Oleh: Uswatun Hasanah
Guru Sekolah Pesantren
MTs Muhammadiyah 1 Malang
Saat ini marwah guru sedang diuji. Banyak konten yang berseliweran di media sosial memparodikan guru yang cuek dengan siswa baik yang sedang berkelahi, merokok atau melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pelajar. Sikap cuek guru bukan tanpa alasan, mereka sedang mengabarkan kepada dunia bahwa pendidikan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Guru di Indonesia sedang dibayang-bayangi oleh hukum dan tindakan agresif orang tua jika melakukan tindakan mendisiplinkan anak mereka di sekolah. Banyak contoh kasus yang terjadi, guru dikriminalisasikan karena mendisiplinkan anak. Seperti yang terjadi pada Guru Supriyani, guru honorer yang dipolisikan oleh orang tua karena mendisiplinkan peserta didiknya, dan masih banyak lagi kasus yang serupa.
Perundungan terhadap tulang punggung pendidikan ini makin hari makin menjadi-jadi. Teror, intimidasi, dan persekusi itu kadang berujung ganti rugi (materiil), jeruji, dan bahkan kematian. Guru seolah tak punya marwah, tak punya harga diri lagi di depan peserta didiknya.
Kalau kemudian guru sebegitu rendahnya di hadapan murid atau peserta didiknya maka tidak heran jika bangsa ini mengalami krisis akhlak, keberkahan ilmu tak lagi didapatkan oleh anak-anak kita. Maka jadilah negeri ini dipimpin oleh generasi-generasi yang tidak berakhlak. Untuk itu hendaknya pemerintah, khususnya pemerintahan yang baru saat ini harus mengembalikan marwah guru. Jadikan guru menjadi sosok yang disegani dan dihormati. Jika ada orang tua yang memprotes tindakan pendisiplinan anaknya maka kembalikan anaknya untuk dididik di rumahnya sendiri.
Sejatinya guru dan orang tua adalah mitra. Relasi keduanya haruslah dibangun secara egaliter, sepadan, inheren, saling melengkapi, dan menguatkan, bukan mengalienasi dan menisbikan.
Marwah diartikan dengan kehormatan diri atau harga diri. Maka marwah profesi guru adalah harga diri dan kehormatan yang dimiliki oleh guru. Sehingga untuk mempertahankan marwahnya, guru harus mampu menjawab tantangan dari waktu ke waktu. Secara regulatif guru telah memiliki pijakan strategis yaitu kompetensi pedagogi dan profesional.
Bargaining power dan bargaining position guru di mata (sebagian) orang tua sangatlah lemah, tak sebanding dengan orang tua yang berharta dan berkuasa. Modal guru hanyalah ilmu yang tak seberapa dan mungkin tak dibutuhkan lagi oleh manusia.
Peran guru tak lagi dianggap penting untuk mencerdaskan bangsa, sebab bangsa ini sudah terlanjur cerdas sejak merdeka, bangsa ini telah melewati masa kritis kebodohannya, meski tak kunjung keluar dari kedunguannya.
Guru hanya sekelompok orang nekat yang berupaya mempertahankan nilai-nilai agama, budaya, dan etika agar bangsa ini tak lekas binasa. Kesalahan terbesar guru adalah memilih bertahan di jalan sunyi pelurus peradaban. Kekuatan guru hanyalah moral semata, selebihnya guru tak punya.
Terlalu banyak kelalaian, ketidaknyamanan, dan kekhilafan yang dipandang sebagai kegagalan dan membahayakan murid hingga layak dipolisikan dan diperlakukan semena-mena. Padahal selalu ada alasan rasional di balik semua itu, sebab hanya atas nama cinta dan keikhlasan kami berucap dan bertindak.
Kata kunci langkah guru dalam mempertahankan marwah profesinya adalah keterbukaan mentalitasnya. Pengetahuan, cinta, dan keikhlasan itu merupakan kunci bagi guru untuk menolong, membantu, dan mengantarkan siapa pun yang ingin mewujudkan impian masa depannya.
Keinginan Guru itu Sederhana
Sebenarnya, tak banyak yang diminta sekolah atau guru sebagai pengabdi mimbar akademik itu. Sederhana saja harapan guru kepada para orang tua: Ikhlaskan anak dididik oleh guru di sekolahnya. Mereka adalah guru terbaik yang Tuhan utus untuk mendidik anak-anak.
Hargai, hormati, dan ikuti seluruh peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah. Sebab hal tersebut dibuat demi kenyamanan dan kelayakan pendidikan anak-anak. Sekira orang tua tak sanggup ikut aturan, pilih sekolah yang mungkin cocok dengan selera orang tua.
Hargai, hormati, dan ikuti saran-saran guru di sekolah, mereka cukup mumpuni untuk mengarahkan murid-muridnya sesuai dengan kebutuhannya. Memang masih banyak guru yang memiliki keterbatasan ilmu dan pengetahuan, tapi percayalah mereka akan memberikan yang terbaik untuk muridnya.
Berikan perhatian dan pengertian kepada anak secara proporsional dan sesuai kebutuhan perkembangannya. Bukan berarti anak tak perlu dibela, tapi pastikan ia paham akan aturan agar tak gagap di kemudian hari. Ia tahu disiplin dan tanggung jawab, kelak dewasa, matang, dan siap bertarung dengan kehidupan.
Mari kita gunakan akal Budi kita (bijak) demi kemaslahatan yang lebih besar (bajik) untuk bangsa dan negara kita tercinta. Payung hukum yang telah termaktub belum cukup untuk melindungi guru dari kesewenangan itu, harus ada kerelaan, keikhlasan, dan kesadaran kolektif dari semua pihak, agar penyelenggaraan pendidikan tak ternodai oleh oknum tak tahu diri.
Sudah selayaknya pemerintah membentuk unit, biro, atau komisi khusus yang membentengi guru agar terbebas dari virus kesewenangan, dan bakteri arogansi, agar semua guru dapat mengabdi dengan percaya diri sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya.(*)