MALANG POSCO MEDIA, KOTA BATU – Program Desa Wisata oleh Dinas Pariwisata Kota Batu dinilai oleh DPRD Kota Batu hanya judul besar tanpa isi. Pasalnya selama program itu digencarkan, DPRD menilai Dinas Pariwisata hanya menggelar launching tanpa diikuti dengan pembinaan.
Hal itu ditegaskan oleh Wakil Ketua I DPRD Kota Batu, Nurochman bahwa program desa wisata hanya terkesan diawal. Kemudian setelah dilaunching tidak ada tindak lanjut secara konkret.
“Kami menilai jika program desa wisata hanya seremonial di awal. Tapi tidak ada tindak lanjut yang konkret. Sehingga program Desa Wisata dari SKPD hanya terkesan dilakukan karena keinginan bukan kebutuhan warga,” ujar Nurochman kepada Malang Posco Media, Minggu (19/6) kemarin.
Ia mencontohkan, misal Desa Sidomulyo sejak lama sudah terkenal dengan produk pertanian bunga. Namun hal itu baru disadari oleh Disparta yang kemudian dilakukan launching.
“Karena sudah terkenal harusnya Disparta cukup melakukan pendampingan terhadap Badan Usaha Milik Desa. Sehingga produk yang ada bisa eksis dan produktif. Jadi tidak hanya tidak sekedar judul besar tanpa isi,” tegasnya.
Selain itu, disampaikan Jamroji, M.COMM selaku akademisi UMM yang memiliki pengalaman mendampingi delapan desa di Kecamatan Bumiaji pada 2018-2020 untuk mengembangkan wisata di Bumiaji menyampaikan jika problem pengembangan desa wisata di Kota Batu adalah pasar atau segmentasi.
“Saya melihatnya pertama dalam konteks marketing ada dua hal. Pertama kita bisa berangkat dari pasar kemudian menciptakan produk. Kedua bisa menciptakan produk mencari pasar,” terangnya.
Dalam konteks itu, lanjut dia, seringkali yang dipilih dalam membentuk desa wisata adalah menciptakan produk kemudian mencari pasar. Sehingga yang terjadi hanya menjual produk, tapi tidak memiliki nilai jual ke pembeli.
“Sehingga kesannya desa wisata hanya formalitas. Ya ada desa wisata, ada plakat, ada produk. Tapi problemnya apakah produk itu bernilai bagi calon pembeli,” tegasnya.
Selain itu masalah dari desa wisata yang dibentuk tidak melalui atau memikirkan riset pasar yang matang. Misal desa dibentuk seperti apa, pangsa pasar apa, apa yang membedakan desa wisata satu dengan yang lain, hingga produk wisata apa.
“Celakanya lagi ketika ditanya konsep desa wisata siapa yang berkunjung? Dijawab semua masyarakat. Ini umum banget dan tidak ada segmentasi yang spesifik. Sehingga akhirnya (desa wisata.red) ada, tapi tidak bisa laku. Ini sama saja kita itu mau makan tapi hanya sekedar makan. Harusnya kalau mau makan ada tujuan, misal mau makan yang menurunkan berat badan seorang harus mengkonsumsi nutrisi tertentu. Buka asal makan,” terangnya.
Dengan beberapa permasalahan itu, Jamroji mengusulkan bahwa untuk membangun Desa Wisata harus berangkat dari riset pasar. Dengan begitu produk yang ditawarkan harus memiliki nilai jual dan segmentasi. Sehingga tidak memaksakan passion atau keinginan kepada pasar.
Di Kota Batu, salah satu contoh desa/kelurahan desa wisata yang mampu secara mandiri dalam mengembangkan potensinya adalah Wisata Eduaksi Dadaprejo yang berada di Kelurahan Dadaprejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu. Wisata tersebut mampu memberdayakan warganya secara mandiri. Tanpa adanya campur tangan Pemerintah Daerah Daerah, Wisata Eduaksi Dadaprejo mampu dikelola oleh masyarakatnya secara mandiri.
Ketua Wisata Edukasi Dadaprejo, Andik Wibowo mengatakan bahwa Wisata Edukasi Dadaprejo telah eksis hampir tiga tahun ini. Bahkan Wisata Edukasi Dadaprejo lahir saat pandemi Covid-19 mengganas.
“Jadi kami tidak ingin hanya jadi penonton saja. Tapi kami ingin jadi subjek dengan potensi yang ada seperti kampung anggrek, batik, gerabah dan juha keramik. Kemudian empat potensi itu dijadikan destinasi dan terbentuklah Wisata Eduaksi Dadaprejo,” bebernya.
Andik menceritakan jika wisata yang memanfaatkan kemacetan tersebut searah dengan visi misi Wali Kota, Desa Berdaya Kota Barjaya. Yang kemudian secara swadaya warga mampu eksis dan menarik wisatawan dari seluruh daerah di Indonesia dengan paket tour wisatanya.
“Jadi Wisata Eduaksi Dadaprejo ini secara dibangun secara swadaya murni. Tidak ada bantuan dari Disparta. Mungkin supporting ada dari dinas seperti pelatihan, promo dan sosialisasi. Tapi secara materi tidak ada,” tegasnya.
Begitu juga untuk menjari wisatawan datang dari seluruh daerah, pihaknya dibantu oleh Dedek Anggrek yang merupakan pionir anggrek di Dadaprejo melalui grup-grup dan komunitas pecinta anggrek. (eri)