Pendaftaran Calon Presiden/ Wakil Presiden Tahun 2024 semakin hari semakin ramai manuver oleh elite/ tokoh Partai Politik (Parpol). Publik sudah mengetahui ada tiga poros yang mengajukan Bakal Calon Pilpres 2024. Bakal Paslon Anies Bawesdan-Muhaimin Iskandar koalisi pengusung (NasDem, PKB, PKS) total 167 kursi, Prabowo Subianto koalisi pengusung (Gerinda, PAN, Golkar, Demokrat) total 261 kursi, dan Ganjar Pranowo koalisi pengusung (PDIP, PPP) total 147 kursi.
Adanya keinginan dari berbagai Parpol jadwal pendaftaran Capres dan Cawapres dimajukan menjadi tanggal 10 Oktober sampai 16 Oktober 2023, sebelumnya sesuai jadwal tanggal 19 Oktober sampai 25 November 2023 sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
Pemerintah dan KPU bergayung, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyetujui usulan dengan pertimbangan (1) meredakan ketegangan politik lebih cepat, khususnya bagi Parpol pengusung, (2) masyarakat dapat mengetahui lebih awal terkait pasangan Capres/ Cawapres, dan (3) setiap pasangan Capres/ Cawapres memiliki waktu yang lebih lama untuk bersaing melakukan kampanye visi, misi, dan program serta pencitraan diri kepada masyarakat.
Berarti selisih 10 hari dalam penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota serta DCT Pilpres. Sesuai Keputusan KPU Nomor 996 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Daftar Calon Sementara dan Penetapan Daftar Calon Tetap Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.
DCT DPR, DPD, dan DPRD ditetapkan tanggal 3 November dan pengumuman tanggal 4 November 2023 mulai kampanye 25 hari setelah DCT berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 276, sehingga DCT Pilpres dilaksanakan tanggal 13 November 2023 mulai kampanye 15 hari setelah DCT Pilpres. Maka masa kampanye Anggota DPR, DPD, DPRD, dan Paslon Capres/ Cawapres dimulai tanggal 28 November 2023 sampai dengan tanggal 10 Februari 2024, masa tenang selama tiga hari, dan pemungutan suara tanggal 14 Februari 2024.
Walaupun hanya selisih 6 (enam) hari, tetapi perkembangan/ dinamika politik bisa saja berubah, karena penetapan Capres/ Cawapres oleh Parpol pengusung/ pendukung diharapkan bisa memenangkan pertarungan bergengsi mempertahankan harkat, martabat Parpol. Pemerintah melihat hanya dari kaca matanya, tetapi Parpol semenit pun sangat berarti bisa berubah arah dan sekala politik. Apakah suhu politik semakin tinggi, sedang, atau menurun tergantung Paslon Capres/ Cawapres yang diusungkan.
Manuver Elite Politik
Para elite/ tokoh Parpol menghembuskan posisi koalisi antara Parpol pengusung/ pendukung belum terikat sesungguhnya. Kelihatan masih bisa berpisah tergantung dari kebutuhan dan kepentingan memperebut kue jabatan menteri setelah Paslonnya menang. Kalkulasi matematika politik, sangat menentukan strategi dan taktis bertahan dalam satu koalisi atau berpindah koalisi.
Kita lihat PKB sebelumnya berada dalam koalisi Indonesia Maju bersama Gerinda/ PAN/ Golkar, sekarang bercerai dipinang oleh NasDem. Begitu juga Demokrat merasa sakit hati ditinggalkan NasDem dengan memilih Muhaimin (PKB) menjadi Bakal Cawapres ketimbang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Serta merta Demokrat meninggalkan NAsDem koalisi Perubahan telah berlabuh di Gerinda. Sebelum tanggal pendaftaran Paslon Presiden/ Wakil Presiden, manuver bisa saja terjadi. Politik tidak ada yang dipecundangi, tidak ada dicurangi, tidak ada bermusuhan, dan tidak ada kawan sejati, semuanya semata-semata untuk kepentingan Parpolnya.
