Malang Posco Media-Hari-hari sibuk bagi Partai Politik (Parpol) sejak tanggal 1-14 Mei 2023 menyusun daftar nama-nama pengajuan Bakal Calon (Bacalon) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara serentak di tanah air. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota, sehingga Parpol akan mencalonkan kader-kader yang terbaik untuk setiap Daerah Pemilihan (Dapil) di berbagai provinsi/ kabupaten/ kota sesuai ketentuan kuota.
Dalam penyusunan nama-nama setiap Parpol, tentu adanya intrik, kedekatan secara perkawanan, persahabatan, bahkan kekeluargaan, sehingga bisa terjadi konflik interen Parpol. Apalagi Parpol dan Bacalon anggota legislatif terlihat tidak terlalu serius dalam pencalonan, karena belum ada kepastian Uji Material (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 168 ayat (2) “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota dilaksanakan dengan sistem proprsional terbuka”, Dinilai para pemohon tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 145 Pasal 22E ayat (3) “Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakikan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
Tahapan pencalonan tetap berjalan sebelum ada keputusan MK, sehingga kegalauan dari peserta Pemilu Tahun 2024, termasuk para Bacalon legislatif. Walaupun dalam Pemilu tahun 2019 telah dilaksanakan proporsional terbuka.
Konflik Internal Parpol
Kita melihat fenomena yang ada di dalam masyarakat termasuk Parpol peserta Pemilu 2024 merupakan hasil dari konflik itu sendiri atau penetapan kelas atas bawah di dalam berorganisasi. Situasi sekarang bahkan memasuki tahun politik terjadi pada elite/ tokoh politik antara satu Parpol dengan Parpol lain, dan dijumpai antara elite/ tokoh politik internal Parpol itu sendiri. Tergantung dari dinamika politik yang sedang berkembang, dan kepentingan perseorangan dibalut dalam kepentingan visi, misi, tujuan Parpol.
Teori Konflik dikembangkan Karl Max, masyarakat dilihat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang mampu memicu konflik dan perubahan sosial. Konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok yang sedang berkuasa dan dikuasai.
Sementara pemikiran Lewis A Coser, konflik terjadi merupakan perjuangan atas nilai-nilai dan tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang langka/ terbatas dengan tujuan menetralkan lawan atau menghilangkan saingan. Sedangkan Max Weber berpendapat persaingan antara kelompok sosial atau individu akibat perbedaan nilai, status dan rasa kehormatan pribadi biasanya mengarah kepada penguatan kekuasaan yang sedang digenggam atau proses merebut kekuasaan.
Konflik kelas timbul, karena adanya pertentangan kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Hal ini, terjadi persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas dari masing-masing Parpol dalam mencalonkan kader. Apakah kader lompat pagar, atau kader karbit, sehingga memenuhi persyaratan Bacalon anggota legislatif setiap Dapil.
Penyebab konflik antara individu maupun antara kelompok, bahwa konflik dinilai sebagai suatu bentuk positif perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian penilaian. Biasa terjadi perbedaan kekuasaan, perebutan sumber daya, perbedaan ras, budaya, dan agama, serta perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok.
Bisa terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Jadi, konflik terjadi dalam masyarakat, organisasi, bahkan Parpol, karena interaksi sosial disosiatif, terdapat pihak yang bertentangan harga diri, martabat, identitas, dan berakhir pada kebencian.
Kuota Perempuan Bacalon
Parpol peserta Pemilu Tahun 2024 merupakan Parpol yang telah ditetapkan/l ulus verifikasi oleh KPU pada tanggal 14 Desember 2022. UU No 7/2017 tentang Pemilu, Pasal 246 ayat (2) ”Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan.”
Hal ini, dipertegaskan dalam PKPU No 10/2023, Pasal 8. Sering terjadi persepsi dan pemahaman antara KPU dan Parpol berbeda dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil. Bila menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai a) kurang dari 50 (lima puluh), hasil perhitungan dilakukan pembulatan ke bawah, b) 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungannya dilakukan pembulatan ke atas.
Perhitungan kuota perempuan setiap Dapil berimplikasinya yaitu 4 (empat) Caleg perempuan berdasarkan aturan lama karena hasil hitungannya 1.2 (dibulatkan ke bawah). Sedangkan berdasarkan PKPU No 10 Tahun 2023, maka perempuan minimal 3 (tiga) Bacalon anggota legislatif.
Jika, 7 (tujuh) Caleg sebelumnya perempuan boleh hanya 2 (dua) karena hitungan 2.1, maka perhitungan baru minimal 3 (tiga) perempuan. Sementara 11 (sebelas) Caleg sebelumnya perempuan boleh hanya 3 (tiga) karena hasil perhitungan 3.3, maka berdasarkan PKPU tersebut minimal 4 (empat perempuan). Jadi, bukan melihat komposisi calon laki-laki 2 (dua) 1 (satu) perempuan, tetapi menggunakan rumus perhitungan seperti di atas.
Kehadiran perempuan dalam Pemilu dapat berperan aktif seperti menjadi penyelenggara Pemilu di berbagai tingkatan, dan keterlibatan dalam Parpol terutama sebagai Caleg. Mereka cerdas dalam berperan aktif memperjuangkan aspirasi masyarakat, khususnya mewakili Dapilnya. Rendahnya partisipasi perempuan di lingkaran politik, karena kebanyakan kendala kultural dan agama menganggap efek dari peran gender. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 575 orang anggota yang duduk di DPR RI periode 2019-2024 hanya 120 orang wakil rakyat kalangan perempuan. Jumlah ini, baru mencapai 20,87 persen dari anggota DPR RI hasil Pemilu legislatif 2019. Sisanya 455 orang anggota DPR RI dari kaum laki-laki.
Jumlah perempuan di legislatif ada kenaikan dalam setiap Pemilu. Anggota DPR RI perempuan berkurang menjadi hanya 58 orang (11,6 persen) pada Pemilu 1997, namun kembali berkurang menjadi 44 orang (8,8 persen) pada Pemilu 1999. Kembali meningkat menjadi 65 orang perempuan pada Pemilu 2004, jumlah tersebut bahkan kembali bertambah menjadi 100 orang (17,86 persen) pada Pemilu 2009.
Bila membandingkan dengan negara yang menganut satu sistem kamar tertinggi Rwanda 61,3 persen, Kuba 53,4 persen, Uni Emirat arab 50 persen, Nikaragua 48,4 persen, Selandia Baru 48,3 persen, Meksiko 48,2 persen, Swedia 47 persen, Andora 46,4 persen, dan Bolivia 46,2 persen.
Mengapa representasi perempuan sangat penting di legislatif di zaman arus informasi dan keterbukaan yang pesat. Peran perempuan dalam posisi kepemimpinan senior merubah stereoptip gender dengan menyediakan panutan perempuan dalam berkarya, khususnya di bidang legislatif. Kemudian, bagaimana perempuan berpartisipasi aktif dalam legislatif. Setiap warga negara mempunyai hak mengambil bagian dalam keputusan yang akan mempengaruhi sikapnya. Artinya bagaimana perempuan menempatkan dirinya setara dengan laki-laki meraih suara pemilih. Berkompetiter yang sehat, menghindari politik uang (money politics), dan politik kebencian, sehingga menghindari perpecahan yang berkepanjangan dalam kehidupan sosial masyarakat.(*)