Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
Peribahasa “Kalah Cacak, Menang Cacak” bisa diartikan bahwa dalam berkompetisi menjadi kalah atau menang itu hal biasa, yang penting sudah dicoba. Dalam kaitan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada), kalah atau menang sebagai sesuatu yang lumrah. Yang penting para pasangan calon (paslon) sudah mencoba dan mengadu keberuntungan. Yang menang akan senang dan yang kalah jadi susah. Inilah kontestasi, pasti ada yang menang dan kalah, pasti ketemu juaranya.
Proses Pilkada serentak telah melewati tahapan pemungutan suara pada, Rabu, (27/11/2024) kemarin. Rakyat yang mempunyai hak pilih telah datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menyalurkan suaranya melalui bilik pencoblosan. Dalam kontestasi Pilkada serentak ini ada yang memilih paslon gubernur dan wakil gubernur serta paslon walikota dan wakil walikota, atau bupati dan wakil bupati.
Pilkada sebagai perwujudan pesta demokrasi diharapkan berlangsung meriah, demokratis, bermartabat, berintegritas, dan minim kecurangan. Selain itu, Pilkada juga diharapkan tetap menjaga prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil). Partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan hak suaranya dan turut melakukan pengawasan partisipatif juga menjadi hal penting yang perlu terwujud dalam Pilkada.
Dalam setiap kontestasi, termasuk dalam Pilkada, pasti akan muncul pemenangnya. Walaupun bisa jadi ada hasil yang sama imbang atau sama kuat, akan tetapi pada proses berikutnya, pasti akan diperoleh satu pemenang. Semua paslon, partai pendukung, tim sukses, dan para simpatisan pasti menginginkan kandidat yang didukungnya menang. Namun, semua harus menerima kenyataan jika realita yang terjadi tak selalu sesuai harapan.
Legawa, Jangan Jumawa
Siapapun yang ikut berkontestasi tentu sudah memperhitungkan beragam risiko. Mereka yang sudah berani mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada pasti sudah siap kalah dan siap menang. Bagi paslon yang menang mungkin tak banyak masalah. Namun bagi yang kalah, terkadang sangat sulit menerima kenyataan atas kekalahan yang terjadi. Tak jarang, paslon dan semua tim pendukung tak mampu segera move on.
Sikap bijak yang perlu dikedepankan dalam menyikapi kontestasi Pilkada adalah yang kalah hendaknya bisa menerima kekalahan dengan lapang dada (legawa). Sementara yang menang hendaknya tak sombong dan arogan (jumawa). Sikap legawa ini menjadi penting dikedepankan dalam upaya mewujudkan pesta demokrasi yang berlangsung demokratis, bermartabat, berintegritas, dan luber jurdil.
Proses Pilkada yang berlangsung tanpa kecurangan akan membuat semua pihak dapat menerima hasil kontestasi dengan baik. Namun kalau Pilkada berjalan out off the track, maka bisa menyulut ketidakpuasan masyarakat. Rasa ketidakpuasan karena ada kecurangan biasanya akan membuat yang kalah sulit bisa legawa. Menerima sebuah kemenangan, apalagi kekalahan, memang tak mudah. Yang menang akan tergoda untuk lupa diri hingga lepas kontrol tanpa mempertimbangkan perasaan pihak yang kalah.
Sang pemenang akan cenderung jumawa. Sementara menerima sebuah kekalahan juga bukan persoalan mudah. Menang atau kalah dalam setiap kontestasi merupakan hal yang wajar. Untuk itu perlu kebesaran hati dan jiwa kedua belah pihak. Semua pihak harus mampu menahan diri. Euforia kemenangan yang berlebihan bisa membuat luka pihak yang kalah. Yang terpenting adalah bagaimana sang pemenang mampu merangkul yang kalah. Bagi pihak yang kalah pun dengan kebesaran hati bisa legawa.
Merajut Kebersamaan
Dalam politik sejatinya tak ada lawan yang abadi. Bisa jadi saat berkontestasi di antara para kandidat adalah lawan politik. Namun, saat salah satunya ditetapkan sebagai pemenang, maka pihak yang kalah bisa dirangkul dan bergabung dalam satu gerbong yang sama. Saat kontestasi pemilihan presiden 2019 lalu, antara Jokowi dan Prabowo adalah rival. Setelah Jokowi dinyatakan sebagai pemenang, Prabowo bisa bergabung jadi salah satu menteri di kabinet Jokowi.
Inti dari Pilkada adalah pesta rakyat. Siapapun yang menang esensinya adalah kemenangan seluruh rakyat. Namun tak dapat dipungkiri bahwa dalam kontestasi Pilkada telah terjadi perpecahan. Saat kampanye masing-masing pendukung tak jarang saling serang, terutama di media sosial (medsos). Tak jarang persaudaraan dan pertemanan jadi renggang gara-gara beda pilihan paslon gubernur, walikota, atau bupati.
Apa yang sudah terkoyak gara-gara Pilkada harus segera dirajut kembali. Pilkada adalah pesta demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat. Maka Pilkada tak boleh mencederai rakyat. Untuk itu bagi semua yang sempat berseteru karena berseberangan pilihan politiknya, maka sekarang saatnya bersatu kembali.
Ini tugas semua pihak, terutama para paslon, politisi parpol, dan semua pendukung. Bagi pemenang kontestasi Pilkada hendaknya mampu menjadi sarana untuk menyatukan masyarakat yang sempat terbelah saat proses Pilkada.
Semua harus lapang dada menghadapi kenyataan. Menjunjung rasa persatuan dan kesatuan bangsa harus yang utama. Kalau dalam kontestasi Pilkada ada yang terpecah, maka sekarang saatnya yang terkoyak itu dirajut kembali. Semua harapan yang dititipkan oleh rakyat hendaknya menjadi komitmen sang pemimpin terpilih untuk mewujudkannya. Jangan khianati rakyat dengan mengingkari janji-janji politik yang pernah disampaikan saat kampanye.
Dipilih atau memilih dalam Pilkada adalah hak semua warganegara yang telah memenuhi syarat. Ketika para kandidat sudah mencoba mencalonkan diri sebagai paslon Pilkada sejatinya itu hak mereka. Para kandidat itu sudah mencoba menawarkan diri, visi, misi, dan program kerja mereka untuk rakyat.
Kalau ternyata mereka belum mendapat kepercayaan dan amanah rakyat untuk memimpin maka itu sebagai hal yang lumrah. Yang terpenting sudah pernah mencoba; Kalah Cacak, Menang Cacak.(*)