Malang Posco Media – Model pendidikan yang memerdekakan adalah sebuah inspirasi besar tentang konsep pendidikan dari seorang tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara. Di saat sistem kolonialisme mencengkeram dan menghisap kuat di seluruh nadi-nadi kehidupan di bumi nusantara, di saat itu pula beliau menentangnya, khususnya pada dunia pendidikan. Sehingga bisa dikatakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara seolah menjadi sintesa untuk menjawab antitesa pendidikan di Indonesia pada masa itu.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah proses yang hidup dan harus bisa berubah selaras dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Sesuai dengan kodrat alam, pendidikan dan kebudayaan adalah bersifat universal dan berlandaskan pada perikemanusiaan. Dengan demikian pendidikan tidak boleh mendistorsi dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Tapi pada kenyataannya praktik pendidikan pada masa kolonialisme penuh dengan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai perikemanusiaan. Kita ambil contoh: saat itu tidak semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan tingkat pendidikan yang sama. Dengan semua itu, Ki Hajar Dewantara mencetuskan pemikirannya yang sangat revolusioner, yaitu tentang pendidikan yang memerdekakan. Lebih dari itu, pemikirannya tentang pendidikan masih akan tetap relevan terhadap kondisi saat ini, hal ini dikarenakan pemikirannya yang meniscayakan perubahan pada dunia pendidikan yang didasarkan pada kodrat alam dan kodrat zamannya.
Sang Pencerah
Pada masa kolonialisme, khususnya pada babak diberlakukannya cultuurstesel tahun 1830, nusantara benar-benar telah kehilangan jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang besar. Masa di mana peradaban sebuah bangsa jatuh pada titik terendahnya. Hal ini dikarenakan imperialisme Belanda saat itu, yang tergolong sebagai Finan Imperialisme “imperialism tanam modal” mensyaratkan rendahnya taraf kehidupan masyarakat dari bangsa yang dijajahnya.
Dengan semakin miskin, bodoh dan rendahnya taraf kehidupan rakyat nusantara, akan semakin menguntungkan bagi pihak Belanda. Hal ini akan berhubungan dengan murahnya sewa lahan, harga buruh dan bahan baku “grondstoffen” sebagai bahan dasar industri dalam sistem kapitalisme Belanda.
Kondisi ini dapat dilihat pada cacatan Bung Karno pada tulisannya yang berjudul Orang Indonesia Tjukup Nafkahnja Sebenggol Sehari. Tulisan tersebut dimuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I hal hal 177. Catatan ini sekaligus memberikan informasi, bahwa kondisi rakyat Indonesia saat itu pada kondisi terasing dari jati dirinya sebagai manusia yang merdeka.
Rakyat sudah tidak butuh kehidupan yang layak, cita-cita yang tinggi-tinggi, pendidikan, bahkan untuk mencapai kemerdekaan hidup sebagai seorang pribadi pun sudah sirna dari angan-angannya. Masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan dirinya sebagai budak bagi bangsa penjajahnya.
Pada kondisi ini, sudah tidak mungkin rakyat memikirkan kemerdekaan bangsanya. Dan pada kenyataannya cita-cita kemerdekaan muncul dari kelompok elit yang terdidik, salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara telah dengan konsisten menentang praktik-praktik penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh pihak imperialis Belanda kepada rakyat Nusantara. Keluar masuk penjara adalah salah satu konsekuensi yang diterima dari sikap penentangannya ini, selain pengasingan dan intimidasi dari penguasa.
Tentu ucap, sikap dan tindakan beliau bukan tanpa alasan. Salah satu landasan dari tindakannya yang sangat radikal ini adalah suatu keyakinan bahwa Tuhan dalam menciptakan umatnya adalah sama dan sederajat. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya praktik penindasan manusia kepada manusia maupun bangsa kepada bangsa dengan alasan apapun.
Perubahan Nama Wujud Konsintesi Pendirian
Untuk lebih memahami sejarah pendidikan Indonesia, serta peran Ki Hajar Dewantara dalam perjuangannya, tidak ada salahnya menggali kondisi kehidupan pada saat beliau remaja. Beliau mempunyai nama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.