Dua poros belum menentukan siapa dan dari Parpol mana yang akan mendamping Prabowo dan Ganjar. Ketua PDI Perjuangan Puan Maharani memberi sinyal kepada lawan politik bahwa peluang Ganjar Pranowo berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerinda Prabowo Subianto, bisa saja mungkin terjadi dalam dinamika politik Pilpres 2024. Atau koalisi PDI Perjuangan maupun koalisi Gerinda masing-masing sudah memiliki Cawapresnya, kemungkinan injury time detik-detik terakhir menentukan saat jadwal pendaftaran.
Para pakar/ pengamat/ analisa politik hanya bisa melihat dari luar Parpol dan rekam jejak Parpol, sehingga memprediksi bisa terjadi, bisa tidak terjadi. Itulah politik di Indonesia bentuknya seperti spiral, bukan parabola atau linear, sehingga tidak bisa membaca keinginan, kebutuhan, kemauan dari setiap Parpol yang realita.
Prabowo dan Ganjar
Apabila pernyataan Puan Maharani benar analisa politik yang matang dari PDI Perjuangan, maka pertarungan Pilpres hanya formalitas. Apakah Prabowo sebagai Capres atau Ganjar sebagai Cawapres. Tetapi apabila Ganjar harus pada posisi Cawapres sedangkan Prabowo pada Capres, PDI Perjuangan harus berbesar hati dan menerima kenyataan politik. Tinggal saja kalkulasi membagi kursi kementerian dan lembaga pemerintah/ non pemerintah di semua lini pemerintahan.
Terjadilah kesepakatan antara Parpol pengusung Parbowo dan Ganjar membagi kue kekuasaan dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Hal ini, untuk memperkokoh kekuatan dan tidak ada yang disakiti atau ditinggalkan dalam mengurus pemerintahan dan keberlangsungan hidup masing-masing Parpol.
Jadi, politik kekuasaan bagaimana membentuk hubungan antar Parpol dan melindungi kepentingan masing-masing dengan berbagai ancaman/ kesempatan/ peluang dan tujuan akhir adalah ekonomi.
Politik dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, juga bersinggungan dengan berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, budaya, agama. Max Weber, kekuasaan sebagai sarana bagi seseorang untuk mencapai keinginannya. Sedangkan Friedrich Nietzsche pada hakekatnya manusia memiliki hasrat untuk berkuasa dengan jalan menguasai atau mempengaruhi orang lain.
Parpol akan menerapkan politik rent seeking. Setiap Parpol akan memperoleh hak istimewa dari pemerintahan/ kekuasaan dengan cara melakukan lobi-lobi antara Parpol. Usaha ini, akan menghasilkan nilai-nilai kepentingannya. Setiap pejabat publik yang ditentukan memangku kekuasaan (eksekutif/ legislatif/ yudikatif) syarat dengan transaction cost yang tinggi.
Akan terjadi fenomena perantara/ broker politik memberi dukungan politik kepada seseorang untuk kepentingan pribadi maupun Parpol. Pejabat yang bersangkutan bukan untuk menutupi biaya politik (cost politics) yang telah dikeluarkan, juga mendapatkan keuntungan pribadi dan Parpol.
Pilihan Prabowo-Ganjar, maka Pilpres dengan sendirinya di atas kertas kemenangan bagi koalisi Parbowo-Ganjar. Pilpres hanya melaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pemilu. Bawaslu, KPU dan jajarannya bisa tidur enak dan nyenak, walaupun negara telah menyediakan dana sebesar Rp 76 triliun untuk Pemilu.
Kemudian kita bertanya bagaimana dengan nasib koalisi NasDem, PKB, PKS mau dibawa kemana. Karena sudah terlanjur, layar sudah dikembangkan bertarung sampai titik darah terakhir. Kalah menang biasa dalam perebutan kekuasaan. Apakah NasDem dan PKB akan bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Ganjar, atau menjadi “oposisi” seperti yang dilakoni oleh PKS sebagai penyimbang pemerintah/ kekuasaan. Semoga.(*)