spot_img
Sunday, December 22, 2024
spot_img

Program MBG: Kontroversi Susu dan Menu Sepuluh Ribu

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Hanya dalam hitungan hari, salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto, Makan Bergizi Gratis (MBG), akan segera dilaksanakan mulai awal tahun 2025 mendatang. Bahkan serangkaian uji coba program MBG ini telah mulai dilakukan di sejumlah daerah dengan mengikutsertakan ribuan peserta penerima program tersebut.

          Aspek yang menarik, selain penggunaan anggaran jumbo, sebesar Rp 71 triliun dalam RAPBN 2025, program MBG juga akan melibatkan jumlah total penerima bantuan yang fantastik, secara bertahap ditargetkan mencapai lebih dari 80 juta jiwa pada tahun 2029. Meliputi semua anak sekolah termasuk pesantren, anak-anak balita dan ibu hamil. Isu distribusi bantuan yang tepat sasaran, merata dan berkeadilan, masih tetap akan menjadi salah satu tantangan dan persoalan utama.

          Perkara menarik lainnya terkait harga menu, yang disebut berkurang, dari semula sebesar Rp 15.000 menjadi “hanya” Rp 10.000 per porsi. Selain itu, ada juga persoalan mengenai susu yang sebenarnya merupakan bagian dari menu program MBG, sehingga program ini awalnya dikenal sebagai “Program Makan Siang dan Susu Gratis.”

Paradigma Baru Menu Makanan Sehat

          Selama lebih dari 60 tahun, sejak konsep “4 Sehat 5 Sempurna” dipopulerkan mulai 1952, susu dipahami sebagai penyempurna menu makanan sehat. Konsep tersebut baru digantikan secara resmi dengan “Pedoman Gizi Seimbang” atau PGS, melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014.

          Susu memang menjadi salah satu sumber protein hewani serta sumber kalsium yang sangat berkualitas dan nyatanya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karenanya, susu masuk menjadi bagian dari menu program MBG.

          Riset tentang manfaat susu, terutama susu pertumbuhan atau Growing-Up Milk (GUM), terkait pencegahan tengkes atau stunting telah dilakukan oleh tim Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI). Penelitian bertajuk “Daily Consumption of Growing-Up Milk is Associated with Less Stunting among Indonesian Toddlers” oleh Sjarif et al. (2019).

          Studi menyimpulkan bahwa konsumsi harian 300 ml GUM dapat dipertimbangkan untuk mencegah stunting pada balita. Produk daging merah seperti nugget, sosis, dan bakso yang banyak dikonsumsi karena kepraktisannya belum dapat dikatakan sebagai sumber protein hewani yang penting karena kandungan gizinya yang sangat bervariasi.

          Data empiris dari penelitian penulis menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat dengan anak usia 1-3 tahun mengonsumsi GUM. Riset disertasi tentang perilaku konsumen GUM tersebut dilakukan dari Mei hingga Oktober 2021 di D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur, mencakup 4 kabupaten/kota. Hasilnya, dari 1.493 responden anggota Posyandu, hampir 80 persen memberikan GUM pada anak-anak mereka karena meyakini manfaatnya untuk pertumbuhan. (Sunardi et al., 2023).

          Tidak mengherankan bila susu masih dianggap menu “wajib” dalam konsep makanan sehat, meskipun itu adalah paradigma lama yang perlu terus dikoreksi. PGS, sebagai paradigma baru, menekankan proporsi jumlah, jenis makanan, kesehatan, dan aktivitas fisik yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok.

          Susu kini bukan lagi menjadi penyempurna menu makanan sehat, namun “hanya” merupakan salah satu sumber utama protein hewani yang setara dengan sumber protein hewani penting lainnya.

Polemik Susu dan Menu Kearifan Lokal

          Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkapkan bahwa MBG sebenarnya tidak harus menyertakan susu dalam menunya, sebab susu dapat digantikan oleh sumber protein hewani penting lainnya. Apalagi dengan anggaran baru, “menu sepuluh ribu”, susu kemasan dianggap terlalu mahal.

          Susu bukanlah satu-satunya sumber protein hewani yang penting. Banyak riset membuktikan asupan protein hewani selain susu juga mampu memberikan dampak tumbuh kembang yang sama dengan konsumen susu. Susu setara dengan sumber protein hewani penting lainnya, seperti telur, ayam, ikan, dan daging (Tan Shot Yen, 2024).

          Belum lagi masalah intoleransi laktosa, yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa karena kekurangan enzim laktase. Kondisi ini menyebabkan gangguan pencernaan seperti diare, perut kembung, gas, nyeri perut, muntah, dan sering buang angin. Berbeda dengan Eropa, di mana hanya 25 persen populasi mengalami intoleransi laktosa, di Asia Tenggara, angka tersebut mencapai 80 persen.

          Masalah lainnya muncul ketika banyak anak Indonesia tidak menyukai susu murni atau plain, sehingga sering kali yang dibagikan adalah susu dengan tambahan perisa (flavor) dan gula yang dipersepsikan tidak atau kurang bergizi (un-nutritious).

          Program makanan bergizi seharusnya memperhatikan kecocokan dengan kebutuhan dan kearifan lokal, memanfaatkan sumber pangan lokal, sehingga anak Indonesia tidak hanya diberikan makanan bergizi, tetapi juga pendidikan yang benar tentang gizi.

          Bahan pangan seperti hasil peternakan dan pertanian sebaiknya diambil dari usaha kecil setempat, sehingga menu MBG akan disesuaikan berdasarkan ketersediaan di tiap daerah. Dengan demikian manfaat program MBG akan semakin dirasakan juga oleh anggota masyarakat yang lebih luas.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img