Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam politik ada banyak trik (tipuan). Jadilah politrik. Politik dengan banyak tipuan. Seperti halnya para pesulap, aneka tipuan dimainkan dengan sangat lihai agar penonton pertunjukan sulap terhibur dan tak sadar kalau mereka sedang ditipu. Demikian halnya dengan politik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Beragam trik itu dimainkan oleh para aktor politik demi mendapat simpati dan dukungan calon pemilih.
Dalam kompetisi apapun, termasuk dalam pertarungan Pilkada, menggunakan trik bisa jadi bagian dari strategi kemenangan. Pakai trik itu sah-sah saja. Dalam definisinya yang umum, politik bisa diartikan sebagai segala cara yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Karena segala cara, maka bisa jadi cara-cara itu termasuk cara tipu-tipu. Intinya, segala cara itu ditempuh sebagai upaya mencapai kemenangan.
Simak saja cara para kandidat yang ikut berkontestasi Pilkada. Tak jarang di antara mereka tebar pesona mainkan politik pencitraan. Mereka mengesankan diri lewat iklan politik di media, baliho, billboard, dan spanduk sebagai orang baik yang senantiasa membela rakyat. Melalui visual hasil tipu-tipu software olah visual, aneka foto pencitraan itu dipajang di pinggir jalan dan space iklan di media massa dan media sosial.
Trik agar menang Pilkada dilakukan kandidat, partai politik (parpol), dan tim sukses mulai dari tahap pra hingga pasca Pilkada. Tak jarang masyarakat dibuat bingung dengan atraksi sulapan permainan trik politik yang dipertontonkan sejumlah elit politik, parpol, dan tim sukses. Alih-alih mendapat pendidikan politik, yang ada masyarakat justru disuguhi aneka praktik politik beraroma tak jujur.
Trik lewat utak-atik UU Pilkada, reka-reka tentang syarat usia kandidat muncul dalam proses Pilkada. Untungnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan batas usia pendaftaran dan mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PPU-XXII/2024 terkait UU Pilkada. MK telah memutuskan batas usia dan mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah. Keputusan MK ini bisa mengurangi munculnya kotak kosong dalam Pilkada.
Politik Tipu-tipu
Seorang penyanyi, Yura Yunita membuat lagu bertajuk “Dunia Tipu-Tipu” yang dirilis tahun 2021. Lagu Yura ini relevan memotret kehidupan manusia saat ini. Dalam penggalan bait syair lagunya Yura bertutur “Di dunia tipu-tipu, kamu tempat aku bertumpu. Baik, jahat, abu-abu, tapi warnamu putih untukku.” Inilah dunia tipu-tipu yang di dalamnya penuh dengan kepura-puraan. Persis dalam politik di negeri ini yang masih mengedepankan trik dan tipu-tipu.
Masa jelang pendaftaran Pilkada pada 27-29 Agustus 2024 diwarnai aneka trik. Simak saja ada kader partai yang diberi angin segar bakal diusung parpol tertentu namun pada akhirnya dianulir. Ada pula kandidat yang tak diusung parpolnya sendiri dan harus mengiba mencari dukungan parpol lain. Muncul pula kandidat yang awalnya maju, namun tiba-tiba mundur, dan akhirnya maju kembali. Bisa jadi itu semua adalah bagian dari trik politik.
Bagi parpol juga mungkin kena tipu kandidat yang diusungnya. Dalam politik orang bisa keluar masuk dari satu partai ke partai lain. Dari satu koalisi berpindah ke koalisi lain. Kader partai tertentu dalam sekejap bisa lompat ke partai lain. Para artis dan figur publik, tiba-tiba masuk menjadi anggota partai. Orang berbondong-bondong datang menjadi kader partai dan pada saatnya nanti tak jarang di antara mereka meninggalkan partai yang semula mengusungnya.
Masyarakat awam pun tak jarang jadi korban laku tipu-tipu politik. Permainan politik model pencitraan dalam Pilkada sejatinya adalah realitas tipu-tipu. Karena realitas yang dibangun sang kandidat sering tak bersandar pada kenyataan atas apa yang telah mereka perbuat untuk rakyat. Rakyat banyak disuguhi realitas semu yang menipu.
Jangan Gampang Tertipu
Dunia politik tanah air selalu menampilkan dua sisi, panggung depan dan belakang. Hari-hari dalam proses Pilkada ini para aktor dan aktris politik sedang bermain sandiwara di panggung depan Pilkada. Namanya juga sedang berada di panggung sandiwara, maka tipu-tipu memang tak diharamkan. Dalam permainan politik memang tak ada teman dan lawan yang abadi. Bisa jadi yang awalnya sebagai teman dalam sekejap bisa jadi lawan.
Beberapa parpol telah lama meninggalkan cara berpikir dan bertindak substantif. Banyak pemain politik tak punya pijakan ideologi bernegara yang kuat. Alhasil, mereka hanya berpikir sesaat, hanya mengejar kemenangan dalam kontestasi politik. Ketika kemenangan itu sudah diraih, mereka lupa diri dan mengkhianati janji-janji politiknya seperti yang pernah dikumandangkan saat kampanye.
Semua politisi dan parpol menyatakan diri pro rakyat, peduli orang miskin, dan masyarakat tertindas. Dan banyak orang terhibur dengan janji manis itu. Tak sedikit orang yang turut menikmati ulah tipu-tipu para badut politik calon pemimpin itu. Harold D Laswell menyebutkan bahwa panggung politik hanya menjadi sekadar urusan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.
Untuk itu masyarakat harus melek politik. Semua warga negara tak boleh acuh tak acuh pada politik (apolitis). Semua harus cerdas dalam menyaksikan sepak terjang para politisi yang berlaga dalam Pilkada yang penuh tipu-tipu ini. Tanpa kepedulian masyarakat, dunia politik akan semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi yang ideal. Kalau sudah begitu, tentu masyarakat pula yang dirugikan.(*)