.
Wednesday, December 11, 2024

Pendidikan Seksual dan Reproduksi yang Remaja Butuhkan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Beberapa waktu lalu media massa banyak menyorot tingginya angka pernikahan dini di masyarakat. Tak terkecuali di Malang Raya. Dirilis Malang Posco Media dalam beritanya 10 Desember 2022 lalu, banyak pengajuan dispensasi menikah muda. Oleh Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang, dorongan itu ditengarai faktor keterbelakangan pendidikan dan ekonomi.

Sayangnya, dorongan pernikahan usia muda itu juga diikuti tingginya angka perceraian. Kabupaten Malang adalah salah satu daerah dengan gugatan kasus cerai tertinggi di Jawa Timur. Mengacu pada data tahun 2021 lalu, Pengadilan Agama Kabupaten Malang mendata ada angka 6.429 gugatan.

Pernikahan dini, dapat berimbas pada banyak hal: kekerasan dalam rumah tangga, pengabaian keluarga karena belum siapnya mental dan finansial, serta risiko kesehatan reproduksi pada perempuan hamil usia muda, berikut risiko keterabaian tumbuh kembang anak di fase selanjutnya.

Hari ini pun, ada kompleksitas isu yang perlu remaja ketahui dari kesehatan organ reproduksi, hubungan remaja, juga kekerasan maupun pelecehan berbentuk verbal, fisik, emosional, juga kekerasan gender berbasis online (KGBO). Begitu juga kasus pelecehan seksual dan pencabulan di lingkungan pendidikan, menunjukkan mungkin ada yang kurang tepat dalam wawasan remaja – begitu juga yang dewasa – soal seksualitas.

Apa sebenarnya materi pendidikan gender, seks dan seksualitas, yang paling sejalan dengan nilai-nilai keterbukaan dan kesetaraan berasaskan hak asasi, dan sungguh harus diketahui?

Pendidikan Seks dan Reproduksi di Indonesia

Edukasi soal seks, pernikahan, maupun kesehatan reproduksi mestinya menjadi basis ilmu yang sekurang-kurangnya dimiliki remaja dalam tingkat individu maupun lingkar sosialnya. Pondasi itu yang akan menjadi bekal mereka – termasuk kita yang dewasa – selanjutnya, yang turut membentuk perspektif tentang relasi gender dan seksual di masyarakat.

Di Indonesia, pendidikan seks lebih banyak ditujukan untuk upaya pencegahan seks bebas (abstinensi) saja. Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 136 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pemeliharaan kesehatan remaja ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi, dan dilakukan agar remaja terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.

Tentu edukasi panjang lebar dalam tema-tema seminar reproduksi berbagai lembaga termasuk lembaga keagamaan memang sudah berjalan baik, hanya mungkin, pada batas tertentu, terasa kurang relevan bagi remaja. Banyak modul-modul pendidikan gender dan reproduksi yang beredar di Google dari beberapa lembaga: soal materi reproduksi remaja sudah oke, tapi kurang mengulik materi gender dan seksualitas.

Beberapa materi edukasi yang ada asal Indonesia masih sedikit banyak menggunakan kacamata moral dominan atau berbasis agama. Materi yang lebih evidence basedmasih kurang digunakan, dan diikuti juga minimnya pembaruan dalam kontennya. Terlebih, persoalan identitas dan orientasi yang minoritas juga masih minim dieksplorasi.

Remaja tahu kalau pendidikan seksual dan reproduksi itu perlu. Salah satu survei yang dirilis oleh media Magdalene.co menyebutkan bahwa survei dari 405 laki-laki dan perempuan usia 15-19 tahun dari 32 provinsi di Indonesia misalnya, ditemukan 98,5 persen responden merasa pendidikan seks remaja itu diperlukan.

Remaja adalah teman berbagi kita, dari masa yang berbeda. Mereka sangat aktif di media sosial, utamanya di Instagram dan Tiktok, dan banyak hal baru yang mereka eksplorasi dari keseharian mereka bersama internet itu. Kerap kali kalangan yang lebih dewasa tidak bisa menangkap arus zaman mereka.

