spot_img
Tuesday, July 2, 2024
spot_img

Personel Milenial, Kerjanya Petani Hingga Pedagang

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Wukir Kampungnya Musisi Keroncong Malang Raya

Malang Posco Media – Anak-anak muda di Kampung Wukir Kelurahan Temas Kota Batu ini penerus musik keroncong. Dalam satu kampung saja terdapat puluhan musisi keroncong. Pilihan bermusisi ini bikin mereka tak mati gaya.

Musik keroncong mengalun merdu di Kampung Wukir. Mayoritas anak mudanya membentuk grup musik keroncong. Di satu kampung saja sekarang terdapat empat grup musik keroncong. Jumlah personel mencapai 36 orang. Usia mereka rata-rata 25 tahun. 

Awalnya Keroncong Woekir 1. Dibentuk 27 Oktober 2014. Kemudian berkembang menjadi Keroncong Woekir 2, 3 dan Keroncong Woekir 4. 

Base camp mereka di Jalan Wukir Kota Batu. Personelnya selalu menyambut ramah. Alat musik seperti cello, biola, gitar, ukulele, cakalele dan bass jadi pemandangan khas studio. Semuanya siap dimainkan. Apalagi dalam waktu dekat Keroncong Woekir 1 merilis single baru.

Aulia Ramadhan Arif dan Muhammad Ilham Zulkarnain, dua personel Keroncong Woekir 1 menceritakan bagaimana berdirinya grup keroncong yang digawangi anak-anak muda. 

“Grup Keroncong Woekir 1 ini terbentuk karena keinginan dari dua teman kami. Yakni Fajar dan Rudi yang sebelumnya memiliki grup keroncong. Namun harus berhenti di tengah jalan karena alasan yang tak kami ketahui,” ujar Zulkarnain membuka ceritanya.

Selang dua tahun, tepatnya tahun 2014, mereka ingin membentuk kembali grup keroncong. Kemudian terbentuklah nama Keroncong Woekir 1.

Personelnya Fajar Bramanto memainkan cello. Ia juga seorang pedagang. Rudi Hartono memainkan biola merupakan seorang petani.  Aulia Ramadhan Arif pada gitar, kesehariannya guru, Muhammad Yusak juga seorang petani memainkan ukulele.

Kemudian ada Rio Oktaviano pada bass yang bekerja di bidang mebel. Pemain ukulele lainnya,  Muhammad Ilham Zulkarnain kesehariannya

guru dan bertani di waktu libur. Serta Dian Machruz Syaifudin, vokalis yang juga pedagang.

Dari mereka itulah terbentuklah Keroncong Woekir 2, 3 dan 4. Namun secara umum dan penyebutannya sama. Yakni Keroncong Woekir.

“Nama Keroncong Woekir sendiri mengambil dari lokasi atau base camp dan berdirinya grup ini. Yang memberi nama orang tua Fajar,” ceritanya.

Yakni Dwi Widyastono alias Dodo dan Agustin Mayangsari atau yang akrab disapa Titin. Mereka berdua inilah yang punya andil besar di grup ini.

Ia menjelaskan, Dodo dan Titin dulunya juga pemain musik keroncong. Karena itulah alat musik dipinjami secara gratis. Baik untuk belajar hingga ikut parade atau atau tampil di event.

Berdirinya Keroncong Woekir bukan tanpa alasan. Yaitu keinginan agar musik keroncong tetap lestari, digandrungi anak muda dan kemudian bergabung di dalamnya.

“Nah untuk mendekatkan keroncong pada anak muda, dalam bermusik kami padukan dengan lagu-lagu pop dan dangdut. Harapannya anak-anak muda bisa menikmati dan akhirnya melestarikannya,” ungkapnya.

Sementara kiprah, diceritakan Aulia bahwa Keroncong Woekir memulai dari festival di tingkat desa seperti bersih desa. Kemudian ikut perlombaan tingkat daerah hingga provinsi.

Beberapa prestasi yang pernah diraih di antaranya tahun 2017 dalam festival akustik Malang Raya dengan meraih juara 2 di Kota Batu. Tahun yang sama, 2017 lalu, juara dua di Parade Keroncong Jatim di Jombang. Kemudian tahun 2018 ikut Parade Keroncong Jatim di Jember sebagai penyaji terbaik ke dua dan ke lima.

Serta di tahun 2018 dalam Festival Rock di Kabupaten Malang meraih juara tiga. Peringkat ketiga diraih karena Keroncong Woekir berani membawakan genre yang berbeda dari festival yang digelar.

Tak hanya prestasi, mereka juga telah membuat tiga lagu karya sendiri. Yakni berjudul ‘Semesta’ pada tahun 2016, ‘Titisan Melati’ tahun 2017, dan ‘Kidung Wukir’ juga tahun 2017.

Mereka kini berkomitmen terus menghidupi keroncong. Mengingat di Malang Raya hanya ada empat grup keroncong yang digawangi anak-anak muda. Berbeda jauh dengan para pendahulunya yang lebih banyak mencapai 20 grup keroncong.

Setiap tampil mereka bisa mendapat fee Rp 3-6 juta. Dengan durasi antara tiga sampai lima jam setiap tampil. “Rata-rata sebulan bisa dua kali tampil. Kalau lagi musim nikah bisa lebih dari tiga kali. Itu sebelum pandemi. Namun akibat pandemi hampir tidak ada,” katanya tertawa.

Meski dengan latar belakang yang berbeda-beda, para punggawa Keroncong Woekir ini ingin tetap setia di genre keroncong. Karena keroncong  bagi mereka adalah hiburan melepas penat. Juga ajang kumpul bersama teman-teman.

“Jadi keroncong bagi kami bukan sebagai mata pencarian. Kalau ada orang nanggap dan bayar itu bonus,” paparnya.

Saat ini mereka tetap menjalankan aktivitas rutin seperti latihan setiap minggu. Serta recording beberapa single yang rencananya akhir bulan ini rilis di platform-platform musik dan YouTube.

“Kami minta dukungan dan doa semoga akhir tahun sudah bisa jadi album dari Keroncong Woekir. Kami berharap album baru yang tengah kami garap bisa menghibur para pecinta musik keroncong dan masyarakat secara umum,” pungkas Zulkarnain. (kerisdianto/van) 

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img