spot_img
spot_img
Friday, March 29, 2024
spot_img
spot_img

Potret Ironi Industri Tembakau

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Narasi keberpihakan pada industri tembakau digunturkan pemerintah dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskopindag) Kota Malang (Malangposcomedia, 2/11/2022).

Memang berdasarkan data ada puluhan pabrik rokok yang terdaftar di kota Malang atau lebih tepatnya 33 pabrik rokok tentu jika dihimpun, merangkul dan disatukan para pelaku usaha pengolahan hasil tembakau ini dalam sebuah wadah kelompok berupa sentra industri akan mempunyai multipier effect yang luas.

Komoditas yang ruang geraknya semakin terbatas ini, ternyata donasinya terhadap negara terus mendaki. Lihatlah sepuluh tahun yang lalu industri ini masih mengucurkan Rp 38,4 Triliun, tahun berikutnya makin deras yakni Rp 43,8 Triliun, bahkan jumlah itu melebihi target dari pemerintah saat itu.

Kemudian sumbangan industri rokok terhadap APBN terus melaju, setidaknya Rp 200 Triliun lebih, telah diberikan dari industri ini pada tahun 2020 lalu. Salah satu potret ironi industri ini, derasnya mata air yang terpancar namun ruang gerak kian sempit, bahkan tembok iklan yang dibangun untuk membatasi publikasi industri ini semakin tebal dan tinggi secara globalpun semakin banyak negara yang melakukan kampanye bebas rokok.

Tentu menerbitkan tanya dari kondisi industri tembakau ini, masihkah pemerintah memerankan ambiguitas dan menutup mata terhadap impact komoditas ini?. Maka bagi penulis pembentukan sentra bagi industri tembakau di Kota Malang adalah narasi keberpihakan yang nyata terhadap industri tembakau.

Memang kemilau dari ladang industri ini tak bisa ditampik, jika pada 2014 nilai pasar tembakau global mencapai 796,4 miliar dolar AS, dengan rata-rata pertumbuhan 2,4 persen per tahun. Dari kolosalnya nilai tersebut, Tiongkok merupakan penyumbang terbesar yakni mencapai sekitar 67,8 persen dengan China National Tobacco-nya.

Berikutnya adalah Philip Morris yang menguasai 7,8 persen, kemudian ada Japan Tobacco sebesar 5 persen pangsa pasar, selanjutnya British American Tobacco menguasai pasar sekitar 4,9 persen, dan Imperial Tobacco sebesar 2,2 persen. Nah, di posisi ketujuh adalah perusahaan dalam negeri, Gudang Garam yang memiliki porsi sebesar 1,7 persen.

Pangsa pasar dalam negeri pun tak kalah moncer terlebih persentase konsumsi rokok di Indonesia dinyatakan terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan bila dibandingkan data 4 tahun yang lalu, konsumi dalam negeri ada kenaikan 35 persen.

Hingga tak mengherankan jika angka konsumsi rokok kita dibanding satu kawasan ASEAN menduduki rangking teratas yakni  46,16 persen. Sedangkan di Malaysia, konsumsi rokok hanya 2,90 persen. Di Myanmar 8,73 persen, Filipina 16,62 persen, Vietnam 14,11 persen, dan Thailand sebanyak 7,74 persen. Di Singapura, konsumsi rokok hanya 0,39 persen, Laos sebanyak 1,23 persen, Kamboja 2,07 persen, dan Brunei Darussalam 0,04 persen (Data: Southeast Asia Tobacco Control Alliance).

Dari gambaran ini dapat diprediksi penerimaan negara dengan mengotak-atik kenaikan nilai cukai/pajak arus penerimaan negara di tahun-tahun mendatang masih cukup kencang. Namun peran industri hasil tembakau yang dari tahun ke tahun merangkak naik, rupanya tak berbanding lurus dengan perlindungan pemerintah.

Hal ini jika disandingkan dari data jumlah industri rokok yang justru menukik tajam jumlahnya. Jumlah pabrik rokok yang beroperasi terus menyusut jika pada tahun 2005 ada sekitar 5.000 pabrik rokok yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian tahun 2013 jumlahnya turun menjadi 1.700 pabrik, dan di tahun 2014 tersisa 700 pabrik, bahkan di tahun 2015 tergerus lagi tinggal 600-an. Bahkan pada laman Kementrian Perindustrian RI saat ini tinggal 374 perusahaan di seluruh Indonesia (kemenperin.go.id, November 2022).

Rupanya jika kita lacak, kebijakan pemerintah yang terus menaikkan tarif pita cukai dengan tujuan membatasi pertumbuhan produksi rokok ternyata juga memukul industri rokok kecil. Naiknya cukai menjadi bagian dari biaya produksi, sehingga mau tidak mau harus ditutupi dengan cara perusahaan menaikkan harga jual rokok. Sementara di sisi lain, persaingan rokok di pasaran begitu massif, rokok yang mereka produksi belum tentu bakal laku semua. Jadi setiap ada kenaikan tarif cukai, turut serta beberapa industri rokok skala kecil tutup.

Kenaikan cukai dengan argumentasi kesehatan terasa sangat tidak adil ketika mengorbankan pihak lain yang tidak terakomodasi kepentingannya. Kita berharap, pemerintah menemukan formula lain, tidak dengan cara-cara usang menaikkan pajak tanpa mendorong daya saing industri tembakau. Karena di sana selain menjadi mata air pendapatan masyarakat, pengurangan masyarakat miskin, juga sebagai warisan turun temurun (Mamik Indaryani, 2015).

Melihat kenyataan ini memang kemajuan industri rokok tidak boleh dibiarkan berkembang sendirian, pemerintah harus mengawal dengan berbagai kebijakan jalan tengah. Pemerintah juga tidak boleh terbuai atau bahkan terninabobokan oleh apa yang seolah terpatri hari ini, tentang bahaya dari hasil olahan industri ini. Kajian independen tentang bahaya serta manfaat harus terus dikaji terus menerus.

Karena beberapa buku ataupun kajian ilmiah mengenai “bahaya kesehatan” pada hasil olahan industri ini adalah sebuah propaganda palsu. Menurut penelitian Wanda Hamilton, seorang peneliti independen dan penulis Amerika, bukan isu “kesehatan” yang sebenarnya sedang diperjuangkan dalam segala usaha stigmatisasi rokok secara global ini tapi apa yang disebutnya sebagai “nicotine war” alias perang nikotin. Dalam tulisannya yang berjudul “Big Drug’s Nicotine War” (2001).

Kita yakin dalam dunia akademik data tidak pernah tunggal, jika ada pandangan tentang hasil olahan industri tembakau menjadi bahan propaganda di belahan negara lain, kita harus turut meneliti atau mengujinya. Dalam artian tentu tidak elok rasanya jika kebijakan negeri ini terpengaruh oleh asing (buku, riset, penelitian, kajian ilmiah dll).

Penelitian harus terus dilakukan agar jurus-jurus jitu terhadap industri tembakau ini tidak menghadirkan potret-potret ironi. Pemerintah harus terus memberikan ruang tukar menukar gagasan lewat diskusi ataupun penelitian ilmiah harus tetap dibuka lebar-lebar. Sehingga masukan serta aspirasi masyarakat dapat diterima utuh. Kita tidak ingin, seolah donasinya terus dikerek naik sementara kondisi industri hasil olahan tembakau ini, seolah berjuang sendiri.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img