MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Universitas Islam Malang (Unisma) menganugerahkan Jabatan Guru Besar Kehormatan Bidang Politik Pendidikan Islam kepada Prof. (HC.UNISMA). Dr. H. Ali Masykur Musa, SH., M.Si., M.Hum. Pengukuhan Guru Besar Kehormatan akan dilaksanakan di Gedung Pascasarjana Unisma, Sabtu (18/11) hari ini. Akan hadir para tokoh dari kalangan akademisi, politisi, pejabat, maupun tokoh-tokoh besar termasuk dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Ali Masykur Musa mengatakan bahwa dirinya menuntut ilmu dari berbagai konsentrasi. Diawali Ilmu Hubungan Internasional, Ilmu Hukum, Ilmu Politik, dan Manajemen Pendidikan. Dia pun menyampaikan terimakasih atas kepercayaan Unisma yang telah memberikan Jabatan Guru Besar Kehormatan. “Menurut saya sangatlah tepat dan menunjukkan kejelian Senat dan Rektorat Universitas Islam Malang menyandangkan diri saya sebagai Guru Besar Bidang Politik Pendidikan Islam, yang tiada lain merupakan mata rantai dari ilmu-ilmu yang saya geluti,” katanya.
Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ini menerima dengan bangga Jabatan Guru Besar Kehormatan dari Unisma. “Terimakasih atas kepercayaan Unisma, saya terima dengan sangat bangga dan penuh syukur. Penghargaan ini memberikan komitmen untuk menjaga mawarah intelektual di kancah nasional maupun internasional,” tambahnya.
Sejak muda Ali Masykur Musa membawa stigma kehidupannya sebagai aktivis, organisatoris dan menjadi politisi. Maka dengan diraihnya Jabatan Profesor Honoris Causa ini, menobatkan Ali Masykur Musa juga sebagai ilmuan atau akademisi.
“Ini adalah penilaian publik pada diri saya yang diakseptasi atau diterima sebagai seorang intelektual saintis. Ini sebuah kehormatan, sebagai puncak dari pengembaraan ilmu yang saya geluti sejak menjadi mahasiswa Tahun 1981,” ungkap Ketua Umum PB PMII, 1991-1994 ini.
Dia mengatakan, implikasi dari ilmu ini, menerangkan bahwa kehebatan dan kemajuan suatu negara dilihat dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan ini menjadi syarat bagi lahirnya Indonesia sebagai negara maju dan berdaya saing tinggi dalam percaturan hubungan antarbangsa.
Politik Pendidikan yang dicerahkan oleh nilai-nilai Agama Islam akan melahirkan generasi yang memiliki kedalaman keagamaan, sekaligus memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap negaranya. “Jadi, pendidikan merupakan human investation yang didalamnya harus mencerminkan nilai keagamaan dan kebangsaan yang ditarik dalam satu nafas,” katanya.
Pendidikan dengan pola seperti ini, kata dia, akan melahirkan generasi transformatif yang mampu menjawab setiap tantangan zaman. Karena setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, dan setiap tantangan akan melahirkan pemimpinnya sendiri. Dengan demikian, Indonesia akan siap beradaptasi pada setiap perubahan.
Prof Ali menambahkan, Implikasi Politik Pendidikan Islam berikutnya adalah harus memperkuat anak didik dan generasi yang kuat multikulturalnya. Karena negara yang besar adalah negara yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi toleransi yang ditandai dengan sikap Kewarganegaraan Indonesia yang matang.
Dia pun mengimbau, untuk tidak meremehkan persatuan dan kesatuan bangsa karena hal ini akan memicu lahirnya disintegrasi bangsa. “Ingat, menyesal itu di belakang, janganlah Indonesia terpecah-pecah seperti Negara Uni Soviet. Kokohkan semangat Bhineka Tunggal Ika untuk menyongsong lahirnya Generasi Emas yang melahirkan Indonesia sebagai negara maju pada kurun memasuki 100 tahun kemerdekaan Republik,” mantan anggota DPR dan MPR RI ini.
Maka di acara pengukuhan hari ini, Prof Ali Masykur Musa menyampaikan pidatonya yang berjudul : Politik Pendidikan Islam Memperkokoh Multikultur Bangsa. Dia menjelaskan, kebijakan pemerintah tentang pendidikan termasuk dalam kajian bidang politik pendidikan dan merupakan salah satu kebijakan publik. Politik pendidikan (The Politics of Education) merupakan kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara pencapaiannya.
“Dengan demikian jelaslah bahwa terdapat kaitan erat antara politik dan pendidikan. Keterkaitan tersebut secara jelas terlihat dengan adanya berbagai upaya yang dilakukan oleh negara untuk mengontrol sistem maupun praktik kependidikan yang berlangsung di daerah yurisdiksinya,” ujarnya.
Dia menerangkan, tidak ada satupun kebijakan pendidikan yang tidak diawali dari bidang politik. Mulai dari UUD Pasal 31, Sisdiknas dan UU Pesantren. Karena itu, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dalam bidang pendidikan adalah bingkai besar dalam konteks politik.
“Karena politik pada prinsipnya adalah pengambilan keputusan negara atas suatu bidang tertentu,” kata Komisaris Utama PT PELNI (Persero) ini.
Selanjutnya, untuk memadukan bidang politik dan pendidikan harus dibingkai dengan nilai-nilai keislaman. Islam yang mencerahkan dalam kontek politik pendidikan harus melahirkan insan-insan yang mempunyai jiwa toleransi yang tinggi.
Karena Islam pada prinsipnya, adalah Rahmatan Lil Alamin. Buahnya adalah toleransi yang sangat tinggi, untuk menghargai setiap perbedaan di Indonesia yang pluralis.
Politik Pendidikan Islam di satu sisi mengedepankan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan dengan pancasila sebagai ideologi di sisi yang lain. Politik Pendidikan Islam adalah gabungan dari prinsip-prinsip nilai Islam dan Pancasila. Yang ditarik sebagai kebijakan politik secara nasional, ujungnya diterapkan dalam dunia pendidikan.
“Konsep pendidikan yang dilandasi nilai-nilai tersebut, akan melahirkan generasi yang memiliki sikap toleransi (tasamuh), jalan tengah (tawasuth) dan sikap yang seimbang (tawazun). Generasi inilah yang nantinya membawa Indonesia yang besar ini akan semakin maju,” tuturnya.
Dalam upaya membangun Indonesia, gagasan multikulturalisme menjadi isu strategis yang merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Alasannya adalah bahwa Indonesia merupakan bangsa yang lahir dengan multikultur, dimana kebudayaan tidak bisa dilihat hanya sebagai kekayaan tetapi harus ditempatkan berkenaan dengan kelangsungan hidup sebagai bangsa.
Dengan begitu maka keragaman dan keberbedaan bukanlah ancaman atau masalah, melainkan menjadi sumber atau daya dorong positif bagi perkembangan dan kebaikan bersama sebagai bangsa. “Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural merupakan keharusan, bukan pilihan lagi,” tegasnya. (adv/imm)