Judul tulisan ini mirip dengan lagunya Yura Yunita yang bertajuk “Dunia Tipu-Tipu” yang dirilis tahun 2021. Lagu Yura ini menarik dan relevan memotret kehidupan manusia di dunia saat ini, termasuk di dunia politik. Dalam penggalan bait lagu Yura berbunyi “Di dunia tipu-tipu, kamu tempat aku bertumpu. Baik, jahat, abu-abu, tapi warnamu putih untukku.” Inilah dunia tipu-tipu yang di dalamnya penuh dengan kepura-puraan. Persis dalam politik di negeri ini yang masih mengedapkan sikap saling jegal dan tipu-tipu.
Seperti telah diberitakan banyak media, dalam beberapa pekan terakhir ini, publik dihebohkan dengan sejumlah peristiwa politik. Misalnya, ada pimpinan partai politik (parpol) yang merasa ditipu atau diprank, karena sudah dijanjikan bakal digandeng jadi calon wakil presiden (cawapres) ternyata sang calon presiden (capres) malah deklarasi dengan cawapres lain. Kata netizen, pacarannya dengan si A, kok kawinnya dengan si B.
Partai yang kena prank itu merasa dipermainkan dan melakukan perlawanan. Hingga keluarlah sejumlah kata-kata seperti, penghianat, tak beretika, ingkar janji, musang berbulu domba, dan sejumlah kata-kata lain yang bermakna negatif. Inilah politik di negeri ini, masih sarat dengan aneka cara dan strategi yang tak semuannya mengedepankan etika politik yang santun. Dalam politik masih sering ditempuh dengan menghalalkan segala cara.
Dunia politik tanah air selalu menampilkan dua panggung, panggung depan dan belakang. Hari-hari ini para aktor dan aktris politik sedang bermain sandiwara di panggung depan politik jelang pilpres 2024 mendatang. Namanya juga sedang berada di panggung sandiwara, maka tipu-tipu dan saling jegal memang tak diharamkan. Yang penting bisa tampil sebagai sang pemenang. Dalam permainan politik ini memang tak ada teman dan lawan yang abadi. Bisa jadi yang awalnya sebagai teman, dalam sekejap bisa jadi lawan.
Dramaturgi
Dalam dunia politik saat ini, semua aktor politik dituntut pandai bermain peran. Sementara itu, masyarakat sebagai penikmat sandiwara politik hanya bisa tertawa terbahak-bahak ketika melihat sebuah peran yang kocak, bersedih, mabuk kapayang, atau beragam ekspresi seperti umumnya menikmati sebuah hiburan di panggung sandiwara. Dalam sebuah drama, semua aktor dituntut tampil memukau dan memikat semua penonton.
Menurut Irving Goffman, dalam teori dramaturgi, terdapat dua panggung yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dalam posisi ini, setiap individu dituntut menampilkan karakter tertentu di panggung depan di mana peran yang dimainkan tersebut bisa jadi berlawanan dengan karakter asli dirinya. Di sinilah muncul sebuah kebohongan karena sebuah laku yang sedang dimainkan seseorang sejatinya bukan citra diri yang asli.
Ketika dalam panggung pertunjukan asli drama, memang tak masalah para pemainnya menampilkan diri bukan sebagai aslinya. Dalam pertunjukan drama memang tujuan utamanya menghibur penonton, hingga dalam mencapai tujuan itu sah-sah saja dibuat rekayasa. Namun dalam kehidupan politik, tentu peran para aktor politik bukan berfungsi untuk menghibur rakyat.
Sang politisi, para pemimpin partai politik, dan sosok yang sedang ikut berkontestasi dalam pilkada, pileg, dan pilpres hendaknya menampilkan permainan politik yang jujur dan santun. Permainan politik yang lebih mengedepankan pencitraan demi tujuan tampil memukau di front stage bukanlah cara berpolitik yang baik. Panggung politik bukan layaknya panggung sandiwara yang bisa saja mengusung tema fantasi dan rekaan (fiksi) semata.
Dunia politik idealnya mengedepankan sebuah fakta yang jujur. Politik bukan ajang pembohongan dengan menyulap citra yang memesona. Kalau ternyata fakta sang politisi sosok yang buruk, maka harus diakui dengan legawa. Sang politisi bermasalah harus berkaca diri, dan bukan ketika buruk muka lantas cermin yang dibelah. Karena sehebat apapun keburukan itu ditutupi, akhirnya pasti akan terbongkar pula.
Pasar Malam
Suasana seperti di pasar malam juga serupa dengan dunia politik di negeri ini. Di pasar malam orang bisa lalu lalang keluar masuk arena. Demikian halnya dalam politik. Orang bisa keluar masuk dari satu partai ke partai lain. Dari satu koalisi berpindah ke koalisi lain. Kader partai tertentu dalam sekejap bisa lompat ke partai lain. Para artis dan figur publik, tiba-tiba masuk menjadi anggota partai. Orang berbondong-bondong datang menjadi kader partai, dan pada saatnya nanti tak jarang di antara mereka meninggalkan partai yang semula mengusungnya.
Beberapa partai politik telah lama meninggalkan cara berpikir dan bertindak yang substantif. Semua pemain politik tak punya pijakan ideologi bernegara yang kuat. Alhasil, mereka hanya berpikir sesaat, mengejar capaian kemenangan dalam kontestasi pilkada, pileg, dan pilpres. Dan ketika kemenangan itu sudah diraih, maka jadilah mereka lupa diri dan mengkhianati janji-janji politiknya seperti yang pernah dikumandangkan saat kampanye.
Semua penjual makanan dan panggung hiburan di pasar malam menilai barang dagangan dan atraksinya yang nomor satu. Persis bakul kecap. Tak ada pabrik kecap yang mau menyebut produknya sebagai kecap nomor dua atau tiga. Di pasar malam semua pemilik lapak menyatakan barangya yang terbaik, yang paling enak, murah, dan menghibur. Kalau toh kemudian para pembeli kecewa, itu bukan urusan.
Semua politisi dan partai politik menyatakan diri pro rakyat, peduli orang miskin, dan masyarakat tertindas. Dan konyolnya, kita pun terhibur dengan janji manis itu. Kita turut menikmati segala ulah badut-badut politik dan kita pun terbahak-bahak, nonton ulah para badut dalam atraksi yang ada di pasar malam. Harold D Laswell menyebutkan bahwa panggung politik hanya menjadi sekadar urusan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Untuk itu masyarakat harus melek politik. Semua warga negara tak boleh acuh tak acuh pada politik (apolitis). Semua harus cerdas dalam menyaksikan sepak terjang para politisi yang sedang berlaga dalam era politik yang layaknya panggung sandiwara ini. Tanpa kepedulian masyarakat, dunia politik akan semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi yang ideal. Kalau sudah demikian, tentu masyarakat juga yang rugi. (*)