Sehari-harinya Fajar Ferianto seorang pengrajin gerabah. Ia terpanggil mendirikan Omah Sinau di kampungnya. Misinya anak-anak tak lupa belajar agama dan pengetahuan umum karena godaan HP.
MALANG POSCO MEDIA – Selepas Salat Magrib membimbing anak-anak belajar agama dan pengetahuan umum. Siangnya membuat kerajinan gerabah.
Begitulah keseharian Fajar Ferianto. Ia biasanya disapa Om Feri oleh anak didiknya. Itu sejak Omah Sinau melayani belajar bersama. Sebuah rumah kosong bekas milik neneknya di Desa Pagelaran Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang disulap menjadi tempat belajar gratis, mendapatkan bacaan, mendalami gerabah hingga bermain.
Kampung Getaan, sebutan untuk kampung gerabah yang sudah ada sejak turun temurun. Sejak tahun 2020, Fajar membuka Omah Sinau yang dulunya rumah kosong. Lulusan SMP dan melanjutkan pendidikannya ke pesantren itu tentu bukan berlatarbelakang guru atau tenaga pendidik. Tapi jiwa itu seakan ada pada diri Fajar hingga mampu bertahan dengan amalannya di Omah Sinau hingga sekarang.
Pria kelahiran tahun 1988 itu baru selesai mengajar bimbingan pada malam kemarin bercerita perjalanan Omah Sinau. Tempat yang sudah didatangi sekitar ratusan anak untuk belajar bersama.
Omah Sinau hadir menjawab keresahannya terhadap keponakannyan yang selalu sibuk dengan ponsel di usianya yang belia. Padahal, baginya belajar adalah hal terpenting bagi anak-anak.
“Dulunya saya melihat keponakan saya sibuk dengan HP terus. Saya khawatir tidak belajar sehari-harinya. Akhirnya saya ajak belajar di rumah kosong bekas tempat nenek saya itu,” ceritanya.
Sebelumnya, rumah kosong itu tak terlalu terawat hingga ia memutuskan membersihkannya seorang diri. Merapikan isi rumah dan mengisi dengan buku dan majalah untuk belajar. Keponakan yang dulunya selalu sibuk dengan HP mulai senang belajar dan bermain di rumah tersebut.
Fajar yang membuat isi rumah menarik bagi anak-anak menamainya dengan Omah Sinau. Awalnya hendak diberi nama Rumah Belajar. Karena terkesan kurang melokal unsur kedaerahnnya, Fajar memutuskan menamai dengan Bahasa Jawa.
“Ditambah Omah Sinau Ambek Dolanan di papan namanya. Karena biar kesannya tidak terlalu serius. Jadi dolanan itu maksudnya bisa bermain setelah belajar,” katanya.
Perlahan secara bertahap rumah tersebut juga diisi dengan bebrapa mainan yang sifatnya edukatif. Lulusan Uzullussalam Pagak itu teringat pesan orang tuanya yang memintanya belajar demi masa depan. Pesan itu yang ingin diterapkan dan diharapkan menjadi perhatian para orang tua.
Lambat laun, keponakannya itu semakin banyak teman dan diajak ke Omah Sinau. Hingga akhirnya Omah Sinau cukup dikenal di masyarakat sekitar. Pesan yang ia inginkan itu akhirnya mulai ditangkap para orang tua. Ia yang membiasakan belajar dan memperbolehkan anak didiknya bermain setelahnya membawa dampak baik. Kebiasaan itu tertular ke anak seusia SD di sekitar Omah Sinau.
Mantan satpam yang sempat bekerja di Kalimantan dan Jakarta setelah mondok itu memutuskan bertahan dengan pekerjaannya sebagai pengrajin gerabah. Ia juga memilih konsisten mengajar bimbingan anak-anak pada petang hingga malam hari. Juga memfasilitasi kunjungan jika ada yang berniat wisata edukasi ke Omah Sinau dan Kampung Gerabah di Kampung Getaan.
“Kalau ditawari pekerjaan lain, bukannya bermaksud sombong tetapi ada yang saya rasa harus mempertahankan Omah Sinau ini jadi amalan. Kalau rejeki nanti adanyang ngatur,” katanya.
Beberapa kali Omah Sinau dijadikan tempat jujugan organisasi kepemudaan di sekitar kampung untuk berunding. Kerap kali juga dikunjungi rombongan sekolah, terutama setingkat SD. Terkadang, jumlah yang datang bisa mencapai 80 hingga 200-an anak.
Baginya hal itu adalah tantangan yang harus dihadapi. Ia memang memfokuskan kunjungan pada edukasi pembuatan gerabah dari awal sampai jadi. Melihat proses dari warga sekitar dengan berkeliling dan menanyakan langsung.
Fajar melewati banyak suka dan duka. Seperti saat kunjungan dengan banyak anak sekaligus ia harus mengatur sedemikian rupa agar pembelajaran edukasi belajar sambil bermainnya tetap menarik.
“Tetap jadi kewajiban saya, merasa bukan lagi untuk diri saya sendiri. Tapi untuk siapapun yang datang. Untuk mereka bisa cari ilmu saya ikhlaskan tidak usah membayar tidak apa-apa,” katanya.
Ia sempat mendapatkan bantuan pengajar dari salah satu kerabatnya setiap minggu. Yakni belajar budaya terutama tarian tradisional. Namun sejak kerabatnya menikah dan memiliki anak, tak lagi bisa maksimal. Sehingga harus dihentikan sementara. Fajar berharap, agar kedepannya ada lagi yang bersedia mengajar minimal sepekan sekali untuk bisa mengajarkan budaya dan kesenian.
Hingga kini, Fajar masih mengurus sendiri Omah Sinau. Untuk operasionalnya, Fajar menyisihkan sebagian rezekinya dari usaha gerabah yang tak menentu. Buku-buku yang ada juga merupakan buku-buku bekas yang didapatkannya dari banyak tempat.
Namun ia tidak menyerah dengan itu semua. Dia berharap suatu saat dapat melengkapi lagi fasilitas belajar dan bermain di Omah Sinau.
“Terpenting bagi saya adalah seberapapun bayaran kerjaan, yang termahal itu pengalaman,” ungkapnya. (tyo/van)