Tuesday, August 26, 2025

PENUMPANG GELAP

Berita Lainnya

Berita Terbaru

“Dalam panggung politik, cahaya pencitraan seringkali menyilaukan, mengaburkan bayang-bayang kerja keras yang tak ternama.”  (Anonim)


          Tulisan ini terinspirasi oleh berita mundurnya secara mendadak mitra utama koperasi di Pucangan Kecamatan Montong Kabupaten Tuban, justru ketika koperasi ini baru sehari dikukuhkan sebagai Koperasi Merah Putih (walau sudah berusia lebih dari 2 tahun dan sukes beroperasi konon dengan omzet sekitar Rp 600 juta per bulan).
          Mitra utama (merupakan salah satu perusahaan sukses dari Pondok Pesantren Sunan Drajat) sudah mendukung koperasi tersebut selama 19 bulan hingga hari pengukuhan, menjadi pemasok utama barang  pilar sebagai bisnis koperasi itu juga apotek. Jadi sepertinya Mitra Utama sudah all out dan menjadi jaringan kokoh-mapan bisnis koperasi.

          Persoalannya konon pada saat pengukuhan disiarkan secara nasional, perwakilan Mitra Duduk di deretan kursi terdepan, tapi tidak disinggung sedikit pun dalam laporan ke Presiden.  Pahlawan yang sebenarnya telah dipinggirkan dan tidak dianggap ada sama sekali. Ketika Mitra Utama tiba-tiba mundur, alasannya ‘menyentuh hati’, ‘takut ada penumpang gelap.’

          Program populis bagai magnet di medan politik. Janjinya manis: pemerataan, pemberdayaan, solusi cepat bagi rakyat kecil. Namun, di balik gincu retorika ini, sering bersemayam parasit licik ‘penumpang gelap’ juga aktor politik yang muncul bak pahlawan kesiangan, menunggangi jerih payah orang lain demi secercah cahaya elektoral.

          Mereka adalah perwujudan nyata dari rent-seeking behavior dalam ekonomi politik: mencari rente (keuntungan) tanpa menciptakan nilai tambah. Kasus studi insiden Koperasi Merah Putih Desa Pucangan, Tuban adalah bukti literer betapa mematikannya fenomena ini.

          Di sana, Mitra Utama yang membina dan mendukung selama19 bulan, tersingkir dari narasi, digantikan oleh ‘pahlawan’ instan yang hanya datang saat kamera menyala.
Tulisan ini tidak akan mengulas kasusnya, atau menelusuri siapa saja yang mungkin menjadi penumpang gelap itu,  tetapi mencoba memahami literasi di sekitar konsep penumpang gelap politik.

          ‘Penumpang gelap’ politik bukanlah mitos. Mereka adalah ahli strategi free riding (menikmati manfaat tanpa menanggung biaya). Karakter penumpang gelap secara konseptual dicirikan oleh: Pertama, muncul di saat puncak, mereka menghindari medan perang pembangunan. Saat fondasi telah diletakkan, jalan dirintis, dan hasil mulai terlihat, barulah mereka datang dengan senyum termanis, bendera tertempel rapi.

          Kedua, hobi mengklaim, bukan berkontribusi. Prinsip mereka adalah erasure (penghapusan). Kontribusi nyata dikubur, nama-nama pejuang sejati dihapus dari prasasti. Sebaliknya, merekalah yang berdiri di podium, menerima puja atas karya yang bukan buah tangan mereka.

          Ketiga, mereka berkembang biak di lahan pencitraan. Habitat mereka adalah seremoni dan siaran pers. Program populis adalah panggung teater tempat mereka berakting sebagai dewa penolong, sementara aktor riil tersingkir ke belakang layar.

          Dampak terparah bukan hanya pada anggaran atau kebijakan, melainkan pada jiwa para pejuang sejati yang tergerus dedikasinya. Unit usaha Ponpes Sunan Drajat adalah contoh epitome (lambang ideal): dedikasi 19 bulan pupus oleh pengabaian satu hari.

          Ini menyentuh konsep filosofis Axel Honneth tentang “pengakuan” (recognition). Manusia butuh diakui eksistensi dan kontribusinya. Penghargaan bukan sekadar materi, tapi pengukuhan bahwa jerih payah mereka bermakna. Ketika pengakuan itu dicuri oleh penumpang gelap, yang tersisa adalah luka moral dan erosi motivasi.

          “Mereka yang membajak dengan keringat di pagi buta, tak layak hanya mendapat debu di saat panen.” – Pepatah ini relevan didedikasikan kepada para pejuang koperasi. Politik elektoral pada prinsipnya mengandalkan pencitraan yang memang sering kurang sopan.

          Berdasarkan literasi politik kritis ada konsep
Political Entrepreneurship (Joseph Schumpeter) yang dimanipulasi. “Kewirausahaan” bukan menciptakan nilai baru, tapi mencuri nilai yang ada. Penumpang gelap adalah para oportunis yang menjual gambar keberhasilan, bukan isi-nya.  

          Program populis sejati adalah berbasis substansi (perencanaan matang, partisipasi, keberlanjutan). Yang ditunggangi penumpang gelap adalah politik simbolik: seremoni megah, stempel kebesaran, foto bersama – kosong dari akuntabilitas.

          Konsep Tragedy of Political Commons seperti padang rumput umum yang dirusak para penggembala serakah, program populis menjadi ‘milik bersama’ yang dieksploitasi para penumpang gelap hingga menuju kehancurannya sendiri. Para bijak mengatakan: ‘Lebih baik bekerja dalam sunyi daripada mencuri sorak-sorai dari pundak pejuang.’– (Anonim). Penumpang gelap politik adalah cermin distorsi demokrasi. Mereka mengubah pemberdayaan menjadi komoditas, rakyat menjadi latar foto, dan pejuang sejati menjadi figuran.

          Kasus Tuban adalah sirene: tanpa mekanisme transparansi kontributor, sanksi moral politik, dan literasi masyarakat yang kritis, program populis hanya akan menjadi sirkus pencitraan. Kata Bung Karno: ‘Bangsa besar diukir oleh tangan-tangan berkapur, bukan oleh lidah-lidah bersilat kata.’

          Saatnya mengembalikan kejayaan pada yang berhak: para pejuang sunyi yang membangun negeri dari dasar, bukan pada pahlawan kesiangan yang hanya pandai memetik buah ranum yang tak mereka tanam. Hanya dengan demikian, program populis bisa menjadi jalan pemberdayaan, bukan panggung sandiwara politik.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img