Saturday, March 1, 2025

Silaturrahmi ke Pondok Pesantren Salafiyah

Pondok Miftahul Falah Bungkuk Cikal Bakal Penyebaran Islam di Singosari

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA– Kecamatan Singosari terkenal dengan sebutan Kota Santri. Hal ini dikarenakan kecamatan yang berada di Kabupaten Malang Utara ini terdapat beberapa pondok pesantren yang setiap tahunnya bertambah. Seperti yang diceritakan oleh Kiai Ahmad Hilmi, adik kandung dari Almarhum KH Moensif Nachrowi, Jumat (28/2) kemarin.

Ditemui Malang Posco Media di kediamannya yang berada di Utara Masjid At-Thohiriyah, Bungkuk, Singosari, Kabupaten Malang. Ia menjelaskan saat ini, sudah semakin banyak pondok pesantren yang berada di Desa Pagentan ini.

-Advertisement- Pengumuman

“Sekarang sekitar ratusan pondok pesantren di Singosari dan mungkin akan semakin bertambah, karena semakin banyak santri yang sekolah juga mondok di Singosari,” ujarnya.

Gus Hilmi sapaan akrabnya menceritakan sedikit sejarah tentang berdirinya Pondok Miftahul Falah (Bungkuk). Konon diawali dengan kehadiran Almarhum Kiai Hamimuddin di Bungkuk sekitar awal Abad 18 dan melakukan babat alas untuk menyebarkan Islam.

Kiai Hamimuddin yang menjadi cikal bakal penyebaran agama Islam di daerah Pagentan tersebut memulai kegiatannya dengan mendirikan gubuk sederhana dan penerangan lentera kecil sekadar untuk dapat terlihat wajah santri dan gurunya.

Tahun berganti tahun, berangsur-angsur pengikut Kiai Hamimuddin semakin banyak, hingga agama Islam mulai tumbuh dan berkembang di wilayah sekitar. “Dari pernikahan dengan Siti Sofwah, Kiai Hamimuddin memiliki 7 orang anak. Anak ke-7 yang bernama Siti Hindun Murtosiah kemudian menjadi istri Kiai Muhammad Thohir (Mbah Thohir),” ungkapnya.

Gus Hilmi juga menceritakan sebuah kisah, ketika Murtosiah sudah mulai baligh, Kiai Hamimuddin menyuruh salah seorang menantunya, yang bernama Abdullah untuk berikhtiar secara batin memohon petunjuk kepada Allah dan beristikharah untuk mencarikan jodoh bagi Siti Murtosiah.

Abdullah segera melakukan ikhtiar tersebut dengan berkhalwat (menyepi) di dalam Masjid Bungkuk lama 40 hari berturut-turut sambil berpuasa. Menurut kisah, posisi Abdullah selama beri’tikaf berada di sebelah kanan bagian luar tiang masjid sebelah timur laut.

Setelah genap 40 hari, Abdullah melapor kepada Kiai Hamimuddin bahwa saat melakukan “pertapaan”, ia melihat seekor harimau yang berjalan ke arah utara. Mendengar hal itu, tanpa banyak komentar Kiai Hamimuddin menyuruh Abdullah mencarinya ke utara.

Hingga suatu hari Abdullah berangkat meninggalkan Singosari dengan penuh rasa penasaran. la pun pergi ke arah utara menggunakan kereta api (pada masa itu kereta api satu-satunya kendaraan yang bisa menempuh jarak jauh) yang dibangun semasa pemerintahan Belanda. Ketika sampai di Stasiun Kota Bangil, Kabupaten Pasuruan, Abdullah turun lalu duduk di bangku (yang biasa digunakan untuk menunggu) yang tersedia di stasiun.

Beberapa saat kemudian seorang laki-laki muda sambil membawa kitab menghampirinya dan berjabat tangan. Mereka saling berkenalan. Dari perkenalan itu, Abdullah mengetahui bahwa pemuda tersebut bernama Mohammad Thohir yang memiliki tujuan ke Singosari. Abdullah pun yakin bahwa inilah anak muda yang dicarinya. Ternyata selama 40 hari “pertapaannya”, ia telah menjalin hubungan telepati dengan Thohir.

Sehingga ketika bertemu, mereka merasa saling menemukan. Tanpa berpikir panjang, Abdullah menyatakan akan ke Singosari juga. Dalam pembicaraan sepanjang perjalanan, mereka mengatakan sudah sejak lama masing-masing ingin bertemu dan memang sudah takdir Allah, keduanya dipertemukan. Sesampainya di Desa Bungkuk, Thohir muda tidak bermaksud menemui Kiai Mahmuddin. Mbah Tohir hanya mengitari sekitar Pondok Bungkuk kemudian pulang ke Bangil.

Beberapa waktu kemudian, Thohir muda ini datang lagi ke Bungkuk, oleh Abdullah, ia diperkenalkan kepada Kyai Hamimuddin. Selanjutnya, Thohir muda diambil sebagai menantu, dinikahkan dengan putri bungsu Kiai Hamimuddin yang bernama Siti Murtosiah. “Dari pernikahan tersebut lahir 7 orang anak, yakni Fatmah, Nawawi, Ummi Kulsum, Halimah. Choill, Zaenab, dan Nachrowi,” ucap Gus Hilmi.

Selanjutnya, setelah merintis penyebaran agama Islam di Bungkuk selama hampir 60 tahun, Kia Hamimuddin wafat pada tahun 1850 M dan dimakamkan di belakang Masjid Bungkuk. “Salah satu wasiatnya Kiai Hamimuddin adalah menyerahkan kepemimpinan Pondok Bungkuk kepada menantunya yang bernama Mbah Thohir dengan tugas-tugas baru yang menaati,” tutur Gus Hilmi. (hud/udi/bersambung)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img