Para politisi yang ikut kontestasi politik pemilu 2024 super sibuk tampil di media. Mereka berusaha membangun citra dengan memoles diri agar tampak sempurna. Tak sedikit yang beraksi di depan kamera demi tampil di televisi, YouTube, TikTok, dan aneka platform media sosial (medsos) yang lain. Tak jarang tampilan dalam aneka konten itu penuh rekayasa. Sang politisi tampil lebih secara cameragenic ketimbang auragenic.
Tak jarang politisi yang melakukan personal branding dengan kekuatan kamera. Mereka berakting di depan kamera guna membangun kesan mulia. Adegan yang ditata, senyum yang diatur, pakaian, dan aneka pernak-pernik dirancang guna mengusung pesan tertentu. Penggunaan peci, sarung, baju Koko, atau adegan lain dibuat dan dihitung dengan cermat guna mendapat kesan positif.
Para konsultan branding dan politik disewa demi upaya memoles citra. Dana besar disiapkan guna membeli jam tayang di media. Tak hanya muncul di media massa arus utama (mainstream media), beragam akun medsos juga jadi sasaran unggah konten sosok politisi yang sedang tebar pesona. Perilaku politik pencitraan diri itu pun semakin marak dan menjadi amunisi para kandidat agar menang dalam kontestasi politik.
Tak jarang upaya tebar pesona itu ditempuh dengan cara tipu-tipu belaka. Di antara mereka tak mengutamakan esensi, namun hanya sekadar pencitraan diri. Bukan adu gagasan dan program kerja yang ditawarkan, namun lebih pada umbar janji dan iming-iming belaka. Lewat kamera branding itu sang politisi tampil digdaya membujuk rayu pada semua yang menyaksikan agar terpesona, simpatik, hingga berujung pada loyalitas dukungan.
Camera Branding
Keberadaan kamera, baik untuk foto atau video, saat ini semakin menjamur. Aneka gadget juga selalu dilengkapi kamera. Para pengguna smartphone menggunakan kamera dalam perangkat telepon pintarnya. Banyak orang dengan gampang membuat swafoto (selfie), atau mendokumentasikan apa saja secara visual maupun audio visual.
Kamera menjadi barang yang banyak digunakan dan melekat erat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat kita semakin terbiasa baik sekadar ber-pose hingga melakukan akting alias berpura-pura di depan kamera.
Lewat kamera pula, tak sedikit orang melakukan camera branding, yakni mem-branding diri dengan perangkat kamera. Tak terkecuali dalam politik. Tak sedikit politisi yang melakukan camera branding. Prinsip branding yang digunakan dalam dunia bisnis juga dapat diterapkan dalam dunia politik.
Ini dikenal sebagai political branding atau personal branding. Political branding adalah strategi untuk membangun dan memperkuat citra dan identitas seorang politisi atau partai politik. Mirip dengan bagaimana upaya membangun citra dalam bisnis.
Dalam politik, citra dan branding yang kuat dapat memengaruhi pemilih dalam pengambilan keputusan mereka saat memilih kandidat atau partai politik. Oleh karena itu, politisi dan partai politik seringkali bekerja sama dengan tim ahli pemasaran dan komunikasi untuk mengembangkan strategi branding yang efektif. Camera branding digunakan sebagai teknik untuk mengangkat sebuah nama agar memiliki daya pengaruh yang lebih kuat dari sekadar nama biasa.
Political branding dengan kamera memungkinkan politisi untuk menyampaikan pesan, nilai, dan identitas politik mereka dengan cara yang lebih visual dan menggugah perasaan. Dengan strategi yang tepat, foto dan video dapat menjadi alat yang efektif dalam kampanye politik. Namun dalam peradaban kamera, siapa atau apa saja belum menjadi brand bila belum memiliki kekuatan cameragenic dan auragenic sekaligus.
Cameragenic vs Auragenic
Mengutip Rhenald Kasali (2013) dalam bukunya berjudul Camera Branding: Cameragenic vs Auragenic, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran tren dari cameragenic ke auragenic. Yang “laku” saat ini adalah mereka yang bisa menampilkan sesuatu yang asli, jujur, dan proporsional. Sejatinya di depan kamera tak ada gesturedancontent yang jujur kecuali candid/ hidden camera.Keaktoran para politisi atau penampilan fisik selebriti, semua tak genuine. Sehingga timbul kerinduan terhadap authentics, autentisitas atau sesuatu yang genuine, jujur, prososial atau bahkan altuism.
Munculnya sejumlah politisi pencitraan di televisi di dalamnya hanya akan menjadi cameragenic karena tak original. Karena semua proses terjadi dengan rekasaya dan kepura-puraan. Sejatinya dari tayangan televisi yang penuh rekayasa hanya akan menimbulkan kesadaran bahwa penampilan fisik bukan lagi hal yang menentukan pilihan. Justru interaksi antara sang politisi dengan masyarakat secara alami yang dapat mendongkrak citra positif sang sosok.
Sejatinya cameragenic lebih menekankan pada aspek kemampuan akting atau atraksi (attractiveness) subjek di hadapan kamera, karena hal itu akan menentukan apakah mata dan pikiran pemirsa ingin terus melihat atau cepat merasa bosan. Dengan kata lain, cameragenic merupakan kesan yang ditangkap secara manifest lewat tampilan fisik. Bisa dikatakan cameragenic lebih menampakkan kulit, bukan isi.
Sementara itu, auragenic adalah apa yang dirasakan pemirsa tentang sesuatu yang dilihat di layar kaca atau screen gadget. Auragenic tak bisa didapat dari objek yang diam. Karena media mendeteksi gerakan, suara, pendapat, dan respon seseorang maka ia menciptakan interaksi yang di dalamnya dibentuk rasa, apakah orang lain merasa nyaman atau tidak dengan kehadiran seseorang atau produk tertentu.
Kalau cameragenic sesungguhnya dapat dipelajari, tetapi auragenic hanya bisa dibangun dengan self awareness yang kuat. Menurut Rhenald Kasali (2013), terdapat sepuluh elemen yang harus diperhatikan ketika hendak membangun cameragenic dan auragenic, yakni authentic, unik, intangibles, fokus, gallery mindset, connected, meaningfull, consistently delivered, flavor, dan sustainable.
Peradaban kamera merupakan peradaban di depan lensa yang secepat kilat memantulkan citra, muncul, tayang, dan beredar di masyarakat. Peradaban kamera tak ada yang asli. Semua hanyalah akting kecuali pengambilan gambarnya hidden atau candid camera. Seperti halnya artis yang memakai bulu mata palsu atau politisi yang tebar pesona di depan kamera. Sejatinya semua dilakukan demi menciptakan dan menjual brand. Begitu! (*)