.
Wednesday, December 11, 2024

Perundungan Stop, Pendidikan Top

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Kekerasan anak yang kerap terjadi harus menjadi alarm keras bagi pendidikan nasional. Karena seharusnya sekolah menjadi ekosistem yang nyaman serta aman bagi seluruh warga sekolah, terlebih bagi anak didik. Kasus kekerasan yang terjadi pada siswa di salah satu sekolah menengah pertama di Cilacap akhir-akhir ini menjadi pukulan keras bagi kita semua.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1945 bahkan menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Karena anak sebagai generasi muda penerus cita-cita bangsa mempunyai peran strategis dalam pembangunan Negara, sehingga wajib dilindungi dari perlakuan yang tidak manusiawi.

Perlindungan anak dari segala macam bentuk kekerasan juga diakui secara internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1989 telah mengeluarkan Konvensi tentang hak-hak anak (United Nations Convention On The Rights of The Child) yang mengatur tentang jaminan perlindungan dan terlaksananya hak-hak anak. Namun demikian, perlindungan dan penegakan hak anak-anak di Indonesia nyatanya masih sering terabaikan bahkan kekerasan terhadap anak masih terjadi di lingkungan sekolah.

Ironisnya, alih-alih mengagendakan keamanan bagi siswa, justru kekerasan semakin bertumbuh, munculnya sejumlah peristiwa kekerasan baik yang dilakukan oleh guru kepada siswa, siswa kepada guru atau orangtua kepada guru, dan tidak terkecuali siswa terhadap siswa, sebagaimana yang terjadi pada kasus salah satu SMP di Cilacap akhir-akhir ini.

Banyaknya kasus yang terjadi di lingkungan sekolah telah mencederai nilai luhur dari cita-cita pendidikan Nasional. Dan nampaknya filosofi bahasa Jawa yang seringkali digaungkan dalam lingkup sekolah kini mulai pudar. Istilah guru: digugu lan ditiru tampaknya telah lenyap seiring kasus-kasus negatif yang terjadi.

Guru yang seharusnya mendidik, membimbing, hingga mengevaluasi siswanya, kini memiliki peran yang lebih berat lagi, karena perilaku positif seorang guru kadangkala tidak lagi dijadikan rujukan bagi implementasi dalam kehidupan. Padahal sudah jelas dalam Pasal 20 huruf d Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) menyatakan “dalam melaksanakan tugasnya guru wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika”.

Namun kini pasal tersebut sudah mulai luntur bahkan hancur dimata siswa, belum lagi jika yang melakukan sebuah kekerasan adalah dari oknum guru sendiri, maka selain melanggar UU Perlindungan Anak juga melanggar Kode Etik Profesi Guru sebagaimana diatur dalam UU Guru dan Dosen.

Dimanapun, terutama di lingkungan sekolah, tindakan kekerasan dapat menimbulkan dampak yang sangat besar bagi perkembangan peserta didik, misalnya seperti hilang rasa percaya diri dalam belajar, terutama ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru karena takut salah, selain itu kreativitas mereka menjadi terhambat, mereka menjadi malas mencoba dan berbagai macam dampak buruk yang lainya.

Nampaknya diperlukan penegakan hukum pidana dalam kasus kekerasan terhadap anak di sekolah, agar pelaku baik dari guru, orangtua maupun siswa menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar norma dan etika tersebut. Selain itu, tenaga pendidik berkewajiban memberi contoh yang baik bagi semua warga dilingkungan sekolah.

Tindak kekerasan yang terjadi di sekolah, telah menimbulkan banyak kerugian. Bukan hanya materi yang hilang, tetapi terkadang nyawa tak jarang melayang. Keresahan yang terjadi menjadi fenomena sekaligus membuat banyak pertanyaan. Sebenarnya, masalah apa yang membuat anak-anak bangsa yang mengaku agen perubahan menjadi ganas dan beringas? Bukankah setiap saat mereka mendapatkan pelajaran nilai-nilai moral dan agama? Bahkan tidak sedikit yang menyebut sebagai generasi masa depan bangsa?

Fenomena kekerasan dalam lembaga pendidikan seolah memberikan gambaran bahwa kita sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan diri terutama emosi. Bangsa ini tumbuh tidak hanya menjadi bangsa yang miskin pengetahuan, tetapi juga mengalami kemerosotan nilai-nilai moral.

Bahkan bisa dibilang telah kehilangan kepekaan terhadap sesama, kasih sayang, penghargaan, dan budaya malu. Nilai-nilai kemanusiaan telah hilang, sebaliknya yang tumbuh adalah jiwa dan watak yang keras. Permusuhan tumbuh subur dan bahkan menjadi dendam yang terus menerus membara dalam ingatan.

Begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi dalam duni pendidikan kita. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Tahun 2021, tercatat ada 15.914 kasus kekerasan pada Anak di Indonesia. Terdapat 1.944 kasus kekerasan pada anak usia 1–5 tahun dan 4.892 kekerasan pada anak usia 6–12 tahun. Sementara itu, 9.000 lebih kasus kekerasan terjadi pada anak usia 13–17 tahun. Data tersebut pada tahun 2021, bagaimana jika digabung hingga tahun 2023? bisa jadi lebih banyak lagi. 

Kita semua bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam dunia pendidikan, terlebih bagi yang terlibat dalam dunia pendidikan terutama seorang guru. Dalam semboyan pendidikan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu: ing ngarso sung tulodo (di depan kita memberi contoh), ing madya mangun karso (ditengah membangun prakarsa dan bekerjasama), tut wuri handayani (di belakang memberi semangat dan dorongan).

Maka kita perlu kembali kepada cita-cita luhur pendidikan dengan mencerdaskan, baik cerdas secara spiritual maupun emosional, sehingga generasi anak bangsa menjadi lebih kuat dan bermartabat. Semoga tidak ada lagi kekerasan yang terjadi dilingkungan sekolah yang banyak memberikan dampak negatif. Semoga bermanfaat. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img