spot_img
Wednesday, August 6, 2025
spot_img

Polemik Royalti Lagu, Hotel dan Resto Setop Live Music

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Gonjang-ganjing soal kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran lagu di tempat usaha, seperti kafe dan restoran, membuat pengusaha kuliner di Kota Malang resah. Mereka mengaku belum mendapat sosialisasi maupun kejelasan aturan yang mengatur praktik tersebut.

Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Kota Malang, Indra Setyadi, menyatakan hingga kini para pelaku usaha masih kebingungan soal pedoman hukum pemutaran lagu di tempat usaha.

“Kami sangat menghargai hak kekayaan intelektual. Tapi untuk aturan pemutaran lagu yang sampai dikenakan royalti, kami belum tahu secara pasti. Sosialisasi pun belum pernah kami terima,” kata Indra kepada Malang Posco Media, Senin (5/8) kemarin.

Menurutnya, hal paling mendasar yang belum dijelaskan adalah spesifikasi lagu yang dikenai royalti, skema pembayaran, hingga besaran tarif yang harus dibayarkan pelaku usaha.

“Bagaimana jika musisi hanya menyanyikan lagu orang lain? Apakah semua lagu dikenakan royalti? Besarannya bagaimana? Itu semua belum pernah dijelaskan secara formal,” imbuhnya.

Karena itulah, Apkrindo mengimbau para pengusaha untuk sementara waktu mempelajari aspek hukum royalti musik sambil menunggu kebijakan dan regulasi resmi dari pusat.

Di sisi lain, beberapa pengusaha kuliner mulai mengambil langkah ekstrem. Ketua PHRI Kota Malang, Agoes Basuki, menyebut sejumlah restoran di kawasan Kayutangan dan titik wisata lain memilih menghentikan live music untuk menghindari masalah royalti.

“Banyak restoran merasa keberatan dengan tarif yang dianggap terlalu tinggi. Akhirnya mereka memilih stop live music,” ujar Agoes.

Berbeda dengan hotel berbintang, mayoritas hotel bintang tiga ke atas di Kota Malang disebut sudah terdaftar di LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dan rutin membayar royalti.

“Hotel-hotel umumnya sudah patuh. Tapi untuk resto dan kafe, perlu pendekatan berbeda karena skala usahanya lebih beragam,” tambahnya.

PHRI akan segera mengajukan usulan ke DPP agar skema tarif royalti bisa disesuaikan dengan kemampuan pelaku usaha.

Sementara itu, pemilik Kafe Bunker Gedong Ijen, Dewi Utari, memilih langkah berbeda. Ia memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat lagu orisinal sendiri yang diputar di kafenya.

“Kami pakai Suno AI untuk menciptakan lagu sendiri. Jadi tidak ada masalah royalti karena bukan lagu pihak lain,” ungkap Dewi.

Langkah ini dinilai bisa menjadi solusi alternatif di tengah minimnya sosialisasi dan belum jelasnya regulasi royalti musik. (ica/aim)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img