.
Friday, November 22, 2024

POLITIK STRATEGI PARPOL DALAM AMANDEMEN UUD 45

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – HIRUK PIKUK masalah rencana amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) di ranah publik.  Para pakar tata negara, politik, hukum, pemerhati, dan anggota masyarakat mencampuradukkan amandemen dan Pemilu. Tidak menjelaskan secara rinci bagaimana membedah tentang amandemen dan Pemilu. Kita harus meletakkan kedua persoalan ini pada landasan yuridis, sehingga alur pikiran berjalan terarah.

UU 1945 telah diamandamen sebanyak 4 (empat) kali. Pertama tanggal 19 Okober 1999, kedua tanggal 18 Agustus 2000, ketiga tanggal 9 November 2001, dan keempat tanggal 10 Agustus 2002. Semuanya pada saat Prof. Dr. H. Amien Rais menjabat Ketua MPR RI. Pimpinan Partai Politik (Parpol) menghembuskan wacana amandemen UUD 1945 dan penundaan Pemilu. Hal ini, menjadi isu hangat yang diperbincangkan kalangan masyarakat. Ada yang setuju ada yang tidak setuju. Bahkan mahasiswa melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia di bawah satu komando melakukan aksi demo serentak tanggal 11 April di Jakarta dan beberapa tempat lainnya.

Risiko Amandemen

UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di negara Indonesia. Hakiki tujuan amandemen yaitu 1) untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai perlindungan maupun jaminan HAM, 2) menyempurnakan aturan dasar mengenai tata negara, 3) menyempurnakan aturan dasar mengenai pelaksanaan ataupun kedaulatan rakyat, 4) dapat menyempurnakan aturan penyelenggara negara demokratis atau modern, 5) melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara, dan 6) menyempurnakan dasar negara mengenai kehidupan berbangsa atau bernegara.

Bukannya tanpa risiko amandemen UUD 1945. Risiko dapat terjadi, karena amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR apabila isu diangkat dengan alasan yang tidak relevan atau menjadi isu masyarakat. Risiko adanya terdeteksi sejumlah kelemahan sistematika dan substansi UUD paska perubahan inkonsisten. Terjadinya sejumlah kerancuan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas. Amandemen UUD 1945 tidak mudah dapat memancing pertumbuhan budaya taat pada konstitusi dan terjadi konflik horizontal.

Masyarakat mengkhawatirkan presiden dan wakil presiden tiga masa jabatan. Pertama, potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan harus semua elemen melakukan pengontrolan yang ketat. Kedua, tidak ada regenerasi kepemimpinan. Padahal pemimpin-pemimpin baru banyak yang berpotensi, sebaiknya diberi kesempatan oleh Parpol kepada anggota/kadernya, dan ada pemimpin yang tidak bergabung dengan Parpol.

Konsep Politik Trias Politika adalah pemisahaan kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tetapi di Indonesia tidak sepenuhnya,  menerapkan prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power). Sistem pemerintahan adalah hubungan fungsional antara lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan untuk menjaga kestabilan negara, masyarakat di berbagai bidang kehidupan dalam waktu panjang.

Amandemen Tidak Tabu

Mengubah pasal- pasal yang ada dalam UUD 1945 tidak tabu/dianggap suci/tidak bisa disentuh, asalkan sesuai aspirasi masyarakat yang berkembang serta situasi dan kondisi negara. Semua warga negara memiliki hak untuk mengusulkan amandamen, tetapi melaui sistem, mekanisme, dan prosedur yang telah diatur UU.

Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.” Hal ini, sebelum anggota MPR mengusulkan perubahan terlebih dahulu dibahas pada tingkat Parpol dengan mekanisme yang diatur oleh masing-masing Parpol. PKB, PAN, Golkar yang mengusulkan amandemen telah menjaring/menerima usulan dari konstituennya. Sedangkan yang diusulkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dan Menteri Koordinator Bidang Kemaratiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mewakili masyarakat yang mana, karena mereka bukan kader/anggota Parpol. Keduanya mempunyai catatan khusus, kemudian diajukan kepada Parpol.

Perubahan pada Pasal 7 UUD 1945 “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya satu kali masa jabatan.” Apakah masa jabatan presiden dan wakil presiden empat tahun, lima tahun, dan enam tahun terserah kesepakatan MPR. Pasal 37 ayat (3) “Untuk mengubah pasal-pasal dalam UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.” Sedangkan ayat (4) “Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.” Pasal 37 khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.”

Jika Pasal 7 berhasil diubah, maka dengan sendirinya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, juga akan berubah. Pasal yang berubah adalah Pasal 167 ayat (1) “Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.” Apakah empat tahun, lima tahun, enam tahun sekali. Mungkin  saja untuk merubah UU Nomor 7 Tahun 2017 prosesnya panjang, maka presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengatasi hal tersebut.

Strategi Parpol

Parpol mempunyai strategi melontarkan isu amandemen dan penundaan Pemilu, sehingga mendapat tanggapan dari masyarakat pada umunnya, termasuk Parpol yang lain, pakar ketatanegaraan, pakar hukum, sosial politik, dan pemerhati. Walaupun, Persiden Jokowi menegaskan tetap memegang teguh Konstitusi UUD 1945 terkait dengan masa jabatan presiden.

Jika dipaksa oleh kalangan Parpol dan legislatif di MPR mengubah Pasal 7 dan disetujui, maka presiden terpaksa harus mengeluarkan Perppu mengatur UU Pemilu. Jokowi bagaimanapun harus mengikuti keputusan MPR. Siapa yang disalahkan dalam hal ini, presiden atau MPR. Kedua lembaga ini memegang kewenangan yang tidak dapat “diintervesi” secara teoritis. Tetapi, di balik itu terjadilah kesepakatan yang tidak diketahui oleh masyarakat. Ini namanya srategi dan taktik politik. Politik adalah persekongkolan, persekutuan beberapa elite/aktor Parpol mencapai tujuan dan kepentingan sesaat.

Peran aktor/elite politik bermain di ranah politik, memanuver suara konstituennya dan suara masyarakat. Apakah aktor/elite Parpol mampu menabuh genderang yang “memaksa” presiden harus menyetujuinya. Dikhawatirkan apabila masa jabatan tiga kali, maka kemungkinan pemerintahan Jokowi dirundung demo setiap saat dan presiden tidak dapat bekerja. Dapat berujung “dilengserkan” gerakan massa (people power) yang dimainkan oleh lawan politiknya. Kita melihat perkembangan selanjutnya.

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img