Setiap orang bebas menentukan pilihannya masing-masing dan setiap orang bebas untuk mengunggulkan pilihannya tersebut, begitu pula dalam hal belajar terutama belajar agama. Namun dalam hal belajar agama, ini tentu berbeda dengan belajar ilmu-ilmu lain sebab mempelajari agama tujuannya adalah untuk hal-hal akhirat.
Apakah jalan yang ditempuh itu benar akan tergantung pada proses belajarnya sudah benar ataukah tidak. Ketika jalan yang ditempuh benar maka tujuan akan tercapai, namun jika jalannya tidak benar maka tujuan sulit untuk dicapai. Begitu kira-kira rumus simpelnya.
Karena jalannya yang tidak sembarangan, maka belajar agama harus benar-benar tepat pilihan jalannya. Salah satu jalan yang selama ini banyak ditempuh oleh masyarakat adalah belajar agama di pesantren. Pesantren kerap juga disebut dengan istilah “pondok”, sehingga orang yang sedang belajar agama di pesantren diistilahkan dengan orang yang “mondok.”
Pesantren menjadi salah satu lembaga pembelajaran agama yang banyak dipercaya masyarakat sudah sejak lama bahkan sampai sekarang. Begitu juga dalam tradisi keluarga saya, pesantren masih menjadi lembaga yang paling terpercaya untuk menempuh bangku pembelajaran. Tidak hanya dalam urusan agama bahkan juga untuk pembelajaran ilmu lainnya.
Ada banyak hal yang menjadikan pesantren tetap dipercaya oleh masyarakat, namun terlepas dari itu, orang-orang banyak mengibaratkan pesantren sebagai sebuah penjara yang suci. Seperti halnya penjara yang memberikan kesan “mengungkung” seseorang, ada banyak peraturan yang ada di pesantren yang wajib diikuti oleh para santri.
Namun peraturan-peraturan itu diterapkan semata adalah untuk membina sikap beragama santri agar menjadi semakin kuat dan lebih baik. Itulah kenapa pesantren disebut sebagai penjara suci.
Seperti kata pepatah ala pesantren yang sering saya dengar dulu bahwa man kana awwaluhu kepaksa maka akan bisa. Sejumlah peraturan yang memaksa atau bahkan memenjara kita itu tujuannya adalah untuk menggembleng keagamaan kita agar benar-benar menjadi kuat.
Meski memang akan ada banyak cerita pelanggaran-pelanggaran yang sangat seru sebagai sebuah pengalaman, namun yang saya rasakan bahwa peraturan dalam belajar agama memang sangat diperlukan agar lebih memaintenance tanggung jawab kita akan ajaran-ajaran agama.
Dalam benak saya, dengan model pembelajaran pesantren yang dikatakan seperti penjara suci itu, orang mondok itu ibarat seperti orang yang naik angkutan umum. Bagaimana letak analoginya? Oke, mari saya jelaskan. Orang naik angkutan umum pasti mempunyai suatu tempat yang akan menjadi tujuan perjalanan mereka.
Ketika kita dari Madura ingin pergi ke Jogja maka kita akan naik angkutan umum seperti bus, kereta, atau bahkan pesawat dengan Jogja sebagai tujuan akhirnya. Orang naik angkutan umum ada banyak faktornya, salah satunya karena tidak mempunyai kendaraan atau bahkan tidak mengerti jalan menuju arah tujuan. Dengan naik angkutan yang tepat, meski tanpa kita tahu dan hafal jalan menuju tujuan kita pasti akan sampai karena sopir akan mengantar pada kota yang kita tuju.
Begitu pun dengan orang yang mondok di pesantren sama seperti orang yang naik angkutan umum. Orang mondok pasti ada sesuatu yang dituju yakni jalan yang benar dalam beragama yang akan membawa pada keselamatan di dunia akhirat. Pengasuh pesantren ibarat ‘sopir’ yang akan menuntun para santri ke jalan yang benar.
Sebagaimana orang naik angkutan umum, mereka tidak diperbolehkan keluar hingga sampai di tujuan masing-masing. Penumpang tinggal duduk dan mereka akan keluar angkutan ketika sudah sampai di tujuan. Ini ibarat mondok di mana santri juga tidak diperbolehkan keluar pondok dan harus mengikuti aturan-aturan yang ada.
Berbeda ketika orang bepergian tidak naik angkutan umum. Mereka bebas naik dan turun kendaraan sesuka hati dan mereka bebas memilih jalan mana yang akan ditempuh namun sampai dan tidaknya di tujuan akan tergantung jalan mana yang mereka tempuh selama perjalanan.
Orang yang naik angkutan umum memang tidak boleh keluar dan turun sesuka hati dari kendaraan, itu ibarat aturan yang ada di pesantren harus diikuti dan memang cenderung mengekang. Namun sebagai gantinya, mereka akan diantar oleh sopir ke tempat yang menjadi tujuan.
Para santri akan dituntun untuk berjalan di jalur yang benar oleh kiai yang menjadi pengasuh pesantren. Orang yang tidak mondok bebas memilih jalur mana yang akan dilalui dalam beragama, namun sampai dan tidaknya juga bergantung pada jalan apa yang akan dipilih. Cepat dan tidaknya sampai pun akan bergantung pada jalur mana yang menjadi pilihan.
Perkara mau naik angkutan umum ataukah kendaraan pribadi adalah pilihan masing-masing tergantung pertimbangan kondisi dan situasi. Ketika memang tidak tahu arah jalan menuju tujuan maka lebih baik naik angkutan umum meski memang tidak bisa keluar masuk dan berhenti sesuka hati.
Tetapi bila memang tahu arah jalan dan mempunyai kendaraan sendiri, maka dipersilahkan untuk menggunakan kendaraan pribadi. Sama seperti mondok dan tidak mondok. Ketika tidak tahu bagaimana cara belajar agama yang benar maka lebih baik mondok. Meski memang pesantren seperti sebuah penjara dengan sejumlah aturan, tapi santri akan diarahkan untuk berjalan di jalan yang benar yang juga dilalui oleh para kiai sebagai pengasuh pesantren.
Ketika memang sudah mengerti ke arah mana jalan yang benar, maka dipersilahkan untuk tidak mondok dan mencari ilmu agama secara mandiri di manapun. Banyak jalan menuju Roma. Banyak jalan juga dalam hal belajar agama. Yang terpenting adalah mana jalan yang bisa mengantarkan orang sampai ke tujuan dengan selamat.(*)