MALANG POSCO MEDIA – Media memang bisa mati, tapi pers tidak akan pernah mati. Demikian juga wartawannya. Never die. Apa yang terjadi sekarang adalah fenomena disrupsi atau shifting dari platform cetak dan broadcasting ke media digital. Artinya, medianya yang mati, digantikan oleh platform baru, yaitu media digital.
Demikian yang ditulis Ilham Bintang Ketua Dewan Kehormatan PWI yang dipublish Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) pada 21 Januari 2021 lalu. Pers dan wartawan never die. Ilham bilang lagi begitu. Secara sederhana Ilham mencontohkan, wartawan itu ibarat penyanyi senior yang mengalami penggantian platform dari piringan hitam, kaset, CD, dan entah apa lagi teknologinya yang berkembang sekarang dan yang akan datang.
Toh perkembangan teknologi itu tidak mengebiri bakatnya, keindahan vokalnya, tidak juga membuat rusak ekonominya. Ayolah berubah, ayolah cepat beradaptasi. Sayang, masih banyak wartawan yang sudah puluhan tahun medianya tutup, dan praktis semenjak itu pula tidak lagi menulis apapun, tetapi secara gagah mengaku wartawan, mengantongi kartu pers dan bahkan duduk sebagai pengurus organisasi wartawan berperiode-periode.
Disrupsi media lalu menjadi alasan barunya mengutuki keterpurukan media. Ayo, bangkit kawan. Dengar Wilson Churchill: “Daripada terus menerus mengutuki kegelapan, lebih baik mulai nyalakan lilin.”
Tak dipungkiri, era digital membuat masyarakat mempertanyakan nasib media dan pers. Kekhawatiran itu sampai pada prediksi media pers akan mati digilas digital. Kemajuan teknologi saat ini memang tak bisa dibendung, melesat lebih cepat dari yang dipikirkan dan dibayangkan banyak orang. Dan media termasuk yang tergilas.
Apakah media pers akan mati? Saya termasuk orang yang optimis dan punya pikiran yang sama dengan Ilham Bintang. Sebagai wartawan dan dosen jurnalistik, saya meyakini bahwa pers akan terus berkembang mengikuti zamannya. Yang dibutuhkan adalah adaptasi dari insan pers itu sendiri untuk terus bekerja keras mengelola media agar bisa bertahan dari gempuran era digital saat ini.
Salah satu alasan kuat, mengapa pers tidak akan mati adalah pers merupakan pilar penting dalam sebuah negara. Bahkan pers dianggap salah satu ukuran seberapa demokratis sebuah negara dilihat dari seberapa bebas pers bisa berekpresi menjalankan tugas dan fungsinya secara indenpenden.
Di Indonesia, kebebasan pers ditegaskan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah Pasal 2: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 3 ayat (1): Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Konglomerat Chairul Tanjung dalam Konvensi Media Massa Hari Pers Nasional (HPN 2022) melalui Youtube Dewan Pers Official, Selasa (8/2) mengingatkan agar perusahaan media tetap menjunjung idealismenya dalam menghadirkan konten yang ingin dibagikan sehingga kedua fungsi itu dilakukan secara beriringan, bukan untuk melebur salah satu fungsi.
“Perusahaan media perlu memahami pasar, kelola pasar, kelebihan kalian, serta jangan mengorbankan idealisme untuk bisnis yaitu menjual konten yang bertentangan dengan idealisme anda untuk mendapatkan bisnis semata,” ujar Chairul.
Puncak Peringatan HPN 2022 yang diperingati hari ini di Kendari Sulawesi Tenggara, salah satu isunya terkait lingkungan hidup, selain masalah masa depan wartawan di tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan media.
Dikutip dari laman Persatuan Wartawan Indonesia, Ketua umum PWI Pusat yang juga Penanggung jawab HPN Atal S Depari mengatakan, konsep acara menekankan pada tiga tujuan penyelenggaraan HPN yaitu berkontribusi kepada pembangunan di daerah, menyuarakan kepentingan nasional, dan membahas isu-isu strategis terkait kehidupan pers nasional.
Isu strategis nasional antara lain diisi kegiatan pelepasliaran Anoa dan gerakan penanaman mangrove yang menjadi bagian komitmen Indonesia dalam G20. “Terkait kepentingan daerah, kami sampaikan harapan agar daerah tetap diberi kewenangan perizinan pertambangan. Isu pers dibahas di acara konvensi 2 hari, yaitu keberlanjutan media, publisher right, dan kedaulatan digital yang juga isu nasional,” jelas Atal S Depari.
Semangat menggelorakan media agar tetap eksis di tengah gempuran digital juga dilakukan media lokal di Malang. New Malang Pos yang terbit perdana pada 4 Juli 2020 juga akhirnya harus mengikuti perubahan zaman. Koran bertagline Asli Korane Arek Malang ini pun akhirnya memilih berubah nama menjadi Malang Posco Media.
Perubahan nama ini pun dipilih tepat pada 2 Februari 2022 yang juga menyambut Hari Pers Nasional. Komisaris Utama Malang Posco Media Juniarno Djoko Purwanto bersama Direktur Utama Sudarno Seman tetap meyakini koran tak akan mati selama pengelola koran mau bekerja lebih keras, lebih keras dan lebih keras lagi menantang zaman.
New Brand, It’s My Dream dipilih menjadi kampanye untuk menggelorakan semangat baru, harapan baru dan masa depan koran lebih baik. Selamat Hari Pers Nasional.(*)