.
Wednesday, December 11, 2024

Politik Identitas (Agama): Konstitusionalisasi Politik Asas

Berita Lainnya

Berita Terbaru

‘Tragedi’ Al Maidah beberapa tahun silam yang kemudian menjadikan Ahok sebagai pesakitan, menjadi titik awal munculnya perdebatan tentang politik identitas. Walaupun sedari dulu politik identitas telah ada yang dimanefestasikan dalam asas partai politik.

          Namun politik identitas kini lebih massif dan secara terbuka menjadi menu utama pada hidangan meja politik nasional. Artinya tragedi Al Maidah tidak sekadar pesakitan bagi Ahok semata namun juga menjadi pesakitan bagi politik nasional.

          Setiap perhelatan politik (pemilu) bahkan hampir setiap hari bangsa Indonesia selalu disuguhi perdebatan tentang politik identitas khususnya politik identitas agama. Secara teoritis konstitusional politik identitas agama bukanlah barang haram. Politik identitas agama justru dilindungi oleh konstitusi. Politik identitas (agama) merupakan pengejawantahan dari pada politik asas yang dianut partai.

Landasan Konstitusional Politik Identitas (Agama)

          Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 merupakan finalisasi terhadap pembentukan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 78 tahun berlalu, finalisasi Pancasila sebagai dasar negara tidak serta merta menjadikan Pancaslia berhenti dari segala perdebatan.

          Realitas hari ini, mencuatnya politik identitas dalam politik praktis, seolah membawa bangsa ini kembali terhadap apa yang terjadi pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai. Sebagaimana diketahui, awal kemerdekaan Negara Indonesia ditandai perdebatan alot berkenaan dengan dasar Negara Indonesia.

          Hal ini terjadi karena adanya kubu (Islam) yang menginginkan Indonesia merdeka berlandaskan agama (Islam). Perbedaan pandangan paling menonjol kala itu adalah soal sila pertama yang ada pada Piagam Jakarta, Jakarta Charter.

          Pelajaran menarik yang perlu diambil dari perdebatan tentang dasar negara tersebut adalah adanya deliberation proccess of democration (demokrasi deliberative) oleh pendiri bangsa atas perbedaan pandangan dengan sebuah kesepakatan luhur.

          Pertanyaan yang muncul adalah bahwa modus vivendi dari pada dasar negara Indonesia telah final namun mengapa perdebatan tentang Pancasila masih terjadi? Ketika anak bangsa berdebat tentang Pancasila, mengapa selalu memperdebatkan sila pertama? Apakah ke-tidak-adilan, kemiskinan, penjualan aset negara bukanlah pelanggaran Pancasila?

          Pancasila sila pertama sedari dulu memang merupakan sila yang paling “seksi penuh reaksi.” Pancasila sila pertama tidak akan pernah berakhir dalam perdebatan selama sesama anak bangsa belum mampu memahami secara utuh. Bukan tanpa alasan jika hari ini sila pertama menjadi bahan perdebatan. Sebab secara historikal Pancasila sila pertama merupakan sila ‘compromize.’

          Perdebatan terhadap Pancasila akan muncul kapan saja seiring dengan munculnya kelompok tertentu dalam Islam yang menyuarakan penerapan syariat Islam di panggung politik praktis. Sehingga menjadi pertanyaan apakah ‘haram’ jika sekelompok dalam Islam tersebut menyuarakan bahkan memperjuangkan secara politik melalui pemilu dan parlement?

          Hans Nawiasky melalui teori norm meletakkan Pancasila dalam artianstaats fundamental norm untuk memahami Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (pasal 2 UU No. 12 tahun 2011). Sehingga hukum materiil menjadi pola bangunan produk hukum di setiap hierarki perundang-undangan dibangun atas nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.    Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum di antaranya adalah faktor agama, sosiologis, budaya dan lain sebagainya.

          Dengan demikian, merupakan kesalahan besar jika mempersoalkan atau melarang sekelompok orang atau partai politik menggunakan politik identitas agama yang memperjuangkan nilai-nilai agama untuk menjadi bagian dari produk hukum positif. Sebab agama adalah bagian dari sumber hukum yang berdiri atas dasar Pancasila.

          Ini sejalan dengan pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 bahwa Indonesia tidak bisa menjadi negara agama, tetapi jika orang-orang Islam ingin membuat hukum-hukum yang sesuai dengan agama Islam berjuanglah untuk merebut kursi-kursi di badan perwakilan rakyat. Begitu pun bagi orang-orang kristen dan golongan lainnya.

          Untuk menggambarkan pola relasi agama dan Pancasila, maka perlu memahami apa yang disebut dengan forum internumdanforum eksternum. Forum internum adalah hak beragama yang bersifat abstrak karena bentuknya adalah keyakinan dalam lubuk hati. Sedangkan forum eksternum merupakan manifestasi atas keyakinan berupa perwujudan ritualitas keagamaan.

          Berangkat dari pengertian tersebut maka sila pertama Pancasila sebagai forum internum dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagai forum eksternum. Implikasi kedua forum tersebut adalah adanya jaminan konstitusional warga negara untuk beragama.

          Makaforum internum adalah hak seseorang untuk meyakini/ memeluk atau tidak meyakini/ memeluk suatu agama. Di sisi lain, forum eksternum merupakan sebuah kewajiban seseorang untuk melakukan apa yang menjadi cita-cita atas keyakinannya.

          Forum eksternum merupakan pesan akan kewajiban ‘beragama.’ Sehingga Pancasila sila pertama dan pasal 29 ayat (2) adalah kewajiban warga Negara untuk ‘beragama’ yakni melaksanakan perintah untuk menjalankan syariat/ nilai-nilai agamanya dalam berbangsa dan bernegara. Baik secara individu maupun terlibat langsung dalam sistem politik dan pemerintahan untuk mewujudkan nila-nilai agamanya.

          Pidato Soekarno 1 juni 1945 yang mengisyaratkan bahwa Pancasila membuka ruang bagi setiap entitas di Indonesia untuk memberlakukan hukum-hukum berletter keyakinannya memberikan pemahaman bahwa tak ada persoalan bagi agama atau kelompok tertentu menerapakan hukum-hukum agama, budaya dan lainnya selama diperjuangkan melalui lembaga perwakilan atau dapat melalui Mahkamah Konstitusi.

          Dikabulkannya Judicial Review oleh beberapa warga negara agar identitas aliran kepercayaannya dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah bagian dari pada konsekuensi Pancasila sila pertama dan pidato Soekarno.

          Apa yang dilakukan oleh kalangan aliran kepercayaan, sejalan dengan sekelompok Islam yang memaknai panggung politik praktis sebagai jihad politik melalui pemilu untuk melakukan transformasi hukum kitab suci ke dalam hukum positive Indonesia sebagaimana yang diungkapkan Presiden Soekarno pada pidato 1 juni 1945.

          Dengan demikian, baik secara histori maupun bangunan politik hukum Indonesia, maka politik identitas agama tidak bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi. Politik identitas agama adalah politik asas, politik nilai.

          Partai politik lahir dengan asas, asas partai adalah identitas, memperjuangkan identitas adalah keharusan. Sehingga yang dibutuhkan hari ini adalah saling menghargai identitas masing-masing serta kedewasaan dalam menyikapi perbedaan identitas.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img