus mempertimbangkan karakteristik materi dan penerima pendidikan politik. Sasaran yang sangat realistis bagi para pemilih pemula adalah anak usia sekolah menengah dan para mahasiswa.
Setidaknya ada tiga hal yang mereka butuhkan dalam proses pencerdasan politik bagi pemilih pemula. Pertama, pemahaman akan dinamika politik praktis yang berkembang saat ini. Apa yang diterima dari kajian di sekolah atau bangku kuliah yang terkait dengan persoalan-persoalan politik terkadang jauh dari realitas politik yang ada.
Apa yang diterima secara normatif dalam proses-proses pendidikan yang diterima itu sebenarnya jauh dari relevansi situasi politik yang ada khususnya tentang pemilihan umum, partai politik, elit politik sebagai fenomena politik.
Kedua, pemahaman yang baik akan hak-hak dan aturan main. Mereka perlu memahami apa saja hak dan bagaimana aturan main yang baik dalam proses demokrasi. Salah satu akibat jika mereka tidak paham akan hak dan aturan main dalam pemilu suara dan kedudukan mereka akan mudah digunakan oleh konflik politik yang cenderung berujung pada kekerasan dan tindakan anarkis di kemudian hari.
Pemahaman tentang bagaimana proses menyalurkan aspirasi dan menggunakan hak-hak sebagai warga negara yang memiliki hak politik perlu diberikan secara proporsional. Ini agar mereka paham dimana posisinya sehingga tidak mudah terombang ambing dengan kepentingan yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, mengembangakan sikap kritis dalam kehidupan bernegara. Seberapa bermakna pendidikan politik yang telah dilakukan dapat dilihat manakala kelak terjadi abuse of power atau penyelewengan yang dilakukan oleh hasil pemilu sehingga mereka tergerak untuk melakukan dukungan dan tuntutan yang tepat dan bermanfaat melalui jalur-jalur yang ada.
Kemampuan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan politik yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Selain itu kemampuan ini setidaknya bisa digunakan sebagai langkah antisipatif untuk memfilter terhadap isu atau informasi politik yang tidak kredibel.
Identifikasi atas sumber informasi politik memberi gambaran mengenai bagaimana pemilih pemula mendapatkan dan menggunakan informasi sebagai bahan pengambilan keputusan dalam melakukan tindakan politik, terlebih dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang massif.
Secara garis besar pendidikan politik dilakukan tidak hanya sekadar bagaimana masyarakat mau terlibat aktif dalam pemilihan umum tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Yaitu bagaimana masyarakat mampu memainkan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik tidak bisa dilaksanakan secara instan atau tiba-tiba yang digalakkan hanya menjelang pemilu. Media, KPU, partai politik dan berbagai pranata yang ada memiliki beban secara struktural dan moral dalam kehidupan demokrasi yang baik di masa mendatang. Selamat berdemokrasi secara cerdas.(*)