Hasbullah Masudin Yamin
Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang
Perbincangan tentang politik tidak akan pernah berhenti, semua orang tanpa mengenal tahta dan pendidikan semuanya dapat bicara politik. Mungkin karena politik sebagai cabang ilmu pengetahuan sosial sehingga setiap orang dapat berbicara politik. Bagi yang berlatar akademik atau berpendidikan ilmu politik akan berbicara tentang teori atau idealisme politik yakni bagaimana politik dapat berperan pada kesejahteran.
Namun hal yang berbeda dapat kita jumpai pada masyarakat awam atau yang tidak memiliki pengetahuan politik. Pada kelompok masyarakat ini mereka akan berbicara politik pada konteks realitas yang mereka rasakan, alami, baca dan amati. Ketika kedua kelompok ini bertemu dan memperbincangkan politik maka sulit mememukan titik temu tentang bagaimana seharusnya politik memainkan perannya.
Suatu ketika, penulis kedatangan tamu dari kampung, seorang ibu dengan dua orang anaknya. Kira-kira berumur 7 tahun dan 5 tahun. Dalam sebuah perbincangan sebagaimana tuan rumah menerima tamu, tiba-tiba sang anak berusia 5 tahun menangis minta pulang.
Sang ibu yang belum selesai menyelesaikan perbincangannya mencoba menenangkan anak tersebut dengan tawaran akan dibelikan roti dan es ketika pulang nanti. Mendengarkan cara seorang ibu menenangkan anaknya yang sedang menangis, sang kakak langsung menyela dengan mengatakan kepada adiknya dengan menggunakan bahasa Kedang (salah satu bahasa daerah di Kabupaten Lembata-NTT). Sang kakak mengatakan kepada adiknya: “kara percaya, mama litik o ne” (jangan percaya, mama ‘litik’ kamu). Mendengar ungkapan tersebut penulis yang juga menggunakan bahasa daerah yang sama tergelitik dengan perbendaharaan kata baru dalam terminologi bahasa daerah setempat yang sebelumnya penulis tidak pernah mendengar. Kata baru yang penulis sendiri tidak paham adalah kata “litik.”
Penulis pun bertanya, kira-kira begini percakapan kami:
Saya : apa litik itu?
Anak: Litik to..!! (logat bahasa Indonesia ala Lembata)
Saya : bahasa apa itu?
Anak: bahasa Kedang
Saya : litik itu apa?
Anak: Politik to..!!
Saya : artinya apa?
Anak : Bohong!
Akhirnya, penulis memulai memahami maksud dari kalimat sela sang kakak tersebut ke adiknya untuk mengatakan bahwa janji seorang ibu agar jangan menangis nanti pulang akan dibelikan roti adalah janji politik yang berkonotasi bohong.
Secara sosiologis penemuan perbendaharaan kata baru beserta makna yang terkandung di dalamnya adalah akibat dari realitas sosial yang biasa terjadi. Politik dimaknai sebagai bohong tidak terlepas dari realitas yang ada di tengah masyarakat. Seorang anak kecil sebagai cerita di atas tidak akan mengatakan bahwa politik adalah bohong tanpa adanya pola relasi dan komunikasi atau percakapan di lingkungan di mana seorang anak tersebut bersosialisasi.
Atau dengan sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat sesungguhnya telah memaknai politik sebagai bohong sehingga menjadi instrumen percakapan yang terus digunakan yang kemudian diserap oleh anak kecil sebagai kebenaran.
Kita tidak ingin fenomena sosiologis melahirkan kesepakatan baru tentang sebuah terminologi politik dengan makna bohong. Sebab, jika ini jadi kesepakatan sosial masyarakat setempat maka dikhawatirkan universitas, akademisi, politisi dan segala hal yang berkaitan dengan politik dimaknai sebagai bohong.
Misalnya kita tidak ingin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menjadi Faklutas Ilmu Sosial dan Ilmu bohong, Dosen Ilmu Politik menjadi Dosen Ilmu Bohong, Partai politik menjadi Partai Bohong yang melahirkan politisi bohong atau sebaliknya, pembohong dikatakan sebagai politisi.
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa munculnya terminlogi beserta makna baru di tengah pergaulan masyarakat tidak terlepas dari pola interaksi, relasi dan komunikasi yang muncul akibat pembacaan realitas sosial yang mereka alami, amati, dan rasakan.
Hal ini terjadi karena masyarakat mengukur/ menilai dan menaruh pandangan bahwa para pejabat politik (non appointee)yang lahir dari rahim partai politik melalui mekanisme pemilu tidak menempati janji-janji politik saat kampanye.
Mengapa politisi dapat berkata dan berbuat bohong ketika telah menempati jabatan politik atau setelah terpilih saat pemilu? Jawabannya sangat sederhana, yakni karena antara politisi dan masyarakat sama-sama tidak paham data.
Para politisi berkampanye menyampaikan visi misi dan program kerja tidak berdasarkan data. Masyarakat pun tidak memiliki dan/ atau memahami data. Sehingga yang terjadi adalah para politisi menyampaikan visi misi dan program kerja bersifat halusinasi, tidak terukur sehingga ketika menjabat tidak mampu menempati janji karena sumber daya pada jabatan yang ia emban tidak sesuai dengan apa yang ia janjikan.
Berbagai teori politik dapat diakses melalui buku dan internet, semua pada kesimpulan yang sama bahwa politik sesungguhnya bertujuan melahirkan pemimpin untuk kebaikan bersama. Kesimpulan sederhananya bahwa politik adalah relasi antara kuasa dan kesejahteraan.
Politic is about power, the beginning of politic is interest and the top is policy(politik adalah tentang kekuasaan, politik berawal dari kepentingan dan puncaknya adalah kebijakan). Bahwa setiap orang yang berpolitik praktis memiliki kepentingan berupa cita cita, gagasan dan strategi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarkat sehingga ia perlu meraih kekuasaan yang dengan kekuasan tersebut digunakan untuk implementasi gagasan melalui kebijakan-kebijakan guna mewujudkan common interest (kebaikan bersama/ kesejahteraan).
Oleh karena itu, guna memurnikan terminologi politik, semua elemen yang berkecimpung dalam dunia politik baik keilmuan maupun praktis perlu melakukan ‘serangan balik’ agar jangan sampai terminologi politik bermakna bohong menjadi kesepakatan sosial dan menjadi kebenaran.
Namun demikian, apapun makna terminologi politik di masyarakat, politik tetaplah politik. Selama masih ada sekelompok manusia di muka bumi, politik akan tetapada. Seperti halnya kacang panjang, biar pun pendek, dipotong, dicincang akan tetap namanya kacang panjang. Itulah politik. Tugas moral kita semua adalah berusaha memurnikan kembali makna politik.(*)