Saat ini kita sudah mulai merasakan dinamika kehangatan situasi tahun politik. Menjelang Pemilu Pilpres dan Pileg 2024, berbagai elemen kekuatan politik, khususnya Partai Politik (Parpol) sudah mulai menggeliat mengatur strategi dalam menghadapi “pertarungan” untuk meraih kekuasaan politik.
Bukan hanya lembaga Parpol saja yang sudah menggeliat, akan tetapi juga tokoh-tokoh personal yang dipandang “laku” untuk dijual, baik berdasarkan hasil survey elektabilitas dan aksesibilitas maupun atas dasar dorongan dari kelompok-kelompok relawan, juga sudah mulai masuk ke dalam “gelanggang” pertarungan.
Sebut saja misalnya ada nama Anies Baswedan, Ganjar Panowo, dan Prabowo Subianto yang secara resmi sudah diusung sebagai Bakal Calon Presiden. Sementara nama-nama di bursa calon Wakil Presiden, antara lain mencuat nama-nama seperti Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, Sandiaga Uno, Khofifah Indar Parawansa, Rindwan Kamil,, dan sebagainya.
Dalam istilah teori dramaturginya Erving Goffman, Parpol dan para elit politik nasional sedang membangun citra di wilayah “front stage” (panggung atau latar depan). Ibarat sebuah pertunjukan drama, maka Parpol dan para elit politik sedang menampilkan sebuah peran dalam upaya membangun citra yang mempesonakan para penontonnya.
Bahkan Goffman mengingatkan kepada kita, bahwa sesuatu yang muncul di area “front stage” kadang bertolak belakang dengan sifat aslinya pada latar “backstage” (panggung belakang). Seringkali kita tertipu oleh penampilan seseorang pada latar depan, dan baru menyadarinya setelah keputusan penilaian dilakukan.
Maka perlu kesadaran kritis pada kita semua dalam mencermati dan menilai Parpol dan elit politik agar tidak tertipu oleh penampilan pada panggung depan tersebut, cermati latar depan kenali latar belakangnya.
Arena Pertarungan
Dalam perspektif teori konflik Karl Max, masyarakat atau negara dipandang sebagai sebuah arena konflik antar kelompok kepentingan. Masyarakat atau Negara ditandai oleh berbagai kelompok yang memiliki kepentingan yang berbada. Melalui economic determinism-nya, Marx melihat paling tidak terdapat dua kelompok yang berbeda dalam masyarakat, yakni kelompok kapitalis (borjuis) dan kelompok buruh (proletar) yang keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.
Dalam praktiknya, relasi sosial antara kaum kapitalis (borjuis) dan buruh (proletar) akan selalu ditandai oleh praktik eksploitasi, penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan sebagainya, yang dilakukan oleh kaum kapitalis (borjuis) atas kelompok buruh (proletar).
Oleh karena itu, untuk menghilangkan praktik-praktik eksploitasi, penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan sebagainya, tersebut maka harus ada kesadaran kelas dari kelas buruh (proletar) untuk melakukan perlawanan melalui apa yang disebut sebagai perjuangan kelas.
Dalam konteks sosiologi, perjuangan kelas ini dapat diartikan sebagai sebuah gerakan sosial dari kaum buruh (proletar) untuk melawan segala bentuk penindasan dak ketidakadilan. Gerkan sosial diartikan sebagai penentangan kolektif oleh orang-orang yang memiliki solidaritas dan tujuan yang sama dalam proses interaksi yang terus-menerus terhadap pihak elit, pihak lawan dan pihak yang berwenang.
Dalam konteks politik, Varma (2016) dalam bukunya teori politik modern menjelasakn tentang teori elit, dimana menyebutkan bahwa dalam kenyataanya setiap masyarakat terbagi dalam 2 kategori, yakni: Pertama, sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan Kedua, sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Dalam semua masyarakat, selalu muncul dua kelas dalam yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang kendali semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.
Salah satu tujuan dari Parpol adalah untuk mendapatkan kekuasaan politik. Sebagaimana dinyatakan oleh Miriam Budiarjo (2008) bahwa partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisir dan anggotanya memiliki nilai, orientasi serta cita-cita yang sama dengan tujuan agar dapat memperoleh kekuasaan politik serta merebut kedudukan politik.
Untuk meraih tujuan tersebut, biasanya partai politik akan berusaha meraihnya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka. Jauh sebelum Miriam Budiarjo, Friedrich (1967) telah mengemukakan pendapat bahwa partai politik merupakan sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut maupun mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin partainya.
Jadi jelas, bahwa masyarakat itu adalah sebuah arena pertarungan perebutan kekuasaan politk, baik bagi Parpol maupun bagi elit-elit politik yang ingin menduduki jabatan kekuasaan politik. Layaknya dalam sebuah pertarungan, maka akan berlaku situasi yang digambarkan oleh Thomas Hobbes sebagai “hommo homini luppus, bellum omnium comtra omnes”, yakni, bahwa “manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya” (Homo Homini Lupus), oleh karena itu akan selalu terjadi “pertikaian antara manusi satu melawan manusia lainnya” (Bellum Omnium Contra Omnes). Politik telah menampakkan wajah keserakahan manusia untuk berkuasa atas manusia yang lainnya.
Politik Emansipatoris
Harapan publik tentu saja partai politik idealnya mengembangkan praktik politik yang emansipatoris. Politik emansipatoris dapat diartikan sebagai pendekatan politik yang bertujuan untuk mencapai emansipasi atau pembebasan individu dan kelompok dari berbagai bentuk penindasan, ketidakadilan, dan dominasi. Sasaran penting dari praktik politik emansipatoris yakni mengembangkan prinsip pemerataan kekuasaan, keadilan sosial, dan kebebasan individu.
Politik emansipatoris menekankan pentingnya partisipasi politik inklusif yang mencakup berbagai kelompok sosial. Ini seringkali membutuhkan pembentukan koalisi dan gerakan sosial yang bekerja sama untuk mendorong perubahan sosial yang signifikan. Politik emansipatoris juga mempromosikan keadilan distributif, yaitu distribusi yang adil atas sumber daya dan peluang masyarakat.
Tujuan utama dari politik emansipatoris adalah untuk memperkuat individu dan kelompok yang terpinggirkan atau terdiskriminasi. Adapun beberapa kebijakan emansipatoris termasuk antara lain melakukan advokasi politik progresif, aksi kolektif dan gerakan sosial, pendidikan kewarganegaraan, kampanye sosial, dan peningkatan peran organisasi masyarakat sipil. Mari kita ciptakan politik yang emansipatoris dalam Pemilu 2024. (*/mpm)