Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Peringatan HPN tahun 2025 ini diselenggarakan di dua tempat yang berbeda, sebagai imbas dari terjadinya dualisme kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pelaksanaan HPN 2025 oleh PWI versi Hendry Ch. Bangun bertempat di kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang mengusung tema “Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa.” Sedangkan pelaksanaan HPN 2025 oleh PWI versi Zulmansyah bertempat di Kota Pekanbaru, Riau yang mengusung tema ‘Pers Berintegritas Menuju Indonesia Emas.’
Kita semua menyadari peran pers sangat penting dalam membangun bangsa. Dalam konteks pembangunan nasional, pers memiliki peran yang sangat penting yakni sebagai salah satu pilar demokrasi yang memilki fungsi menyebarluaskan informasi dalam upaya pendidikan masyarakat. Peran pers juga sangat penting dalam melakukan pengawasan dan pemantauan atas berbagai kebijakan pemerintah dan dalam menyampaikan aspirasi rakyat.
Pers membangun opini publik dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, melalui penyampaian informasi yang objektif dan akurat. Di samping itu, pers juga berfungsi sebagai jembatan antara berbagai elemen masyarakat, memberikan edukasi dan penyebaran pengetahuan tentang isu-isu penting yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pers tidak hanya berkontribusi pada transparansi dan akuntabilitas, namun juga menampilkan peran penting dalam menciptakan kesadaran kolektif dan identitas nasional, yang sangat diperlukan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Oleh karena itu, peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tentu saja memiliki arti penting dan sangat relevan dengan konteks masyarakat demokratis. Momen peringatan HPN bukan saja sebagai apresiasi atas kontribusi pers dalam menjaga kebebasan berekspresi, namun juga merupakan pengingat akan peran vital pers (media) dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang.
Dalam era tantangan semakin maraknya berita hoaks dan disinformasi, spirit HPN menyadarkan kita semua untuk dapat menghargai jurnalistik yang kredibel dan memperkuat komitmen terhadap kebebasan pers. Selain itu, peringatan HPN juga mempertegas pentingnya perlindungan terhadap jurnalis, yang seringkali berada di garis depan dalam mempertahankan kebenaran dan transparansi.
Maka dengan demikian sekali lagi, mari kita jadikan momen peringatan HPN untuk melakukan refleksi bersama seluruh elemen masyarakat dalam mendukung ekosistem informasi yang sehat dan bertanggung jawab.
Disadari bahwa dibutuhkan pers yang kuat agar memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan kemajuan masyarakat dan bangsa. Di alam demokrasi, setiap individu memiliki kebebasan untuk membentuk organisasi atau kelompok yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak fundamental.
Dalam konteks ini, tentu saja termasuk kebebasan untuk mendirikan dan mengikuti organisasi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang berfungsi sebagai wadah bagi para jurnalis untuk bersatu, berbagi pengetahuan, dan memperjuangkan hak-hak wartawan. Pembentukan PWI tidak hanya meningkatkan rasa persatuan di antara para jurnalis, tetapi juga memperbaiki tingkat profesionalisme serta etika dalam bidang jurnalistik.
Organisasi ini memiliki peranan yang signifikan dalam melindungi hak-hak anggotanya dan mendorong penyebaran informasi yang berkualitas serta bertanggung jawab. Maka adanya dualisme kepengurusan PWI tentu saja dapat menimbulkan konflik yang merugikan bagi seluruh anggota dan integritas organisasi PWI itu sendiri.
Kondisi ini dapat mengganggu interaksi, kerja sama, dan rasa solidaritas di antara anggotanya, serta menurunkan efektivitas dalam menjalankan inisiatif yang bermanfaat bagi jurnalis. Selain itu, keadaan dualism ini bisa merusak posisi PWI dalam mempertahankan hak-hak jurnalis dan menghadapi tantangan di bidang media, dikarenakan suara dan tindakan organisasi akan terpecah.
Sebagai akibatnya, perseteruan internal ini tidak hanya merugikan reputasi PWI, tetapi juga berdampak buruk pada kemajuan profesionalisme jurnalis di Indonesia, yang seharusnya bersatu dalam memperjuangkan kepentingan kolektif.
Dalam perspektif sosiologi, konflik antar kelompok dalam suatu organisasi memang memiliki nilai fungsional bagi organisiasi tersebut jika para pihak yang terlibat mampu mengelola konflik dengan baik. Upaya mengatasi konflik dilakukan melalui apa yang disebut sebagai resolusi konflik. Secara umum resolusi konflik dipahami sebagai sebuah proses atau upaya untuk menyelesaikan, mengatasi, atau mengakhiri konflik sosial yang terjadi antara individu, kelompok, atau masyarakat. Tujuan utama dari resolusi konflik adalah untuk menciptakan perdamaian, harmoni, dan kerjasama antara pihak-pihak yang berkonflik.
Salah satu bentuk resoluasi konflik yang paling baik adalah rekonsiliasi dan integrasi. Rekonsiliasi, secara umum dimaksudkan sebagai proses penyelarasan atau penyesuaian antara dua hal atau lebih yang berbeda untuk mencapai keselarasan. Sedangkan integrasi sosial mengacu kepada suatu upaya penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda dalam sebuah kelompok atau organisasi.
Oleh karena itu, kita masyarakat Indonesia tentu saja berharap agar dualisme kepengurusan PWI dapat segera dipersatukan dan melakukan rekonsiliasi dan integrasi organisasi. Hal ini sangat penting guna mengembalikan kekuatan dan integritas PWI sebagai wadah perjuangan bagi seluruh wartawan di Indonesia.
Melalui upaya rekonsiliasi integrasi organisasi, diharapkan akan tercipta suasana yang harmonis, di mana semua pihak dapat berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan profesionalisme jurnalis guna membangun pers yang kuat. Upaya rekonsiliasi dan integrasi ini tentu saja akan mengurangi konflik internal yang merugikan insan pers sendiri.
Sekali lagi, keberadaan pers yang kuat sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai kemajuan masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu kita berharap berharap agar PWI segera bersatu. Pers Bersatu, masyarakat maju.(*)