Akademisi: Simbol Kekuasaan Rakyat
MALANG POSCO MEDIA – Fenomena pengibaran bendera One Piece menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI memicu perbincangan luas, tak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga di lingkaran aparat dan pejabat pemerintah. Simbol bajak laut dari serial manga Jepang itu bahkan menjadi perhatian khusus aparat yang mulai mendata dan memberi imbauan terkait penjualannya.
Di wilayah Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, sempat ditemukan aktivitas penjualan bendera One Piece. Namun, menurut Kapolsek Kepanjen AKP Subijanto, hasil pendataan di lapangan pada Selasa (5/8) lalu, tidak menemukan penjual bendera tersebut.
“(Giat pendataan bendera) kemarin lusa (Selasa). Tidak ditemukan bendera One Piece,” ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (7/8) kemarin.
Hal senada disampaikan Kasihumas Polres Malang AKP Bambang Subinajar. Ia menyebut belum ada laporan terkait pengibaran bendera One Piece di wilayah Kabupaten Malang. “Saat ini belum ada laporan temuan dari para kapolsek,” ungkapnya.
Meski demikian, salah satu penjual bendera One Piece di Kepanjen kini hanya melayani pembelian secara tertutup, khawatir terjadi tindakan represif bila bendera dipajang di tempat terbuka.
Menanggapi fenomena ini, akademisi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. Wahyudi Winarjo, M.Si menilai bahwa pengibaran bendera One Piece merupakan bentuk artikulasi kritik rakyat yang tidak tersalurkan melalui jalur formal.
“Menurut saya, seharusnya pemerintah menjadikan fenomena pengibaran bendera One Piece yang marak di medsos maupun yang langsung, itu sebagai suatu masukan pemikiran rakyat yang selama ini mungkin tidak mendapatkan kanal atau saluran yang tepat,” jelas Prof. Dr. Wahyudi.
Ia menekankan bahwa aparat tidak boleh bersikap represif. “Aparat seharusnya tidak represif dan tidak otoritatif dalam dalam menentukan baik atau buruk. Justru dia harus belajar pada perkembangan dinamika sistem dan struktur sosial di dalam masyarakat,” sambungnya.
Dalam perspektif sosiologi fungsional, kata Wahyudi, setiap simbol yang muncul di masyarakat pasti memiliki fungsi tertentu. Ia menilai bendera One Piece adalah simbol dari kekuasaan rakyat yang ingin menunjukkan eksistensi dan kepemilikan terhadap negara.
“Misalkan kami bajak laut, ini wilayah kami. Atau kami adalah orang yang memiliki kekuasaan di dalam teritori tertentu. Ini menurut saya secara sosiologi, rakyat ingin menunjukkan ke pemerintah, bahwa rakyat itu memiliki kekuasaan,” bebernya.
Lebih lanjut, ia menilai tindakan represif justru berpotensi mematikan aspirasi publik dalam negara demokrasi. “Ini Indonesia milik kita bersama. Indonesia itu rumah kita. Kita harus feel at home di Indonesia. Perhatikan dong rakyatnya, jangan melakukan tindakan hukum, politik atau penegakan korupsi yang di luar aturan hukum, koridor, dan menyakiti hati,” tambahnya.
Guru Besar FISIP UMM ini juga menilai kekhawatiran penjual bendera sebagai bentuk respons terhadap sikap pemerintah yang dianggap otoritatif dalam menentukan batasan sesuatu dianggap baik atau buruk.
“Rakyat melihat ada hal-hal tertentu yang membuat mereka kecewa, maka harus diekspresikan dong. Kekuasaan itu dari rakyat dan memiliki kedaulatan dalam sistem demokrasi yang terbuka semacam ini,” tegasnya.
Sementara itu, Satpol PP Kabupaten Malang juga merespons fenomena ini. Kasatpol PP Firmando Hasiholan Matondang menegaskan, pihaknya hanya menyampaikan imbauan agar bendera One Piece tidak disandingkan dengan bendera Merah Putih.
“Muspika mengimbau kepada masyarakat yang memasang bendera itu untuk melepas,” ujar Firmando.
Ia menambahkan bahwa langkah itu merupakan arahan dari Menkopolhukam kepada pemerintah daerah. “Bendera One Piece tidak selayaknya disandingkan dengan bendera Merah Putih. Beda makna, beda tujuan, dan beda filosof. Tidak ada tindakan. Kami manut instruksi pemerintah pusat bahwa, menghimbau agar tidak disandingkan dengan bendera Merah Putih. Itu saja,” pungkasnya. (den/aim)