Kisah Soemadi, Komandan Kompi Macan Putih (1)
Perjuangan rakyat mempertahankan NKRI di Malang Barat harusnya selalu dikenang. Gerilya Kompi Macan Putih yang dulu bernama Kompi Soemadi bikin pasukan Belanda kocar-kacir dan menyerah.
MALANG POSCO MEDIA-Soemadi kala itu berpangkat Lettu. 76 tahun lalu, ia melakukan serangan umum terhadap Mendalan. Persinya di sebuah kawasan area Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Dusun Mendalan Desa Pondok Agung Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang.
“Berdasarkan cerita ayah saya (Soemadi) dahulu, pertempuran ini pecah pada tanggal 25 Desember 1948. Meskipun beberapa hari sebelumnya, sudah ada peperangan antara pasukan Belanda dan KNIL dengan warga setempat dan Kompi Soemadi alias Kompi Macan Putih,” cerita putra Soemadi, Yudo Nugroho kepada Malang Posco Media.
Peristiwa itu berawal dari ambisi Belanda menguasai PLTA Mendalan. Namun, gerak-gerik mereka sudah terbaca oleh tentara Indonesia saat itu. Dengan segala daya dan upaya, mereka berusaha memertahankan NKRI.
Saat itu, Kompi Soemadi melakukan penyerangan bersama dengan satu seksi (setengah peleton) Kompi Mistar. Soemadi dan pasukannya merangsek masuk dan mengepung melalui Gunung Parasbang dan Sungai Konto.
Sementara, seksi Kompi Mistar datang dari Ngantang melalui Gunung Loksongo yang dipimpin Serma Akoep. Mereka berusahan mengepung para prajurit penjajah yang tergabung dalam pasukan baret merah bernama Gajah Merah, yang dipimpin Kapten Van De Vries.
Saat itu Lettu Soemadi yang tiba bersama Letda Soediarto, mematahkan perlawan Belanda 25 Desember 1948 sekitar pukul 05.00. Pertempuran Kompi Soemadi melawan penjajah membuat tempat itu seketika jadi lautan mayat manusia.
“Usai melakukan penyerangan, Kompi Soemadi sempat menarik pasukan menuju kawasan Bocok. Namun, para pejuang langsung diserbu pasukan Belanda, yang saat itu diduga sengaja menunggu kembalinya para prajurit TNI,” terangnya.
Soemadi lahir pada 23 Desmber 1925. Ia seolah tak kenal takut dalam berjuang. Jiwa dan raga Soemadi seperti menyatu dalam senjata perangnya, untuk selalu berjuang menumpas penjajahan demi bangsa dan negara Indonesia.
Keahlian menembak Soemadi dan kepandaian Soediarto menggunakan pedang membuat para prajurit penjajah tumbang. Tak sedikit prajurit KNIL yang meregang nyawa akibat terhunus pedang Soediarto.
Perjuangan Soemadi dan Soediarto serta pejuang lainnya seperti Serma Misri, Kopral Dono, Kopral Sugeng dan banyak lainnya, seolah tak ada habisnya. Pertempuran intesitas tinggi terus terjadi, hingga korban tewas semakin banyak.
Nahasnya, saat pertempuran Soediarto terkena tembakan musuh. Sejak awal Soemadi yang berusaha mengamankan rekan-rekannya, kembali harus berjibaku mengevakuasi teman seperjuangan. Soediarto berhasil diamankan, di dekat gunung di kawasan tersebut.
“Darah Soediarto membasahi baju ayah saya saat itu. Saat itu, nahas menimpanya. Timah panas dari senjata api musuh kembali mengenai tubuh Soediarto. Ia akhirnya meregang nyawa dan tak tertolong. Sosoknya diabadikan sebagai monumen Palagan Mandalan dan mendapatkan pangkat Anumerta, menjadi Lettu (Anm) Soediarto,” lanjut Yudo.
Gugurnya Soediarto dkk, jadi luka bagi pejuang saat itu. Namun Soemadi sebagai komandan kompi Macan Putih, tak bisa terus diliputi duka. Ia kembali mengangkat senjata dan bertempur ke medan perang. Bersama sisa pasukan yang ada, dengan gagah berani, Soemadi melenyapkan dua regu pasukan penjajah.
Perjuangan Kompi Soemadi saat itu berhasil membuat para penjajah lari tunggang langgang, kabur dari PLTA Mendalan. Selain para tentara, sosok kepala desa setempat bernama Wongsoastro juga tak kalah heroik. Kegigihannya membantu para prajurit berperang, hingga harus mengorbankan nyawanya.
Kegigihan Soemadi memang sudah terasah sejak kecil. Ia menghabiskan masa muda sebagai tentara Pembela Tanah Air (PETA). Selain itu, ia juga bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga menjadi TNI.
“Saya kemudian bersama dengan Forum Keluarga Besar (FKB) PETA Malang, sempat kembali melakukan napak tilas. Bersama dengan komunitas dan organisasi lainnya, untuk meneladani kisah dan semangat perjuangan para pahlawan bangsa, 28 Juli 2024 lalu,” lanjutnya.
Yudo yang kini sudah menginjak usia 68 tahun, mengatakan bahwa dulu menjadi seorang tentara adalah untuk ‘mati’. Mereka tulus ikhlas berjuang demi kemerdekaan dan memertahankan NKRI. Solidaritas dan jiwa korsa sebagai prajurit, masih sangat kental. “Sangking (terlalu, red) was-was dengan kabar duka, setiap anak dan istri wajib menghafal Nomor Registrasi Pusat (NRP). Sampai sekarang saya hapal betul. Karena semua perjuangan tentara itu untuk Indonesia Merdeka. Mungkin mereka dahulu, belum ada gambaran bahwa Indonesia akan menjadi seperti saat ini. Jadi didikan kepada anak juga keras, agar bisa terus berjuang untuk bela negara,” tandas anak ketiga dari lima bersaudara ini. (rex/van/bersambung)