Tanpa pendidikan seksualitas yang relevan dan berkualitas, anak muda akan rentan terlibat dalam perilaku kekerasan maupun kegiatan seksual berisiko.

Comprehensive Sexuality Education:

Sebuah Tawaran Kerangka Edukasi

UNESCO menawarkan suatu frameworkuntuk pendidikan seksualitas yang disebut Comprehensive Sexuality Education(CSE). UNESCO menyatakan bahwa CSE penting karena banyak kebingungan terkait edukasi reproduksi, relationship, dan juga seks.

Dalam rilis UNESCO, CSE diharapkan mendorong pribadi yang membuat keputusan berdasarkan informasi tepat terkait relasi dan seksualitas, serta mengantisipasi berbagai hal. Seperti kekerasan berbasis gender, ketidaksetaraan gender, kehamilan dini dan tak direncanakan, penyakit menular seksual, yang semuanya itu dapat mengancam wellbeinggenerasi muda.

CSE bisa disebut juga dengan PKRS (Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas). PKRS memiliki banyak cakupan, mengingat berlapisnya masalah seksualitas di masyarakat. Alih-alih hanya mengajarkan untuk menghindari seks bebas saja, atau nasehat-nasehat orang-orang tua untuk menghindari apa yang mereka sebut “kenakalan remaja”, remaja sedikit banyak perlu tahu bahwa ada namanya variasi keluarga, kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual, ketimpangan gender, ada orientasi seksual, dan ada juga perilaku seks dan relasi yang sehat dan bertanggung jawab.

Penting remaja ketahui adanya jenis dan perkembangan alat kelamin, identitas gender, ekspresi gender, dan orientasi seksual. Kendati sudah tersedia dalam materi ajar Biologi misalnya, tentu banyak juga hal yang tak terbahas. Remaja perlu diperkenalkan konsekuensi hubungan seksual, hubungan seks yang aman, penyakit menular seksual, dan juga mengenal konsep consent.

Alih-alih menanam stigma, remaja perlu juga tahu keragaman gender dan seksualitas, mencakup heteronormativitas, persoalan non-straight dan non-binary gender, serta transseksualitas maupun transgender. Mengingat konsep keragaman gender masih tabu di publik, pengenalan tersebut mesti bertujuan sekurang-kurangnya menghadirkan empati dan respek.

CSE mencakup pula pencegahan kekerasan antar remaja. Kekerasan muncul akibat ketimpangan kuasa, dan tidak hanya meliputi fisik tapi juga gender, budaya, juga seksual. Penting untuk menyadari masalah interseksionalitas dan relasi kuasa dalam keluarga, guru, teman, maupun masyarakat guna mencegah perundungan.

Persoalan mengajarkan gender dan seksualitas bisa saja ada kecenderungan untuk menjadi hakim moral. Di sinilah diperlukan keterampilan menjelaskan persoalan tabu dan isu sensitif di atas, dalam kerangka yang dialogis serta nguwongkeremaja.

Seksualitas adalah bahasan yang kompleks. Ia tak hanya soal pembahasan biologis saja, tapi juga konstruksi sosial dan penghargaaan akan harkat manusia. Ia dibentuk dari wawasan tingkat individual serta norma budaya yang ada. Oleh sebab itulah, persoalan kekerasan, relasi dan ketimpangan kuasa dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari edukasi seksual.

Remaja – begitupun kita yang lebih dewasa – mesti menginsafi bahwa banyak hal terkait persoalan reproduksi dan seksualitas yang mesti disikapi dengan pengetahuan yang tepat dan kontekstual. Tantangan selanjutnya adalah meletakkan kerangka tersebut dalam materi ajar guru sekolah, pengajar agama, maupun pendamping masyarakat pada umumnya. Tentu saja menyesuaikan dengan kebutuhan dan relevansi masing-masing generasi dan kelompok.

Sudah banyak langkah edukasi dilakukan berbagai pihak, dan telah mengisi ruang-ruang yang mungkin tidak terjamah konten pendidikan seksual yang kaprah dipakai. Hal itu mesti diapresiasi, dan kita tidak perlu menyebutnya revolusi; kita bisa saja mengistilahkannya sebagai perbaikan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img