JALAN Baiturrohman Kelurahan Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang Kota Malang saksi bisu ganasnya agresi militer I Belanda. Jejak perjuangannya masih tampak sampai sekarang.
=====
Pasukan Belanda dan sekutunya tiba-tiba masuk Tlogowaru. Mereka mencari pasukan Mobile Brigade (Mobrig) atau sekarang dikenal Brimob Polri. Itu terjadi 10 November 1947. Pertempuran mempertahankan Kemerdekaan RI pun terjadi.
Tetua kampung tersebut Hadi Khoirudin menceritakan kisah perjuangan pasukan Mobrig itu selalu dikenang.
Mulanya pasukan Mobrig bersembunyi sekaligus membangun basis pertahanan di kawasan Tlogowaru. Pasukan Belanda
mulai merangsek ingin menguasai Malang.
“Saat itu, londo (pasukan Belanda) masuk tiba-tiba, membakar seluruh rumah di kampung. Karena tahu, kalau di sini sempat jadi persembunyian tentara pejuang (Mobrig),” cerita kakek yang akrab disapa Abah Maridin itu.
Kisah yang didapat Abah Maridin ini diceritakan kakek dari istrinya yang bernama Mbah Naridja. Kepada Abah Maridin, Naridja menceritakan peristiwa tersebut.
Meskipun Mbah Naridja sudah meninggal, namun ceritanya masih dikenang sampai saat ini. Abah Maridin mengatakan, bahwa Mbah Naridja ini merupakan keluarga dari korban sipil tragedi tersebut yang bernama Alim.
Ia tewas saat bersembunyi di tumpukan kedelai, yang ada di gudang rumahnya.
“Tiba-tiba pasukan penjajah ini langsung membakar rumah di kampung tersebut satu per satu. Hingga seluruh kampung ini hangus dilahap api,” ceritanya.
Serangan itu membuat pasukan Mobrig harus kembali mundur ke wilayah Malang di bagian selatan. Sementara pasukan yang luka-luka jadi tahanan Belanda. Mereka yang meninggal kemudian dimakamkan, setelah pasukan Belanda pergi dari kawasan Tlogowaru.
“Untuk mengenang gugurnya para pahlawan ini, bekas rumah masyarakat sipil yang jadi korban meninggal dijadikan sebuah masjid. Kemudian, masjid itu diberi nama Baiturrohman sebagai simbol perjuangan, kekuatan dan nasionalisme. Ini menjadi cikal-bakal nama Jalan Baiturrohman,” cerita kakek berusia 80 tahun ini.
Untuk mengenang peristiwa itu, dibangun sebuah monumen di lokasi tersebut. Di monumen itu tertulis 12 nama yang gugur di medan pertempuran. Mereka dari satuan Brimob Polri. Yakni Agen Polisi Tingkat I (AP I) Abdul Rachman, AP I Sukardi, AP II Soebadi, AP II Selo, AP II Ponidjan, AP I Amat, AP II Koeskaeni, AP II Diman, AP I Abdul Madjid, AP II Imam dan AP II Satelim. Terdapat pula seorang warga sipil bernama Alim.
Penjaga Monumen Perjuangan Polri, Sutiyo mengatakan sampai saat ini monumen tersebut masih sering jadi lokasi peringatan. Khususnya saat HUT Brimob yang diperingati setiap 14 November, dan Hari Bhayangkara yang diperingati pada 1 Juli.
“Saya di sini yang bagian membersihkan dan merawat. Kalau untuk cat, alat dan biaya saya diberi oleh pihak Brimob di Malang ini. Selain itu, di sini juga sering anggota TNI dan Polri ikut kerja bakti merawat monumen,” jelasnya.
Pemerhati sejarah Kota Malang, Agung H Buana mengatakan bahwa Malang merupakan salah satu sasaran Agresi Militer Belanda I yang dimulai sejak 21 Juli 1947. “Tujuan Belanda karena ingin menguasai kembali Indonesia termasuk daerah-daerah strategisnya. Salah satunya merupakan wilayah Malang,” jelasnya.
Belanda menganggap Malang wilayah yang subur dan memiliki nilai ekonomi tinggi. “Tanaman seperti kopi dan tebu tumbuh dengan baik di sini. Sebab itulah, tentara Belanda juga ingin menguasai wilayah Malang,” tambah Agung.
Tepat di tanggal 26 Juli 1947, tercatat tentara Agresi Militer Belanda I telah memasuki Lawang. “Hingga akhirnya terjadi peristiwa Malang Bumi Hangus termasuk di wilayah Tlogowaru dan pertempuran Jalan Salak (Pahlawan TRIP),” jelasnya.
Ia menyebut peristiwa di Tlogowaru adalah hal yang luar biasa. Karena para korbannya adalah anggota polisi, yang merupakan bukti penting sejarah.
“Melalui monumen ini, para generasi muda serta masyarakat bisa tahu, bahwa kepolisian turut serta memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” tandasnya.
Monumen Perjuangan Polri Telogowaru ini terdiri dadi patung obor dengan kobaran api menyala. Ditambah logo Roda Kompas Brimob, dengan latar belakang relief cerita perjuangan dan lambang Polri. Monumen tersebut diresmikan Kapolri kala itu Letjen Polisi Anton Soedjarwo, 28 Desember 1983. (rex/van)