spot_img
Thursday, February 6, 2025
spot_img

Pentas Sejak Usia 5 Tahun, Sudah Dewasa Masih Kerap Dipanggil Dalang Cilik

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Gigihnya Claudio Akbar Yudhistira Lestarikan Wayang

Gigih melestarikan budaya dan merawat warisan bangsa di tengah derasnya arus modernisasi. Itulah yang dilakukan Claudio Akbar Yudhistira. Warga Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang ini dalang muda yang masih eksis sampai saat ini.

MALANG POSCO MEDIA-Pemuda yang akrab disapa Dio ini sudah menggeluti dunia wayang kulit sejak belia. Bahkan, sampai saat ini, masih ada saja yang mengenalnya sebagai ‘dalang cilik’ karena semasa kecilnya, ia sudah sering tampil pentas wayang kulit. Hingga kini, Dio tetap gigih menekuni hobinya sebagai dalang meski masih ada saja yang menganggap seni budaya ini sebagai hal yang kuno.

-Advertisement-

“Kalau itu sudah ‘sego-jangan’, sudah jadi hal yang biasa saya dengar. Kayak bilang kesenian kolot lah, bikin ngantuk lah. Itu dari masyarakat umum sih, kalau teman-teman saya untungnya rata-rata orang seni, jadi lebih mengerti,” ungkap Dio kepada Malang Posco Media.

Ia mulai suka dengan seni wayang kulit karena dulu waktu kecil sering tidur larut malam. Di usia sekitar tiga tahun itu, Dio sering nonton acara wayang kulit di televisi. Ia bahagia ketika menyaksikan acara wayang kulit. Jika tidak menonton, biasanya dia menangis dan merengek kepada orang tuanya.

Berjalannya waktu, orang tuanya saat itu ternyata juga menyadari ada potensi dan ketertarikan dari anaknya. Sekitar usia 5 tahun, orang tuanya pun memutuskan mengajaknya ke suatu sanggar untuk belajar lebih dalam tentang pedalangan.

“Awalnya dulu suka gambar-gambarnya, karena unik. Kalau ‘nembangnya’ ya belum paham. Sebelumnya dikira ya cuma senang-senang, tapi katanya orang usia segitu kok sudah ‘teges’. Akhirnya diikutkan ke sanggar, namanya Tirta Laras,” cerita pemuda  24 tahun ini.

Saat itu, di sanggarnya kebanyakan yang belajar adalah orang dewasa. Hanya tiga orang saja yang masih muda, termasuk dirinya. Ia belajar dua kali tiap minggunya. Lalu karena potensinya yang cukup bagus, tidak beberapa lama Dio ternyata sudah dipercaya untuk naik ke panggung pentas wayang kulit di usia 5 tahun.

“Latihannya hanya beberapa Minggu saja. Lalu tampil di acara khitanan salah satu dosen Universitas Kanjuruhan, banyak penontonnya. Ya percaya diri saja waktu itu. Sejak itu, saya ketagihan euforianya wayang, ternyata yang dulu saya lihat di TV, bisa saya lakukan,” kenang alumnus SMKN 11 Malang ini.

Sejak itulah, Dio makin cinta dengan hobinya sebagai dalang. Ia pun sering mengisi acara seperti 17 Agustus, bersih desa, dan sebagainya. Dalam setahun, ia bisa tampil sedikitnya empat hingga lima kali.

Tentu, Dio pun bisa menghasilkan pendapatan dari kegiatan itu, meski bagi dia, orientasinya bukan soal nominalnya. Hasil dari pentas, ia kumpulkan untuk membeli wayang.

Di Malang dan sekitarnya, Dio menilai panggung pentas wayang kulit memang tidak banyak seperti di Jawa Tengah. Namun demikian, Dio tidak pernah minder jika disandingkan dengan dalang lain yang sudah dewasa atau lebih senior. Sampai saat ini, Dio mengaku masih terus belajar karena seni wayang dan pedalangan ini punya kesulitan khas tersendiri.

“Kesulitannya ada di tembang. Itu kunci dari pedalangan. Lalu bahasa pedalangan itu beda dengan bahasa sehari-hari karena bahasa dalang  termasuk bahasa sastra. Sulit menghapalnya, lalu ketika mencari padanan suatu kata misalnya, itu sulit sekali,” sebut dia.

Saat ini, Dio tetap eksis dan menekuni seni budaya dengan sepenuh hati. Dio bahkan mengaku ingin menyebarluaskan semangat dan kecintaannya terhadap wayang  kepada generasi muda lainnya. Ia ingin seni budaya ini terus lestari sampai kapan pun. Sebab, Dio meyakini banyak manfaat dan hikmah yang didapatkan dari seni budaya ini.

“Ya tentunya lebih mengetahui sejarah yang mungkin orang awam belum tahu. Misalnya perkembangan kerajaan-kerajaan Jawa, itu tidak lepas dari wayang itu,” lanjut pemuda kelahiran 27 Desember 2000 ini.

Tidak hanya itu, ia juga sekaligus ingin membangkitkan kembali seni Wayang Malangan, sebagai seni wayang kulit asli di Malang. Sebab ditengarai wayang kulit Malangan ini kalah popularitas dengan seni lainnya.

Berbeda dengan wayang Jawa Tengahan yang kental bahasa sastranya, wayang Malangan lebih merakyat dan bahasanya digunakan sehari-hari.

“Sampai sekarang pun saya masih mempelajari Wayang Malangan. Saya ingin mengembalikan marwah wayang kulit Malangan ini, sekaligus terus mengembangkannya,” pungkas Dio, yang kini menekuni seni Bantengan. (ian/van)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img