spot_img
Tuesday, July 1, 2025
spot_img

‘Politik Jatah Preman’ Perspektif Sosial

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Mendengar kata preman bulu kuduk merinding dan terasa ketakutan, jika tidak melakukan yang diinginkan. Preman seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan kriminal, membuat orang lain tidak menyenangkan, penodongan, pemerasan dan kekerasan. Gaya hidup mengedepankan tindakan merugikan orang atau kelompok lain.         

          Masyarakat mengindentifikasi preman adalah orang yang bertato dan cenderung menguasai wilayah atau daerah tertentu. Padahal “politik jatah preman”, juga dilakukan oleh para elite politik, parpol, intelektual, akademisi pada Pileg, Pilpres, dan Pilkada meminta jatah berkepanjangan.

          Politik jatah preman, apabila dikaitkan dalam prespektif sosial merupakan fenomena dan interaksi masyarakat, serta faktor-faktor sosial memengaruhi perilaku atau pemahaman secara individu. Juga konteks sosial di mana mereka berada. Pendekatan sosial, struktur kelas social, kebudayaan memengaruhi peluang, pilihan dan perilaku.

          Masyarakat, membantu menyelesaikan/ mengatasi masalah sosial seperti diskriminalisasi, kekerasan dan ketidaksetaraan. Kelompok sosial juga ikut berperan menjadi kelompok sosial sebagai landasan perilaku para preman.

          Bagaimana politik jatah preman memengaruhi kondisi dan keadaan politik baik di tingkat pusat maupun daerah (local). Tingkat pusat/ kota besar seperti “bara api” panas memengaruhi semua lini kehidupan. Elite politik, parpol, pemerintah, penguasa, legislatif menggunakan jasa preman meraih suara pemenang dalam pemilihan legislatif, presiden dan kepala daerah.

          Kelompok preman baik elite politik, intelektual, akademisi selalu membela penguasa, apabila mendapat kritikan dari orang atau kelompok lain. Walaupun pendapatnya itu keliru secara ilmiah (akademisi), tetapi penguasa membutuhkan stempelnya.

Bagi Jatah Politik

Menurut Ian Douglas Wilson, keberadaan geng, preman, milisi menjadi ciri melekat dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Masa orba, mereka digunakan sebagai alat menegakkan tertib sosial versi negara dan melanggengkan kekuasaan. Organisasi preman menggebuk para pengritik rezim mengatasnamakan Pancasila.     

Demokrasi 1998 tidak mengakibatkan lenyapnya kelompok-kelompok ini, melainkan mereka beradaptasi mencari celah dalam konteks politik yang berubah. Desentralisasi menguatkan unsur etnisitas atau kedaerahan sebagai landasan Ormas. Jenis Ormas-ormas jalanan melakukan pemburuan rente secara predator dengan klaim merespresentasikan kelompok sosial ekonomi yang terpinggir.

Perubahan antara kelompok pada taraf tertentu pihak berwenang dan kekuatan politik. Mengongsolidasikan kuasa kewilayahan di tingkat lokal kelompok-kelompok. Pada taraf tertentu berhasil merebut legitimasi tidak semata-mata dilandaskan pada tindakan pemalakan atau kekerasan. Demokrasi elektoral di Indonesia, mereka pun berhasil menjadi perantara antara politik informal jalanan dengan politik formal parlemen. Termasuk preman elite parpol, intelektual, akademisi memanfaatkan posisi meningkatkan daya tawar-menawar. Dunia politik formal memanfaatkan layanan mereka sangat memengaruhi masa depan kehidupan sosial politik di Indonesia.

Pemerintah pusat membagi politik jatah preman mengakomodasikan para parpol koalisi, mendukung pemerintah membagikan jatah menteri, wakil menteri dan utusan khusus. Sedangkan untuk mereka yang memenangkan Pileg, Pilpres diberi jatah Preskom Independen BUMN, staf ahli menteri, juru bicara istana, duta besar dan konsulat. Hal ini dilakukan untuk menepati janji politik meraih kekuasaan.

Efisiensi anggaran, malahan kabinet membengkak, staf ahli, deputy diangkat di setiap kementerian. Jelas gaji, fasilitas dan prasarana untuk mereka dana membengkak. Itu hanya retorika politik, padahal masyarakat susah mencari pekerjaan, PHK di mana-mana, kemiskinan, pengangguran semakin melebar, rakyat hidup di kolong jembatan dan pinggiran sungai. Ini, potret yang ditampilkan setiap hari tidak menciptakan, membuka dan mencari lapangan kerja.

Di daerah-daerah, semakin terang-terangan baik preman liar, preman elite, intelektual, akademisi masuk sebagai grup pemenangan Paslon kepala daerah. Setiap preman menguasai wilayah tertentu dengan membawa pengikut, mendukung dan memberikan suaranya, termasuk Ormas-ormas. Hal ini, terjadi dalam praktik pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat. Membutuhkan suara sebanyak-banyaknya sebagai pemenang, legitimasi dan dukungan masyarakat.

Kepala Daerah Berguguran

Praktik politik jatah preman di tingkat pusat mungkin bisa bertahan koalisi Parpol, tanpa Parpol “oposisi” di luar pemerintahan sedang berkuasa. Menjatuhkan pemerintah pusat agak sulit, karena di DPR/MPR semua orangnya. Mereka sudah memperoleh politik jatah balas budi. Sedangkan di daerah, bisa terjadi kepala daerah berumur dua atau tiga tahun berguguran dari kedudukannya.

Hal ini, disebabkan jatah preman elite parpol, intelektual, akademisi, kurang dicukupi oleh gebernur, bupati dan walikota, harus mengayomi banyak jasa kemenangan dalam meraih kepemimpinannya. Gaji kepala daerah, tunjangannya semua orang tahu untuk kehidupannya masih kurang. Apalagi, membiayai orang atau kelompok yang telah berjasa dalam pemenangannya.

Dana dikumpulkan untuk membagi jatah, akhirnya dari proyek APBD/APBN, perizinan dan kebijakan lain berbau siluman. Kepala daerah, memutar otaknya mencari dana sebanyak mungkin untuk menyuplai kepada para politik jatah preman. Proyek-proyek diciptakan para konsultannya, memasukkan ke dalam APBD.

Kemudian mereka bisa mengerjakan atau di bawah tangan memperoleh fee sebesar 15-20 persen. Gubernur/Bupati/Walikota memecah-mecahkan proyek sebanyak mungkin untuk Penunjukan Langsung (PL) Perpres No 12/2021 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebesar Rp 200 juta ke bawah.

Berani menolak permintaan para politik jatah preman elite parpol, intelektual, akademisi dengan membagi-bagikan pekerjaan. Mereka menjadi broker atau pialang kuasa, perpanjang tangan pemerintah, bahkan bagian perjuangan revolusi. Gubernur, bupati, walikota tidak mampu menahan/membatasi keinginan mereka, diperkirakan waktu 2-3 tahun akan melakukan korupsi besar-besaran.

Para elite parpol, intelektual, akademisi meninggalkannya apabila ada kasus korupsi. Jalan keluarnya, sistem Pemilu Pileg/Presiden/Kepala Daerah harus ditinjau kembali, sehingga lebih leluasa dalam berekspresi dan menerima serapan kebutuhan masyarakatnya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img