Tuesday, September 23, 2025
spot_img

Politik di Ujung Jempol

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Politik Indonesia saat ini tidak lagi hanya berkutat pada ruang sidang parlemen atau pidato panjang di atas podium. Justru, politik kini terasa lebih dekat dalam genggaman kita—di layar ponsel, lewat unggahan media sosial, dan percakapan daring yang bisa menjangkau ribuan orang hanya dengan satu klik. Fenomena Gerakan 17+8 menjadi bukti nyata bahwa politik telah menemukan panggung barunya: dunia maya.

          Tulisan ini tujuannya sederhana, berbagi sudut pandang tentang bagaimana Gerakan 17+8 dapat dilihat dari kacamata komunikasi politik dan bagaimana gerakan digital ini menyingkap wajah baru hubungan antara rakyat dan kekuasaan.

Kepercayaan pada Parlemen Menurun

          Kepercayaan publik terhadap parlemen semakin menurun. Survei-survei independen menunjukkan citra lembaga wakil rakyat kerap berada di titik rendah, terjebak dalam kasus korupsi, permainan elit, serta kebijakan yang dianggap jauh dari kepentingan masyarakat. Akibatnya, rakyat merasa suara mereka tidak lagi sampai.

          Di titik inilah media sosial mengambil peran penting. Facebook, Twitter (X), Instagram, hingga TikTok menjadi arena alternatif tempat masyarakat bisa bersuara. Tidak perlu menunggu panggung resmi atau undangan rapat dengar pendapat—cukup unggah sebuah poster digital atau cuitan singkat, ribuan orang bisa langsung terhubung, berdiskusi, bahkan bergerak bersama.

          Gerakan 17+8 muncul sebagai bentuk kritik terbuka terhadap situasi politik saat ini. Ia merangkum 17 tuntutan utama dan 8 tambahan aspirasi rakyat. Isinya mencerminkan keresahan banyak kelompok: menolak revisi UU yang melemahkan KPK, menolak RKUHP yang dianggap bermasalah, menolak RUU Pertanahan yang berpotensi merugikan petani, mendesak penyelesaian konflik Papua, menghentikan kriminalisasi aktivis, hingga menuntut penegakan HAM yang lebih adil.

          Tambahan aspirasi meluas ke isu-isu yang menyentuh kehidupan sehari-hari: pendidikan, kesehatan, kebebasan pers, dan jaminan lingkungan hidup. Semua ini menunjukkan bahwa gerakan digital tidak hanya bicara soal politik tingkat tinggi, tapi juga soal kebutuhan dasar masyarakat.

Dari Hashtag ke Identitas Bersama

          Yang membuat gerakan ini menarik bukan hanya isi tuntutannya, tapi juga cara penyampaiannya. Media sosial memungkinkan komunikasi politik yang lebih partisipatif, horizontal, dan instan. Seperti yang disebutkan oleh Blumler & Kavanagh (1999), gaya komunikasi politik di era modern bergeser menuju komunikasi interaktif yang mendorong partisipasi publik, bukan lagi model satu arah yang dominan di era media lama. Hal ini sangat terlihat dalam dinamika Gerakan 17+8.

          Pertama, Penyebaran narasi dan validasi. Setiap unggahan, komentar, atau retweet menjadi bentuk legitimasi. Dukungan tidak lagi harus hadir dalam rapat fisik, cukup dalam bentuk like atau share. Kedua, Pembentukan identitas kolektif. Warna pink dan hijau yang ramai dipasang di foto profil menjadi simbol solidaritas. Tanpa bertemu langsung, ribuan orang merasa terhubung oleh tanda visual yang sama.

          Ketiga, Mobilisasi partisipasi publik.Perubahan foto profil massal hanyalah satu contoh bagaimana partisipasi digital bisa menghadirkan rasa kebersamaan dan kekuatan simbolis. Keempat, Pengaruh budaya digital.Hashtag populer, desain template yang viral, dan gaya komunikasi santai menjadi bagian dari budaya politik baru di era internet.

          Kelima, Konformitas sosial dan FOMO. Banyak warganet ikut serta karena takut tertinggal. Fenomena Fear of Missing Out ini justru memperkuat mobilisasi, membuat gerakan semakin besar.

Ruang Publik Baru

          Filsuf Jürgen Habermas pernah mengemukakan konsep public sphere, ruang di mana masyarakat bisa membicarakan isu-isu publik secara terbuka. Kini, media sosial menghadirkan versi modern dari gagasan itu. Facebook, Twitter, dan Instagram bukan hanya ruang hiburan, melainkan juga arena politik.

          Manuel Castells (2012) dalam bukunya Networks of Outrage and Hope menyebut fenomena seperti ini sebagai bentuk digital activism, di mana jaringan sosial daring memungkinkan individu biasa membangun gerakan kolektif yang mampu menekan aktor politik formal.

          Yang menarik, di ruang digital ini batas antara rakyat dan elit melebur. Siapa pun bisa bicara, siapa pun bisa mengkritik, siapa pun bisa menyusun narasi. Partisipasi publik tidak lagi hanya diukur dari jumlah massa yang turun ke jalan, melainkan juga dari sejauh mana suara mereka terdengar di jagat maya.

Lebih dari Sekadar Protes Digital

          Gerakan 17+8 tidak bisa dipandang hanya sebagai luapan emosi sesaat. Ia adalah tanda bahwa komunikasi politik sedang bertransformasi. Dari ruang sidang yang formal, suara rakyat berpindah ke ruang digital yang cair dan dinamis. Dari simbol fisik seperti spanduk dan orasi, kini simbol visual berupa warna profil dan hashtag bisa memiliki kekuatan yang sama.

          Bagi banyak orang, bergabung dalam gerakan digital ini bukan sekadar ikut-ikutan. Ada rasa bahwa suara mereka, meski kecil, menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi ketidakadilan atau kebijakan yang dianggap merugikan.

          Gerakan 17+8 adalah cermin dari arah baru politik Indonesia. Ia menunjukkan bahwa rakyat bisa bersuara tanpa harus menunggu izin, tanpa harus takut kehilangan panggung. Dunia maya telah membuka jalan bagi demokrasi yang lebih partisipatif, meski tetap penuh tantangan.

          Kini, politik bukan lagi hanya milik gedung parlemen. Ia hadir di genggaman setiap orang, di jempol yang menekan tombol like, share, atau retweet. Di sana, suara rakyat tidak lagi hilang ditelan birokrasi, melainkan menggema, menyebar, dan siapa tahu mampu membawa perubahan nyata.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img