Dari namanya, tampaklah Ki Hajar Dewantara berasal dari kaum bangsawan tinggi. Lebih tepatya, beliau adalah putra dari GPH. Soerjaningrat dan merupakan cucu dari Sri Paduka Paku Alam III. Sebagai seorang bangsawan tinggi, tentu RM. Soewardi Soerjoningrat memiliki Privilege atau hak istimewa. Hak yang tidak dimiliki oleh kalangan masayarakat pada umumnya.
Dengan Kelas bangsawannya, RM. Soewardi Soerjaningrat sempat mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) yaitu sekolah kedokteran Jawa. Tetapi RM. Soewardi Soerjaningrat tidak sempat tamat pada STOVIA.
Perubahan nama pada umumnya akan diiringi oleh perubahan substansi dari subyek tersebut. Perubahan nama dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara, telah merubah sosok manusia yang awalnya berada pada lingkungan bangsawan dengan hak istimewa yang sangat besar, menjadi sosok manusia biasa yang sangat dekat dan menjadi rakyat itu sendiri.
Inilah wujud konsistensi jiwa seorang Ki Hajar Dewantara, dan tidak semua kalangan bangsawan bersedia melepaskan kedudukannya tersebut.
Pendidikan yang Memerdekakan
Masa kolonialisme adalah masa di mana terinspirasinya seorang Ki Hajar Dewantara untuk mencetuskan gagasan pendidikan yang selain mencerdaskan juga memerdekakan. Kondisi masa itu, sebenarnya memiliki kesamaan dengan kondisi tertentu pada masa sekarang.
Selain menerima tantangan yang sama, yaitu sama-sama diselimuti dan dipengaruhi oleh alam kapitalisme, kondisi pendidikan kedua masa tersebut juga sama sama terpuruknya dibandingkan dengan tingkat pendidikan negara-negara lain di dunia.
Pada saat ini, alam globalisasi yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar sangat mungkin membiaskan dunia pendidikan dari tujuan idealnya. Jika negara tidak memenejemeni dengan baik, tidak menutup kemungkinan kepentingan pasar akan mampu menggeser tujuan pendidikan sebagai sarana mencerdaskan dan memerdekakan siswa, menjadi alat dalam mencapai sebuah keuntungan belaka.
Jika alam yang menyelimuti masa perjuangan Ki Hajar Dewantara adalah alam yang tidak merdeka karena kolonialisme, sebenarnya ada persamaannya dengan kondisi saat ini, di mana bangsa kita sedang dijajah secara ekonomi dalam bentuk neo-imperialisme.
Alam liberalisme sebagai konsekuensi logis neo-imperialisme telah membawa kebebasan di segala bidang yang kadang tanpa batas. Kebebasan ini secara fungsional telah membuka lebar kesempatan bagi para pemilik modal dalam menancapkan hegemoninya untuk menentukan arah kebijakan negara.
Ironisnya dunia pendidikan kadang harus mengikuti pusaran kepentingan politik yang bisa menjauhkan dari tujuan ideal dari pendidikan itu sendiri. Kolaborasi antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri harus dipandang sebagai hubungan simbiosis yang bersifat mutualisme.
Pendidikan di Indonesia jangan sampai hanya digunakan sebagai alat dan wadah untuk mencetak para buruh demi kepentingan dunia usaha dan industri. Sebaliknya, dunia usaha dan industri diharapkan mampu berkontribusi kepada dunia pendidikan dalam menanamkan jiwa kewirausahaan bagi peserta didik.
Selanjutnya, pendidikan masa depan Indonesia harus bisa mampu mencetak generasi yang cerdas dan mandiri dengan dijiwai semangat nasionalisme. Di sini peran dunia usaha dan industri sangat penting, karena merekalah yang diharapkan menjadi mitra dunia pendidikan dalam mencetak manusia yang siap menghadapi tantangan global, dan membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri dan sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Inilah target dari Profil Pelajar Pancasila.(*)