.
Friday, November 22, 2024

Perpustakaan Pusat Gerakan Literasi Sekolah, Utopia-kah?

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Setiap mendengar istilah perpustakaan sekolah, dalam bayangan kita bisa jadi seperti ‘museum barang antik.’ Mungkin Anda tidak setuju, tetapi pengelolaan perpustakaan di banyak sekolah, sengaja atau tidak justru menguatkan terbangunnya ‘imej’ demikian.

         Fakta seperti ini bisa kita lihat, pertama, apabila perpustakaan sekolah lebih banyak menyimpan buku-buku teks lama karena memang tidak mudah menghapus buku dalam catatan aset sekolah. Kedua, buku bacaan untuk menambah wawasan pengetahuan siswa dan sarana rekreasi dalam bentuk bacaan jumlahnya terbatas atau bahkan dianggarkan dalam jumlah kecil.

         Ketiga, tata kelola perpustakaan di sekolah yang masih mengandalkan catatan manual ketimbang digital. Ironi yang sengaja dibiarkan di tengah perubahan gaya hidup penggunanya yang serba digital.

         Selain pengelolaan dalam bentuk catatan juga terkait program-program yang seharusnya dijalankan oleh perpustakaan sekolah juga ‘ogah’ dilakukan. Misalnya melengkapi perpustakaan dengan koleksi dan peralatan audio visual, kegiatan-kegiatan penunjang literasi siswa seperti diskusi, pameran dan pelatihan kepenulisan siswa. Mungkin saja pemangku kebijakan sekolah atau di atasnya masih menganggap bahwa digitalisasi atau modernisasi sarana perpustakaan belum menjadi prioritas sekolah.

         Kenyataan tersebut tentu disebabkan oleh banyak faktor. Namun salah satu faktor yang perlu kita kaji ulang secara serius adalah ketimpangan visi Gerakan Literasi Nasional (GLN) di tingkat pusat dan gerakan literasi di tingkat sekolah dimana kita para pelaku pendidikan menjadi bagian di dalamnya.

         Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diluncurkan oleh Kemendikbudristek sebagai bagian dari Gerakan Literasi Nasional melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Selanjutnya sejak 2016 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbud ditunjuk sebagai koordinator GLN.

         Seminar yang diadakan Pengurus Pusat Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (PP Atpusi) pada 23 Mei 2017 di kantor Kemendikbud dimana kepala Badan Bahasa sebagai pembicara kunci menegaskan peran pustakawan dan perpustakaan sekolah sebagai elemen penting dalam GLS. (https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/menggerakkan-literasi-melalui-perpustakaan).

         Maka semangat untuk memberdayakan perpustakaan sekolah sebagai basis gerakan literasi sekolah menjadi sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan di level pusat. Apakah ini juga penting bagi sekolah? Di sinilah maksud dari tulisan ini penulis susun sebagai usaha meningkatkan nilai perpustakaan sekolah sebagai agen perubahan tradisi budaya literasi sekolah.

         Lebih jauh, tulisan ini juga mengajak kita untuk membangun visi gerakan sosial yang sebenarnya. Mengingat GLS di sekolah telah disimplifikasi sebagai ‘program membaca buku’ atau maksimal aksi wajib kunjung perpustakaan sekolah. Padahal sebenarnya literasi merupakan aktivitas yang kompleks dan dinamis.

         National Institute for Literacy mendefinisikan bahwa literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat (artikel Dhian Delliana S.Sos. di https://perpustakaan.setneg.go.id/).

         Literasi bukan sekadar bisa baca tulis, melainkan juga melahirkan gagasan yang mampu berdialog dengan permasalahan yang dihadapi. Pemahaman ini menginsyafi survei lembaga riset internasional seperti PISA (Program for International Student Assessment) tahun 2018 yang menempatkan Indonesia di level sepuluh negara terbawah tingkat literasi.

         UNESCO juga menyebut index baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya satu orang yang gemar membaca atau saya tafsirkan hanya satu orang yang mencoba memecahkan masalah melalui proses membaca. (https://bisniskumkm.com/harbuknas-2022-literasi-indonesia-peringkat-ke-62-dari-70-negara).

         Angka yang sangat kecil untuk disebut sebagai negara maju sebagaimana visi besar pemerintah jelang Indonesia Emas 2045. Mungkinkah program peningkatan minat baca di sekolah bisa menjawab tantangan besar ini 20 tahun mendatang?.

         Di sini kita perlu membuka sekat pragmatisme dalam mengambil kebijakan di sekolah terkait literasi. Program-program peningkatan minat baca sebagai simplifikasi gerakan literasi perlu dievaluasi. Titik tekan istilah program GLS bukan pada kata ‘program’ melainkan ‘gerakan’ atau secara tekstual dalam sosiologi disebut social movement.

         Giddens menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama melalui gerakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Konsep gerakan inilah yang diharapkan membawa dampak baik bagi lompatan indeks literasi anak bangsa.

         Gerakan literasi sekolah adalah cerminan upaya dari siswa, guru dan warga sekolah, bukan sekadar instruksi yang dituangkan ke dalam Surat Keputusan pimpinan. Literasi sekolah adalah aksi-aksi kecil yang revolusioner, yang terbuka terhadap sumberdaya alternatif (di luar lembaga) atau dalam bahasa sederhana adalah networking dengan pihak-pihak terkait. 

         Pemerintah telah menyediakan perangkat lembaga yang memungkinkan Gerakan Literasi Sekolah bisa dijalankan secara ideal. Kebijakan di tingkat pusat, daerah dan sekolah telah mendukung. Namun berbagai kelemahan dalam pengelolaan perpustakaan sekolah sebagai agen perubahan, termasuk ketersediaan sumber daya manusia menjadikan GLS di banyak sekolah tidak berjalan sesuai harapan.

         Tidak banyak riset yang mengukur sisi kelayakan perpustakaan sekolah, namun bisa kita bayangkan bahwa visi besar dalam GLS belum didukung oleh tata kelola perpustakaan sekolah yang memadahi. Seribu alasan mengapa perpustakaan sekolah kita tampak seperti museum.          Namun yang lebih penting dalam ulasan ini adalah memberikan pencerahan bagaimana kita para pelaku dan pemangku kebijakan di tingkat sekolah menginsyafi dan mulai merancang aksi nyata dan bermakna. Menjadikan perpustakaan sekolah kita sebagai pusat gerakan literasi sekolah.

         Pertama dengan mendorong keterlibatan pustakawan, guru dan siswa yang memiliki latar berlakang akademik, minat dan pengalaman di bidang pengelolaan perpustakaan, sastra, kepenulisan, dan keterampilan digital untuk terlibat dalam GLS.

         Kedua menyediakan ruang berpikir bagi para pelaku GLS, termasuk mendorong pelatihan mandiri mereka dalam mengemas program GLS yang benar-benar dibutuhkan guru dan siswa. Ketiga bersama stakeholder sekolah memberikan daya dukung pembiayaan yang relevan terhadap program-program yang tentu tidak kecil.

         Keempat, proses yang tidak mudah ini akan memberikan orientasi baru bagi perpustakaan sekolah, menuntut kolaborasi dengan lembaga-lembaga di luar sekolah dalam mencapai kapasitas literasi yang ‘tidak utopia.’(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img