Ketika mendengar istilah “tahun politik”, apa yang serta-merta tergambar dalam benak Anda? Pasti tidak ada jawaban tunggal. Ada yang memaknainya sebagai optimisme perubahan, karena kecewa dengan apa yang terjadi dalam situasi politik yang tengah berlangsung. Barangkali ada yang memaknainya sebagai peningkatan kewaspadaan dan kedewasaan sikap.
Pemaknaan seperti ini didasari oleh fakta bahwa pada tahun politik terdapat kecenderungan penguatan sektarianisme atas dukungan politik. Ada pula yang memandangnya sebagai hal biasa saja, karena itu adalah peristiwa yang terjadi secara rutin dalam siklus reguler.
Apapun makna “tahun politik” bagi berbagai kalangan, ada satu hal yang perlu disadari bersama, bahwa politik adalah sesuatu yang sangat cair. Setelah Surya Paloh secara resmi menyatakan Nasdem sebagai mesin politik bagi pencalonan Anies Baswedan sebagai presiden, saya berseloroh kepada beberapa kawan bahwa tak lama lagi akan terjadi gelombang migrasi penonton televisi.
Saat pertarungan kursi presiden tahun 2019 lalu, polarisasi massa politik jelas terjadi. Tak hanya pada wilayah calon pilihan, pembelahan sikap itu juga bisa nyata pada preferensi media.
Stasiun televisi TV One yang dianggap sebagai antitesa terhadap Metro TV, misalnya, menjadi saluran favorit pendukung Prabowo-Sandiaga Uno yang saat itu dicitrakan sebagai representasi umat Islam. Sementara Metro TV yang milik Surya Paloh dianggap sebagai corong pemerintah karena partai milik Surya mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai calon presiden dan wakil presiden. Ketika kedua pasangan calon itu bersatu dalam pemerintahan, polarisasi sikap tak juga mereda.
Kini, setelah Surya Paloh memilih sikap politik berbeda, memang tidak serta merta terjadi migrasi pendukung media. Jika pun terjadi, belum kelihatan secara massif. Namun yang semakin terang adalah migrasi sikap politik Metro TV pada pemerintah.
Metro TV secara terbuka kini lebih banyak menguliti kebijakan-kebijakan pemerintah, dan menawarkan narasi-narasi perubahan sebagai antitesa atas kebijakan atau situasi yang sedang terjadi hari ini. Begitu cairnya politik. Di sisi lain, politik yang cair itu juga tengah terlihat pada hubungan antarpartai politik.
Namun, cairnya politik ini ternyata berbanding terbalik dengan sikap masyarakat. Peristiwa-peristiwa politik dalam berbagai konteks, tingkatan dan motivasi; menunjukkan bahwa masyarakat cenderung beku dalam menghadapi situasi politik.
Kebekuan yang saya maksudkan di sini adalah kecenderungan mempertahkan sikap politik secara membabi buta yang dalam banyak kasus diiringi dengan sikap pekat dalam memandang kebenaran atau kesalahan sebuah posisi. Akibatnya, politik tidak lagi dilihat sebagai sarana untuk tujuan yang lebih subtil, tetapi justru politik itu sendirilah tujuannya.
Apakah sebenarnya tujuan politik itu? Sekali lagi tidak ada jawaban tunggal. Mengutip sebuah rumusan dalam What is Politics? Sebuah buku pengantar politik yang diterbitkan oleh The Open University, ada banyak definisi politik. Namun, ada dua rumusan yang menarik, yakni politics as conflict dan politics as (non-violent) method of conflict resolution.
Dua definisi sederhana ini menyatakan kontradiksi, di satu sisi politik mengandung unsur konflik, namun di sisi lain, politik juga merupakan metode non-kekerasan untuk menyudahi konflik. Maknanya, di situ ada tujuan mendasar, menciptakan kebaikan bersama.
Dua hakikat ini menjadikan politik sangat cair. Jika demikian lalu mengapa pembekuan sikap politik masyarakat terjadi? Ada dua faktor. Pertama, pengambilan sikap politik bukan atas dasar pencapaian kemakmuran atau kebaikan bersama, melainkan didasarkan pada pemenangan satu identitas atas identitas lainnya.
Fakta terang inilah yang sedang kita saksikan bersama-sama dalam panggung politik Indonesia kini. Tak bisa dipungkiri, penonjolan atau bahkan pelabelan calon tertentu dengan identitas tertentu terjadi di mana-mana. Dalam kosakata politik masa kini, inilah yang disebut dengan politik identitas.
Lalu identitas apa? Bisa apa saja. Akan tetapi yang paling berpotensi membekukan sikap politik adalah identitas yang memiliki daya common denomination tinggi, salah satunya adalah agama dan kesukuan. Dalam konteks agama adalah orientasi sempit dalam memaknai pesan universal agama. Jadi bukan agama yang menjadi faktor pembekuan sikap. Melainkan cara orang memahami agama dan bagaimana menempatkan hubungan agama dengan politiklah pangkalnya.
Faktor kedua adalah anggapan politik sebagai keyakinan dogmatis. Pernah terlibat sebentar dalam politik pemerintahan, menjadikan saya memahami bahwa politik untuk peraihan kekuasaan itu layaknya sepakbola saja. Siapapun tahu sepakbola adalah permainan. Namun demikian, para pemain sepakbola itu sungguh-sungguh dalam bermain.
Kesungguhan itu dalam dua hal, yakni membela tim di mana seorang pemain bergabung, dan pastilah mencetak gol demi meraih kemenangan tim yang dibela. Tetapi sekali lagi sepakbola adalah permainan. Jika dianalogikan dengan politik, maka mengetahui bahwa politik itu mengandung unsur permainan yang bersifat cair harus ditekankan. Tetapi pada saat yang sama, harus tetap bersungguh-sungguh dalam menjalankan permainan.
Dari sini, identifikasi aspek dinamis dan statis dalam politik harus ditempatkan. Aspek dinamisnya adalah pada strategi dan afiliasi. Sementara aspek statisnya adalah pada pengikutan aturan dan pemahaman tentang tujuan. Masyarakat kita hari ini bersikap beku menghadapi dinamika politik yang cair.
Akibatnya, fokus berpolitik atau sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi kenyataan politik bertumpu pada keyakinan buta yang menutup mata pada dinamika. Pada tingkat elit pencairan sikap, strategi, atau afiliasi dengan mudah bisa terjadi. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak mengubah polarisasi sikap di masyarakat.
Maka seringkali kita jumpai perbedaan sikap, pilihan atau respons politik dimaknai sebagai perbedaan pada level keyakinan asasi dalam beragama, misalnya aqidah. Akibatnya, perbedaan sikap politik dengan mudah bergerak ke level keimanan.
Maka, pendidikan politik harus terus-menerus dilakukan kepada masyarakat tentang hakikat politik, dinamika politik, tujuan politik, dan bagaimana seharusnya mengambil sikap politik di tengah kompleksitas suasana ini. Jika ini tidak terjadi, maka selamanya polarisasi sikap politik ini akan terus berulang, dan politik hanya akan menghadirkan pertarungan identitas dan kepentingan yang banal, tanpa peraihan tujuan dasar yang universal. (*/mpm)