MALANG POSCO MEDIA, KOTA BATU- Sampah menjadi masalah utama bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Terburuknya, sampah dapat menjadi penyebab bencana seperti banjir, kerusakan lingkungan hingga kesehatan manusia.
Tak terkecuali di Kota Batu, inovasi pengelolaan sampah coba terus dilakukan pemerintah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup. Beberapa cara yang dilakukan, seperti pemilihan sampah yang bisa diolah untuk dijual kembali di TPS 3R tingkat desa dan menganggarkan mesin pirolisis di TPA Tlekung.
Terbaru upaya untuk penanganan sampah dengan mengatur waktu pembuangan dan pengambilan sampah di pusat Kota Batu. Tujuannya agar jalanan di pusat Kota Batu bisa lebih nyaman dan bersih. Namun beberapa upaya yang telah dilakukan dalam pengelolaan sampah di Kota Batu dinilai oleh Ketua Forum Kota Sehat, Catur Wicaksono belum maksimal. Pasalnya pengelolaan sampah di Kota Batu belum menyentuk pada permasalahan dasar, yakni pemilihan sampah mulai dari rumah tangga.
“Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Pemerintah sudah baik. Namun masih belum menyentuk akar permasalahan, yakni merubah habbit atau kebiasaan masyarakat, baik perorangan maupun lembaga,” ujar Catur kepada Malang Posco Media.
Menurut Catur permasalahan dasar pengelolaan sampah adalah habbit masyarakat yang belum memilah sampah dari rumah. Sehingga ketika sampah dipindah dari rumah ke TPA, belum dipilah antara sampah organik dengan anorganik. “Habbit masyarakat yang tidak memilih sampah itulah yang perlu dirubah. Caranya pemerintah bisa memberikan reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat maupun lembaga atau industri yang ada di Kota Batu,” tegasnya.
Untuk bisa menerapkan reward dan punishment tersebut, sebagai instansi Pemerintah bisa dengan menerbitkan Perwali sebagai payung hukum dari aturan yang dibuat. Karena jika tidak ada payung hukum, aturan akan diacuhkan oleh masyarakat.
“Reward sendiri nanti bisa berupa pembayaran keringanan untuk retribusi sampah yang lebih murah. Sebaliknya untuk punishment berupa pembayaran retribusi sampah dengan harga yang tinggi,” bebernya.
Misalnya ketika sudah dibuatkan Perwali terkait reward dan punishment bagi warga yang memilah sampah dari rumah maka akan dikenakan biaya Rp 10 ribu per bulan. Namun bagi warga yang tidak memilah sampah dari rumah maka akan dikenakan biaya Rp 50 ribu per bulan sebagai bentuk punishment. Hal itu juga berlaku bagi lembaga atau industri yang ada di Kota Batu.
“Dengan begitu kami yakin masyarakat hingga pelaku industri di Kota Batu akan memilah sampah dari rumah. Karena mereka akan berpikir lebih baik mereka membayar retribusi lebih rendah dari pada lebih tinggi,” papar Catur.
Tentunya agar aturan itu berjalan dengan baik perlu juga diterbitkan aturan turunannya di tingkat desa dengan membuat Perdes. Selanjutnya tinggal pelaksanaan teknis. “Jadi pada intinya untuk merubah habbit yang lebih baik memang perlu dilakukan tekanan. Karena jika tidak pengelolaan sampah tidak akan pernah maksimal. Apalagi sudah diketahui bila pengelolaan sampah seperti di TPA terbilang cukup mahal pada sisi pemilahan sampah yang dilakukan oleh pekerja,” ungkapnya.
Tidak hanya pengelolaan, Catur juga menilai Pemerintah lebih banyak melakukan pembangunan fisik terlebih dahulu. Contohnya seperti pembangunan TPS 3R di Desa Junrejo yang telah dibangun seja Juli 2022 lalu dan hingga saat ini belum beroperasi. “Jangan yang diutamakan fisiknya dulu tapi habbit belum terbentuk. Karena itu akan sama saja. Harusnya bentuk kebiasaan dulu setelah itu sarprasnya,” imbuh Catur.
Namun jauh sebelum melangkah, Catur juga mendorong agar Balai Kota Among Tani (BO) bisa menjadi contoh miniatur pemilahan sampah yang baik bagi masyarakat Kota Batu. Jika BO sudah menjadi contoh selanjut bisa ditekankan kepada swasta dan terakhir masyarakatnya.
Perlu diketahui, untuk Kota Batu sampah yang dibuang setiap hari di TPA Tlekung rata-rata mencapai 100 ton. Namun setiap hari libur terjadi peningkatan mencapai sekitar 150 ton. (eri/udi)