Wayang memang tak bisa lepas dari dunia politik. Pagelaran lakon wayang penuh dengan pelajaran ilmu politik dalam arti yang luas. Ada intrik untuk mendapatkan kekuasaan, mengalahkan lawan, bahkan menyusun tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Seperti ilmu yang lain, ilmu politik pun demikian. Jika dimanfaatkan dengan salah ia akan menghancurkan dan jika dimanfaatkan dengan benar ia akan menyejahterakan.
Wayang berperan dalam mentransfer nilai-nilai luhur pada masyarakat. Wayang juga digunakan untuk meninjau hubungan antara negara dan warganya. semuanya mendapatkan tempat dalam cerita wayang. Budaya politik yang dikembangkan oleh wayang merupakan bagian yang sangat indah. wayang tidak pernah sepi dari pergulatan-pergulatan dalam percaturan politik.
Setiap orang dapat melakukan penafsiran-penafsiran politis atas cerita wayang. Bahkan jika menonton wayang namun tidak mengerti implikasi politisnya, akan terasa aneh. Berbicara tentang peranan wayang dalam pembentukan budaya politik, maka salah satu sisi penting dari wayang adalah sebagai salah satu alat untuk melakukan kritik atau pengamatan terhadap berjalannya sebuah kekuasaan.
Hal itu bisa dilakukan dengan memakai pakemnya atau bisa juga dengan carangan-nya, yaitu hal-hal lain yang ditempelkan pada wayang. Koreksi dan teguran politik beretika, yang dibungkus secara kultural tidak menyakitkan bagi kelompok yang lain, walaupun sebenarnya cukup kritis.
Sebagai alat untuk memberikan koreksi, wayang membentuk sejumlah sudut pandang para penonton atau warga masyarakat dalam jangka panjang tentang pentingnya kesetian kepada negara, tentang pentingnya ketegaran dalam membela kebenaran, tentang pentingnya pengorbanan. Dalam perwayangan, ksatria adalah prototype dari manusia luhur yang bisa saja berontak dan marah-marah kepada dewa. Bisa menggoncangkan alam yang dibuat oleh para dewa.
Kekuatan ksatria juga memiliki nilai-nilai ketuhanan. Maka perubahan fungsi ksatria menjadi dewa itu bukan suatu proses vertikal, tapi lebih pada suatu proses horisontal sehingga memungkinkan sang ksatria berperan ganda. Peran untuk lebih memperkuat sisi rohani atau lebih menekankan jenis perilaku tertentu yang ingin dikembangkan.
Pendewaan ksatria itu pada proses makro terjadi ketika status quo tidak bisa lagi dipertahankan. Harus ada perubahan tokoh-tokoh yang ada dalam pemerintahan, sehingga perlu dipersiapkan lahirnya satu generasi ksatria yang baru.
Dalam cerita Mahabaratha atau Barathayuda sebenarnya berujung pada perihal perebutan tahta. Meskipun jika dicermati, sang Rama sebenarnya membela dirinya sendiri saja, tapi karena berhadapan dengan Rahwana yang angkara murka, maka Rama menjadi simbol perjuangan kebenaran menentang kebatilan.
Jika Ramayana saja sudah memasukkan hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, maka Mahabaratha jelas sekali menyangkut kekuasaan, bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan. Lebih khusus untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, yang menjunjung tinggi kemanusiaan, membela yang lemah, dan menahan yang kuat agar jangan sewenang-wenang.
Perang Mahabarata sesungguhnya penggambaran dari sifat manusia, di mana Pandawa disebut sebagai kelompok kebaikan, sedangkan Kurawa mewakili komunitas kebatilan yang haus kekuasaan. Para penguasa, agamawan, cendekiawan, saudagar dan rakyat jelata banyak yang binasa dalam perang ini.
Ini mirip perang politik republik saat ini, di mana masing-masing kelompok merasa benar dan memiliki hak untuk berkuasa sedang yang lain tidak pantas untuk berkuasa. Para ulama, kiai, akademisi, juga para kader masing-masing kelompok membangun logika pembenar atas tindakannya. Tetapi yang menarik adalah peran Krisna dan Sengkuni karena merekalah sebenarnya yang sedang bertarung. Merekalah yang membuat sekenario perebutan kekuasaan.
Sengkuni memiliki kemampuan dalam meyakinkan orang, serta mahir dalam psikologi berjudi, kelihaiannya dalam menjilat, menghasut, memfitnah, dan mengadu domba melapangkan jalannya untuk meraih jabatan dan kekuasaan. Sementara Krisna bersifat bijaksana, arif, sabar dan lebih mengandalkan logika dalam penyelesaian masalah.
Sengkuni mengendalikan seluruh skenario Kurawa, sedangkan Krisna mengendalikan seluruh skenario Pandawa. Barangkali inilah yang disebut sebagai Elit Kuasa yang bekerja secara informal dan di balik layar tetapi mengendalikan sebuah komunitas.
Perang Baratayudha, merupakan perang saudara. Perang antara sesama anak bangsa yang dikendalikan oleh elite kepentingan. Siapakah sebenarnya Sengkuni dan Krisna yang tengah mengendalikan bangsa ini. Jangan-jangan bukan kita sebagai anak bangsa yang lahir dan besar di tanah ini. Jangan-jangan bukan para ulama yang memiliki otoritas atas umat ini. Jangan-jangan bukan para kader partai itu yang sebenarnya bermain, jangan-jangan hanya makhluk yang bernama “Oknum.”
Semua cerita dalam wayang merupakan alat ukur bagi hal-hal yang sebenarnya harus dilaksanakan dalam pemerintahan, dan yang harus dijauhi dalam menyelenggarakan kekuasaan. Pada akhirnya wayang dapat digunakan untuk melakukan koreksi jangka panjang terhadap penyelenggaraan sebuah kekuasaan.
Wayang sebagai alat budaya secara jangka panjang diharapkan dapat membentuk budaya politik yang santun yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan segelintir kelompok ataupun golongan. Uri-uri budaya adi luhung.(*)