.
Sunday, December 15, 2024

Pikiran Global, Realitas Lokal

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Masih terngiang dengan jelas lagu “Begitu sulit lupakan Rehan, apalagi Rehan baik…” Lagu ini juga sayup-sayup terdengar hampir di setiap kelas pada saat maupun setelah pembelajaran berlangsung. Saat pelajar ditanya oleh guru, “Kenapa kok menyanyikan lagu itu terus?”, kemudian mereka menjawab bahwa lagu itu disenandungkan secara refleks, seolah telah terpatri di alam bawah sadar mereka. Apakah ini fenomena terbaru yang dialami generasi Zillenial (Gen Z)?

Fenomena ini terjadi di kalangan pelajar dikarenakan mereka sudah sangat familiar dengan konten yang sedang viral di media sosial. Pelajar di jenjang sekolah ini masuk dalam Generasi Zillenial, atau sering disebut Gen Z.     Penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga TikTok dipenuhi oleh berbagai generasi. Jika Facebook lebih sering digunakan oleh Gen X, maka TikTok lah yang didominasi oleh Gen Z (Firamadhina dan Krisnani: 2021).

Menurut Errela (2022), mereka yang masuk dalam Gen Z ini kerap dikenal sebagai generasi yang up to date pada hal-hal yang sedang viral di media sosial atau internet. Mereka juga dikenal cukup mahir dalam mengoperasikan internet dalam segala hal seperti hiburan, belajar dan juga bekerja. Keterikatan Gen Z pada internet dan gadget dianggap layaknya kebutuhan pokok yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.

Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ada 210,03 juta pengguna internet di dalam negeri pada periode 2021-2022. Jumlah itu meningkat 6,78 persen dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebesar 196,7 juta orang. Hal itu pun membuat tingkat penetrasi internet di Indonesia menjadi sebesar 77,02 persen.

Melihat usianya, tingkat penetrasi internet paling tinggi di kelompok usia 13-18 tahun, yakni 99,16 persen. Posisi kedua ditempati oleh kelompok usia 19-34 tahun dengan tingkat penetrasi sebesar 98,64 persen.

Tingkat penetrasi internet di rentang usia 35-54 tahun sebesar 87,30 persen. Sedangkan, tingkat penetrasi internet di kelompok umur 5-12 tahun dan 55 tahun ke atas masing-masing sebesar 62,43 persen dan 51,73 persen (Bayu, 2022).

Berdasarkan survei APJII ini, pengguna internet terbesar adalah usia anak sekolah. Hal inilah yang menyebabkan pelajar masa kini lebih banyak menggunakan internet, termasuk media sosial, dalam kehidupan sehari-harinya.

Bruce Tulgan and Raunmaker Thinking, Inc (2013) membagi lima tren formatif utama yang membentuk Generasi Z, yang membedakannya dengan generasi sebelumnya, antara lain:

Pertama, Media sosial adalah masa depan. Gen Z berada di era revolusi teknologi informasi, sedangkan generasi sebelumnya di era transisi. Gen Z tidak pernah mengenal dunia di mana seseorang tidak dapat melakukan percakapan dengan siapa pun di mana saja dan kapan saja. Mengelola Generasi Z membutuhkan penguasaan alat media sosial. Tetapi guru maupun orang tua harus mengambil kendali. Kuncinya adalah penggunaan media sosial yang didorong oleh instruksi.

Kedua, Hubungan manusia lebih penting dari sebelumnya. Pendekatan pengasuhan, pengajaran, dan konseling yang sangat terlibat kepada kaum muda dipercepat secara dramatis dari generasi sebelumnya ke Gen Z. Gen Z cenderung tidak menolak hubungan otoritas dari generasi sebelumnya, tetapi hanya akan berhasil bagi individu ketika mereka terlibat dalam hubungan pembelajaran yang intensif.

Ketiga, Kesenjangan keterampilan. Gen Z ini akan lebih menderita dari kesenjangan yang tumbuh antara yang sangat terampil dan tidak terampil. Kesenjangan keterampilan teknis sangat besar, tetapi kesenjangan keterampilan nonteknis bahkan lebih meresap.

Keempat, Pikiran global, realitas lokal. Gen Z tahu lebih banyak tentang bagian-bagian dunia yang jauh daripada yang pernah dilakukan generasi sebelumnya, tetapi mereka cenderung tidak terlalu suka bertualang secara geografis.

Mereka sangat terhubung dengan dunia tanpa batas secara online tetapi kunci untuk melibatkan mereka dalam lingkungan mereka secara taktis adalah fokus tanpa henti pada lokal.

Kelima, Keanekaragaman yang tak terbatas. Gen Z cenderung tidak jatuh ke dalam kategori yang diakui sebelumnya dan lebih mungkin untuk memodifikasi berbagai komponen identitas dan sudut pandang yang menarik bagi mereka. Mereka selalu menciptakan montase pilihan kedirian pribadi mereka sendiri.

Dari hal tersebut, maka terjadi kesenjangan antara Gen Z dengan generasi sebelumnya yang notabene adalah guru mereka. Maka perlu adanya tindakan yang dapat menjembatani kesenjangan ini.

Menurut Rakhmah (2021), pada konteks pendidikan, pemahaman tentang karakteristik setiap generasi menjadi penting untuk menentukan bagaimana strategi pendidikan yang efektif diberikan kepada pelajar. Tujuannya tidak sekadar capaian akademik dan pedagogik pelajar, tetapi juga bagaimana proses pendidikan dapat menumbuhkan karakter dan kecintaan pelajar terhadap aktivitas belajar.    Saat ini, sebagian besar dari Gen Z berada pada usia sekolah. Ini berarti, penyesuaian sistem belajar dalam ruang-ruang pendidikan kita harus mempertimbangkan karakteristik Gen Z agar sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa mengesampingkan minat dan habituasi mereka sebagai sebuah kelompok generasi.

Proses belajar harus bersifat mandiri, demokratis, dan membuka ranah yang luas bagi penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam pembelajaran. Guru perlu menciptakan iklim belajar yang mampu membangun self regulationpada diri pelajar.

Pelajar juga perlu lebih banyak dilatih untuk realistis tentang kehidupan dan masa depannya nanti. Guru juga perlu menyampaikan secara terbuka peluang, tantangan dan juga hambatan yang mungkin nantinya akan membuat pelajar memerlukan upaya lebih untuk mencapai cita-cita yang mereka impikan.

Dengan berbagai upaya tersebut, pendidikan diharapkan mampu memberikan masukan tentang hal-hal rasional yang perlu Gen Z lakukan dalam kehidupan mereka, pada saat ini dan juga nanti.(Rakhmah, 2021).         Selain itu juga, mereka merasa bahagia jika guru mau mendengarkan isi curhatan mereka. Jika pelajar bahagia, maka materi yang akan disampaikan guru akan lebih bermakna diterima oleh sang pelajar. Daya adaptasi guru terhadap karakteristik Gen Z inilah yang bisa menjembatani kesenjangan (gap) antara sang pengajar dan pelajarnya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img