MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Tren penggunaan kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terus menunjukkan perkembangan positif di Indonesia. Hal ini dinilai menjadi angin segar dalam mendukung target dekarbonisasi nasional menuju net-zero emission pada tahun 2060. Dr. Machmud Effendy, ST, M.Eng, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, mencapai 207,8 Gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya masih tergolong rendah, yaitu baru sekitar 573,8 Mega Watt (MW) atau 0,28 persen dari total potensi.
Sementara itu, pada sektor industri, PLTS atap telah menjangkau 8.491 pelanggan dengan kapasitas terpasang mencapai 149 MWp. Proyek besar seperti PLTS Atap Coca-Cola di Cikarang (7,2 MWp) dan Danone Aqua di Klaten (3 MWp) menjadi bukti bahwa sektor industri mulai serius memanfaatkan energi bersih.
Machmud menyampaikan bahwa integrasi PLTS dengan kendaraan listrik menjadi kombinasi yang ideal dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil. “PLTS dapat menjadi sumber energi terbarukan untuk mengisi daya baterai EV, sehingga mampu untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan keberlanjutan,” ujarnya.
Konsumsi energi EV rata-rata adalah 1 kWh untuk menempuh 5–7 km. Artinya, untuk penggunaan harian sekitar 40 km, dibutuhkan 6–8 kWh. PLTS dengan kapasitas 3–5 kWp dinilai cukup untuk menyuplai kebutuhan rumah tangga sekaligus kebutuhan charging EV.
Menurut Machmud, biaya pemasangan PLTS sangat bervariasi tergantung jenis sistem yang digunakan. Misalnya On-Grid (tanpa baterai) yang cocok untuk rumah dengan sambungan PLN. Biayanya sekitar Rp10 juta per 1 kWp dan menghasilkan 120–140 kWh/bulan.
“Untuk penghematan signifikan, sistem 2 kWp on-grid dapat mengurangi tagihan listrik rumah hingga 70–80 persen. Sementara untuk kemandirian penuh, dibutuhkan sistem 2,5–3 kWp plus baterai 5–10 kWh,” tambahnya.
Terkait panel surya, alat ini memiliki umur hingga 25–30 tahun dengan perawatan minimal. Baterai perlu diganti setiap 4 tahun dan cukup dibersihkan secara berkala. Namun, percepatan PLTS di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Di antaranya kebijakan yang tidak konsisten seperti penghapusan net-metering menciptakan ketidakpastian bagi investor. Infrastruktur PLN juga belum fleksibel terhadap sumber energi terbarukan yang intermiten. (imm/udi)