MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Pajak kos kosan, sebagai salah satu sumber pendapatan pajak daerah resmi dihapuskan terhitung mulai Januari ini. Hal ini mengacu Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Hal ini tentu menjadi angin segar bagi pengusaha kosan, termasuk di Kota Malang.
“Tentu kami menyambut positif kebijakan tersebut. Kebetulan, kosan kami ini bukan kosan premium walaupun kamarnya banyak. Karena ini mahasiswanya juga asalnya dari desa atau daerah, bukan dari ibukota seperti UB. Jadi saya senang saja, kalau memang dihapus, harga kos bisa lebih fleksibel,” ujar Muthmainah, salah satu pemilik kos di daerah Jalan Bendungan Sutami kepada Malang Posco Media, kemarin.
Harga kos kosan di Kota Malang sendiri cukup bervariatif, mulai dari Rp 500 ribu per bulan hingga ada yang Rp 2 juta per bulan. Sementara itu, bagi pemerintah daerah, termasuk Pemkot Malang akan kehilangan potensi pendapatan yang relatif besar dari sektor tersebut. Kepala Subbidang Pajak Daerah II Bidang Pajak Daerah Bapenda Kota Malang Ramdhani Adhy Pradana menyebut, pendapatan pajak dari kosan ini relatif besar hingga mencapai miliaran. Sebab kosan di kota pendidikan ini jumlahnya juga cukup banyak.
“Jumlahnya banyak, hampir 600-an. Kos yang insidentil ada 400-an, jadi totalnya hampir 1.300 kos kosan. Nilainya setahun bisa mencapai Rp 3,7 miliar per tahun. Jadi kalau (pajak) kos ini dihapus, kita bisa ‘loss’ sekitar Rp 3,5 miliarnya, karena memang tidak semua terhapus. Banyak kos yang tetap kami filter untuk kami jadikan wajib pajak hotel dan penginapan karena dia menyediakan harian. Yang lainnya, ya harus kami nonaktifkan (pajaknya),” ungkap Ramdhani kepada Malang Posco Media.
Obyek yang dikenai pajak kos-kosan selama ini hanya kos-kosan yang memiliki 10 kamar lebih. Di bawah 10 kamar tidak dikenai pajak ini. Nilai pajak yang wajib dibayarkan sebesar 5 persen dari omzet.
“Untuk pembayaran pajaknya itu tiap bulan sama seperti hotel, disesuaikan dengan kosan yang terjual. Jadi, baik dia dia dapat pesanan kos 1 bulan, 3 bulan atau setahun, tapi bayarnya itu tetap per omzet per bulan,” jelas Ramdhani.
“Tingkat kepatuhan pembayaran pajak kosan selama ini juga relatif patuh, meski ada beberapa yang menunggak, telat lapor, tapi itu kecil sekali. Beban (pajak) kos ini tidak besar, sekitar 5 persen saja dari omzet. Misal omzet Rp 10 juta maka kenanya hanya Rp 500 ribu. Karena tidak besar, tingkat kepatuhan selama ini masih aman,” bebernya.
Dengan dihapusnya pajak kos kosan, maka beberapa sektor lain yang diharapkan bisa ‘subsidi silang’ untuk menutupi kekurangannya. Misalnya memaksimalkan pajak air tanah, pajak hiburan dan lain lainnya.
“Jadi ada ‘gendong ngindit’ saling menutupi. Ada kategori pajak lain yang naik, misal pijat, spa atau massage biasanya 25 persen, pajaknya sekarang 50 persen. Karaoke non keluarga 25 persen, sekarang 50 persen juga. Mungkin potensinya di triwulan satu baru kelihatan berapa besar kenaikan atau penurunannya,” tutupnya. (ian/aim)